Bogor (ANTARA) - Oleh: Herzaky Mahendra Putra *)

Perubahan dalam organisasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Robbins:2006). Begitu juga seharusnya jalan yang ditempuh partai politik pada era penuh disrupsi saat ini.

Karena itu, partai politik di Indonesia saat ini harus melakukan transformasi organisasi dan regenerasi, agar tetap relevan di masa kini dan masa depan. Pertanyaannya, transformasi organisasi seperti apa yang harus dilakukan partai politik menuju partai modern? Isu apa yang bakal dihadapi partai politik ketika melakukan regenerasi di organisasi dan mesin partainya?

Partai politik pada dasarnya merupakan organisasi penghubung vital antara negara dan masyarakat sipil, antara lembaga-lembaga pemerintahan dengan kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan di masyarakat. Karena itu, partai politik dipuji sebagai alat demokrasi yang hebat dan juga dikritik sebagai salah satu sumber tirani dan penindasan.

Namun, di era terkini, partai politik telah banyak dikecam. Pertama, karena dianggap gagal dalam mengartikulasikan aspirasi baru dan aspirasi yang lebih beragam yang muncul di masyarakat modern. Kedua, karena dianggap gagal dalam memecahkan, atau mungkin untuk sekedar menangani problem-problem mereka sendiri (Heywood:2013).

Tantangan bagi partai politik di Indonesia dalam mengelola ekspektasi publik, khususnya generasi muda, menuju transformasi menjadi partai politik modern, adalah bagaimana parpol ke depannya dapat mengartikulasikan aspirasi baru dan lebih beragam dari masyarakat modern.

Harus diakui, partai politik secara umum selama ini dipersepsikan tertutup oleh sebagian publik, dan cenderung alergi terhadap perubahan struktur dan figur. Partai politik cenderung mengedepankan kemapanan sehingga lamban bergerak, hanya bermain di wilayah elite, dan kurang merespons isu-isu publik terkini.

Karena itu, pucuk pimpinan partai politik harus mampu membawa organisasi parpolnya bertransformasi menjadi partai politik modern, dalam konteks memiliki manajemen organisasi yang transparan, akuntabel, komunikatif, responsif, dan adaptif dalam menyikapi perubahan.

Transparan dalam konteks terbuka, mudahnya publik mengakses informasi terkini mengenai apa yang sedang dilakukan oleh partai, terbukanya proses rekruitmen, proses kaderisasi, jenjang kepemimpinan internal, dan berbagai hal lainnya.

Akuntabel, dalam konteks setiap program dan kegiatan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Setiap suara yang diberikan publik harus dipertanggungjawabkan melalui kegiatan-kegiatan anggota Dewan dari parpol di seluruh pelosok tanah air.

Komunikatif dalam konteks publik mudah berkomunikasi dengan parpol tersebut, menghubungi parpol melalui berbagai saluran publik. Sebaliknya, parpol dalam berkomunikasi dengan publik, baik melalui pengurus pusat, pengurus daerah, para kader, maupun anggota Dewannya di berbagai tingkatan, menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami publik.

Parpol di Indonesia juga harus semakin responsif terhadap isu-isu utama publik dan adaptif terhadap berbagai perubahan yang menjadi perhatian bersama publik, menjadi kebutuhan publik, kesulitan yang dihadapi publik, serta solusi yang diharapkan publik.

Perlu diingat juga, niat untuk melakukan perubahan seringkali muncul di berbagai parpol, tapi niat ini biasanya kandas karena lemahnya komitmen pemimpin puncak terhadap perubahan, terbatasnya jumlah orang di organisasi yang mendukung, serta belum adanya momentum yang tepat. Niat ini pun seringkali harus menghadapi resistensi yang kuat dari status quo yang sudah nyaman dan terlena dengan kondisi selama ini ("comfort zone").

Bagi partai politik, momentum munas, kongres, atau muktamar, pemilihan ketua umum, dan pembentukan struktur kepengurusan, biasanya digunakan oleh partai politik di Indonesia untuk melakukan perubahan. Hanya saja, momentum ini dilewatkan oleh beberapa parpol besar pasca pemilu legislatif 2019 lalu.

PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Golkar, telah melakukan kongres, muktamar, dan munas pada tahun lalu, dan memutuskan tetap mempertahankan petahana di kursi ketua umum secara aklamasi. Sedangkan PAN, ada dua calon ketua umum, tapi pemenangnya tetap petahana.

Partai Demokrat yang melakukan kongres pada Maret 2020, berani mengambil langkah berbeda, yakni memilih ketua umum baru. Agus Harimurti Yudhoyono didaulat para pemilik suara di Partai Demokrat secara aklamasi menjadi ketua umum DPP Partai Demokrat periode 2020-2025.

Ada harapan, perubahan pimpinan puncak ini bisa dioptimalkan sebagai momentum awal untuk melakukan transformasi. Apalagi, Agus Yudhoyono tidak memiliki beban masa lalu, laiknya sebagian petinggi parpol-parpol besar lain, yang membuat mereka saling mengunci dan sulit untuk bergerak bebas dalam melakukan terobosan.

Namun, langkah Agus dalam memulai transformasi di Partai Demokrat menjadi parpol modern, masih perlu pembuktian.

Dari sembilan parpol di parlemen, tinggal Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan, yang akan melaksanakan kongres dan muktamar, pada tahun ini dan tahun depan. Apakah akan ada perubahan atau tetap mempertahankan petahana pada kepemimpinan puncak mereka? Apapun pilihannya, harapan besar tentu disematkan kepada mereka untuk mengambil momentum melakukan transformasi parpolnya menuju parpol modern.

Regenerasi
Tantangan lainnya bagi partrai politik dalam melakukan transformasi menuju parpol modern, adalah bagaimana melakukan regenerasi di organisasi dan mesin partai. Perubahan demografi pemilih yang makin didominasi kaum muda, membuat strategi, program, maupun komunikasi partai harus beradaptasi. Apalagi, ada harapan besar pada generasi muda, bahwa parpol-parpol besar ke depannya memberikan ruang semakin besar dan strategis bagi kaum muda. Karena itu, regenerasi mutlak dilakukan.

Regenerasi ini bukan sekadar menempatkan tokoh-tokoh muda berintegritas dan berkapabilitas di posisi-posisi kunci, tapi bagaimana memilih tokoh-tokoh muda yang memiliki kesamaan visi, loyalitas, dan dapat mengimbangi determinasi dan stamina ketua umum.

Tokoh-tokoh muda itu juga harus dekat dengan realita kekinian dan memahami peta pemilih muda, sehingga program-program yang dieksekusi dapat bergerak selaras dengan visi dan misi ketua umum selaku pemimpin puncak di parpol. Program-program yang dijalankan, juga harus sesuai dengan kebutuhan pemilih saat ini, sehingga partai politik bisa tetap relevan di tengah perubahan demografi pemilih dan peta politik terkini.

Tantangan lainnya, adalah proses regenrasi harus dilakukan dengan kehati-hatian dan bijak, untuk memastikan transisi dari generasi lama ke generasi baru berjalan mulus. Pada regerasi ini, generasi lama, terutama yang terlah terbukti loyalitas dan kinerjanya, agar tetap mendapat tempat dan tidak merasa ditinggalkan. Bagaimanapun, pengalaman dan intuisi tajam para senior, masih tetap diperlukan, agar generasi baru bisa belajar banyak tanpa perlu menjalani kesulitan dan kesalahan yang sama.

Perubahan di internal partai secara alamiah bakal menghadapi resistensi yang bisa memicu konflik (Tichy&Devanna:1986). Jika pemimpin puncak parpol, apakah petahana ataukah pemimpin baru, dapat mewujudkan regenerasi dan menyatukan anak-anak muda dan para senior, maka transformasi organisasi dan mesin parpol bakal berjalan dengan lebih efektif dan efisien.

Parpol akan terhindar oleh konflik-konflik internal yang tidak perlu. Soliditas internal pun bakal terjaga. Waktu yang akan membuktikan, apakah pemilihan tokoh-tokoh yang memenuhi struktur kepengurusan beberapa parpol yang baru saja kongres atau munas setahun terakhir, benar-benar mendukung proses transformasi menuju parpol modern, dan mendorong regenerasi di berbagai lini.

Peluang
Clark Gilbert, Mark W Johnson & Scott D Anthony (2017) mengatakan, organisasi dan lembaga membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan transformasi ganda ("dual transformation"), yakni dengan melakukan reposisi dan mengeksploitasi peluang baru di masa sekarang, sekaligus menciptakan "positioning" yang tepat untuk menjadi relevan di masa depan.

Parpol di Indonesia, baik yang memilih petahana sebagai pemimpin untuk kepengurusan lima tahun ke depan, maupun yang memilih pucuk pimpinan baru, harus berani melakukan reposisi. Bukan lagi organisasi mapan dan "obsolete", tapi menunjukkan sebagai organisasi yang fleksibel dan terbuka terhadap perubahan, serta memiliki kesiapan untuk mengartikulasi dan menyalurkan aspirasi publik yang semakin beragam.

Ada berbagai peluang baru yang juga harus dieksplor oleh parpol-parpol di Indonesia. Segmen pemilih muda yang semakin membesar, kekhawatiran publik yang semakin besar akan masa depannya, serta kemajuan teknologi yang memungkinkan komunikasi masif dalam waktu bersamaan dan singkat, membutuhkan kemampuan parpol dalam beradaptasi. Parpol yang dapat mengoptimalkan peluang baru ini, bakal berada di barisan terdepan dalam merebut ceruk pemilih baru.

Pekerjaan rumah besar selanjutnya bagi pemimpin parpol-parpol besar di Indonesia, adalah bagaimana menciptakan "positioning" yang tepat untuk menjadikan partainya tetap relevan di masa depan, bukan hanya berkutat di masa kini.

Karena, tanpa ada "positioning" yang jelas dan berbeda, parpol-parpol yang saat ini ada bakal sulit memperoleh kepercayaan dan kesetiaan para pemilih potensial dari ceruk yang lebih besar. Untuk itu, transformasi organisasi dan regenerasi, merupakan keharusan bagi parpol-parpol di Indonesia untuk tetap relevan di masa kini dan mendatang.

*) Penulis adalah Direktur Manilka Research

Daftar Referensi:
Gilbert, Clark, Johnson, Mark W, and Scott D Anthony (2017), Dual Transformation: How to Reposition Today's Business While Creating the Future (Boston:Harvard Business Review Pers). Heywood, Andrew (2013), Politics, 4th edition. (Basingstoke and New York:Palgrave Macmillan)

Robbins, Stephen P (2006), Organizational Behavior. (New Jersey:Prentice Hall) Tichy, Noel M. and Mary Anne Devanna (1986), The Transformational Leader (New York: John Wiley & Sons, Inc)


 
Oleh Riza Harahap
COPYRIGHT © ANTARA 2020