Simalungun (ANTARA) - Dewan Pers minta wartawan mampu menjaga integritas dalam menjalankan profesinya sebagai penyedia informasi berita terpercaya, aktual, serta mengandung unsur keberimbangan termasuk pada Pemilu 2024.

"Memasuki tahun politik, integritas wartawan dalam mengawal masa kampanye dan Pemilu 2024 nanti akan sangat penting. Dengan menaati pedoman yang ada, otomatis akan menentukan integritas wartawan dalam menjalankan tugas sehari – hari," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, di Simalungun, Jumat disela kegiatan Press Camp yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Menurut Ninik, di tengah kebebasan pers saat ini, hendaknya profesi wartawan dalam menyajikan informasi juga turut dibentengi oleh UU Pers serta penyiaran. Mengingat, saat ini masih banyak ditemukan sejumlah wartawan mengabaikan nilai karya yang dapat dipercayai masyarakat secara utuh.

“Karena kebebasan pers, maka dewan Pers mengeluarkan UU Nomor 40 untuk memagari. Berbagai kode etik yang merupakan pedoman bagi pers. Diantaranya jurnalis harus independen dalam menghasilkan karyanya, akurat, berimbang, dan tidak punya itikad buruk,” katanya.

Persoalan menghadapi era digital saat ini, kata dia, setiap media secara tidak langsung dituntut menyajikan berita dengan cepat. Namun, terkadang terkait keakurasian informasi atau keberimbangan justru diabaikan.

Karena itu, setiap wartawan harusnya bisa menempuh cara – cara professional dalam menyajikan karya jurnalistik. Mulai dari mendapat pengakuan badan hukum hingga kepemilikan kantor.

“Media cyber yang sudah melakukan validasi itu baru 1.700 media dari 2.400 yang mengajukan diri ke dewan pers. Artinya masih banyak media kita yang belum profesional. Artinya media pers harus sudah berbadan hukum Indonesia sehingga legal standingnya ada dan kantornya ada,” katanya.

Selain menjaga integritas wartawan dan profesionalitas media, salah satu tantangan media saat Pemilu 2024 adalah konglomerasi media yang justru sangat berbahaya dalam mempengaruhi fungsi media sebagai penyampai informasi objektif.

Konglomerasi media dengan adanya campur tangan pemilik yang berlatar belakang anggota maupun pengurus parpol, justru akan mengabaikan keterbukaan informasi utuh kepada publik.

“Konglomerasi media ini mau tidak mau ikut mempengaruhi pasar, iklan, dan fungsi pers di publik. Ada sejumlah media yang cenderung menyiarkan agama tertentu bahkan menjelekkan agama tertentu. Mungkin, banyak iklan dari partai itu atau ada kebenaran yang tidak didukung dianggap hoax. Saya kira ini harus dihindari,” jelasnya.

Baca juga: Menkominfo dorong Dewan Pers siapkan peta jalan jurnalisme digital

Baca juga: Dewan Pers terima 691 kasus pengaduan pada 2022

Pewarta: Juraidi
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2023