Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono meminta pemerintah untuk memberikan insentif kepada operator telekomunikasi agar mau membangun infrastrukturnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Mastel dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, ia mengakui bahwa pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) telah melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, namun pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dikerjakan oleh Bakti hanya dilakukan di 57 kabupaten/kota saja dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Hal tersebut, menurutnya, disebabkan karena kecilnya anggaran yang dimiliki oleh Bakti yang berasal dari keuntungan operator telekomunikasi di Indonesia.
"Selain itu dana yang dimiliki oleh Bakti juga kecil. Mereka hanya mendapatkan sumbangan dari dana USO operator telekomunikasi. Memang Palapa Ring sudah jadi, namun yang dibangun Bakti tersebut baru backbone," kata Kristiono.
Baca juga: Masyarakat daerah 3T di Ende akhirnya nikmati jaringan telekomunikasi
Baca juga: Kominfo - XL Axiata resmikan jaringan BTS di daerah tertinggal
Baca juga: Jaringan di 3T, Telkom sebut investasinya besar dan perlu subsidi
Ketidakmampuan pemerintah ini seharusnya dapat diatasi dengan menugaskan kembali operator untuk membangun infrastrukturnya di daerah 3T disertai dengan pemberian insentif tertentu.
"Jika operator harus ditugaskan kembali maka Pemerintah harus memberikan insentif. Seperti memberikan hak eksklusif kepada salah satu operator daerah tersebut, sebab di daerah USO tidak ada kompetisi. Jika dikompetisikan tak ada operator yang mau," ujar Kristiono.
Ia menjelaskan bahwa dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi khususnya Pasal 16, disebutkan bahwa operator telekomunikasi harus membangun di daerah 3T, mereka diberi kebebasan untuk memilih kontribusi dengan membangun serta menyediakan sarana dan prasarana atau kompensasi lainnya.
"Bukan malah saat ini operator 'malas' membangun dan hanya membayar 1,25 persen dari gross revenue saja. Dengan merasa telah membayar, operator tidak memiliki kewajiban membangun jaringan telekomunikasi. Hal itu tidak sejalan dengan semangat dari UU Telekomunikasi," tutur Kristiono.
Oleh karena itu, agar pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi berjalan lebih cepat dan efisien, Kristiono meminta agar Pemerintah dapat melakukan harmonisasi dan mengembalikan aturan mengenai pembangunan daerah 3T tidak hanya dengan menyetorkan dana sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor operator telekomunikasi kepada Pemerintah.
Selain itu, Pemerintah juga dapat memberikan insentif berupa subsidi kepada masyarakat dengan menutupi biaya selisih antara biaya operasional operator dengan pendapatan di daerah tersebut, sehingga yang disubsidi oleh pemerintah itu adalah layanan telekomunikasi masyarakat di daerah 3T, bukan operator penyedia backbone tertentu.*
Mastel dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, ia mengakui bahwa pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) telah melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, namun pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dikerjakan oleh Bakti hanya dilakukan di 57 kabupaten/kota saja dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Hal tersebut, menurutnya, disebabkan karena kecilnya anggaran yang dimiliki oleh Bakti yang berasal dari keuntungan operator telekomunikasi di Indonesia.
"Selain itu dana yang dimiliki oleh Bakti juga kecil. Mereka hanya mendapatkan sumbangan dari dana USO operator telekomunikasi. Memang Palapa Ring sudah jadi, namun yang dibangun Bakti tersebut baru backbone," kata Kristiono.
Baca juga: Masyarakat daerah 3T di Ende akhirnya nikmati jaringan telekomunikasi
Baca juga: Kominfo - XL Axiata resmikan jaringan BTS di daerah tertinggal
Baca juga: Jaringan di 3T, Telkom sebut investasinya besar dan perlu subsidi
Ketidakmampuan pemerintah ini seharusnya dapat diatasi dengan menugaskan kembali operator untuk membangun infrastrukturnya di daerah 3T disertai dengan pemberian insentif tertentu.
"Jika operator harus ditugaskan kembali maka Pemerintah harus memberikan insentif. Seperti memberikan hak eksklusif kepada salah satu operator daerah tersebut, sebab di daerah USO tidak ada kompetisi. Jika dikompetisikan tak ada operator yang mau," ujar Kristiono.
Ia menjelaskan bahwa dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi khususnya Pasal 16, disebutkan bahwa operator telekomunikasi harus membangun di daerah 3T, mereka diberi kebebasan untuk memilih kontribusi dengan membangun serta menyediakan sarana dan prasarana atau kompensasi lainnya.
"Bukan malah saat ini operator 'malas' membangun dan hanya membayar 1,25 persen dari gross revenue saja. Dengan merasa telah membayar, operator tidak memiliki kewajiban membangun jaringan telekomunikasi. Hal itu tidak sejalan dengan semangat dari UU Telekomunikasi," tutur Kristiono.
Oleh karena itu, agar pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi berjalan lebih cepat dan efisien, Kristiono meminta agar Pemerintah dapat melakukan harmonisasi dan mengembalikan aturan mengenai pembangunan daerah 3T tidak hanya dengan menyetorkan dana sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor operator telekomunikasi kepada Pemerintah.
Selain itu, Pemerintah juga dapat memberikan insentif berupa subsidi kepada masyarakat dengan menutupi biaya selisih antara biaya operasional operator dengan pendapatan di daerah tersebut, sehingga yang disubsidi oleh pemerintah itu adalah layanan telekomunikasi masyarakat di daerah 3T, bukan operator penyedia backbone tertentu.*
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2019
0 comments:
Post a Comment