Balikpapan (ANTARA) - Dua peneliti dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, menemukan bahwa 2 jenis tanaman, yaitu temu ireng dan bangalai, berkhasiat mencegah COVID-19, juga berhasil dibuktikan bahwa madu kelulut dapat menghambat perkembangan virus corona baru.
“Kami memulai penelitian sejak tahun 2008,” kata Dr Swandari Paramita, Kamis. Tentu saja saat itu belum ada COVID-19, dan penelitian tidak disebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia itu.
Tahun itu Dr Paramita dan rekannya Profesor Enos Tangke Arung PhD meneliti kandungan bangalai sebab tumbuhan ini umbinya biasa digunakan masyarakat Dayak sebagai obat yang berkhasiat menurunkan tingkat kolesterol dalam darah.
Diketahui bahwa tingkat kolesterol yang tinggi dapat memperlambat penyembuhan COVID-19.
Baca juga: AMM ASEAN diharapkan bahas tata kelola dana, obat COVID-19 di kawasan
Baca juga: BPOM: kemitraan pengembangan vaksin COVID-19 dengan UEA penting
“Nah, dengan minum air rebusan bangalai, kolesterol menurun, dan imunitas tubuh meningkat, mengurangi risiko terpapar COVID-19,” tutur Dr Paramita yang juga Ketua Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Hutan Tropika Kalimantan Timur (PUI PT OKTAL) pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mulawarman (LP2M Unmul).
Sebab temuan ini, PUI-PT OKTAL mendapat pendanaan untuk terus melanjutkan riset mengenai obat COVID-19. Kemenristek-BRIN mendanai riset bangalai dan temu ireng, dan satu lembaga dana Jepang mendanai penelitian madu kelulut yang dikerjakan bersama Universitas Kyushu.
Lebih jauh, PUI PT Oktal bekerjasama dengan Universitas Kyushu di Jepang untuk mengembangkan madu kelulut sebagai bahan penghambat COVID-19.
Madu ini dihasilkan oleh spesies lebah kecil yang tidak memiliki sengat yang antara lain disebut tawon klanceng (Trigona sp). Madu kelulut karena di alam diproduksi terbatas maka menjadi lebih mahal dibanding madu dari tawon jenis lain.
Diketahui, dari satu sarang tawon klanceng, madu kelulut hanya dihasilkan 5 liter dalam setahun.
“Ini berani kami klaim sebagai penghambat COVID-19. Teman-teman dari Universitas Kyushu yang mengujinya dengan virus,” ungkap Dr Paramita.
Tentang temu ireng bahkan sudah mendapat hak paten sebagai obat asma, yang disebutkan dapat juga berperan sebagai obat COVID-19. Menurut Paramita, ramuan temu ireng ini akan diproduksi massal oleh sebuah perusahaan jamu ternama.
“Nama Unmul akan tercantum sebagai pemegang hak paten di labelnya,” demikian Dr Paramita.*
Baca juga: Unair segera rilis senyawa bakal calon obat spesifik COVID-19
Baca juga: Chile setujui obat COVID-19 buatan Rusia
“Kami memulai penelitian sejak tahun 2008,” kata Dr Swandari Paramita, Kamis. Tentu saja saat itu belum ada COVID-19, dan penelitian tidak disebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia itu.
Tahun itu Dr Paramita dan rekannya Profesor Enos Tangke Arung PhD meneliti kandungan bangalai sebab tumbuhan ini umbinya biasa digunakan masyarakat Dayak sebagai obat yang berkhasiat menurunkan tingkat kolesterol dalam darah.
Diketahui bahwa tingkat kolesterol yang tinggi dapat memperlambat penyembuhan COVID-19.
Baca juga: AMM ASEAN diharapkan bahas tata kelola dana, obat COVID-19 di kawasan
Baca juga: BPOM: kemitraan pengembangan vaksin COVID-19 dengan UEA penting
“Nah, dengan minum air rebusan bangalai, kolesterol menurun, dan imunitas tubuh meningkat, mengurangi risiko terpapar COVID-19,” tutur Dr Paramita yang juga Ketua Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Hutan Tropika Kalimantan Timur (PUI PT OKTAL) pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mulawarman (LP2M Unmul).
Sebab temuan ini, PUI-PT OKTAL mendapat pendanaan untuk terus melanjutkan riset mengenai obat COVID-19. Kemenristek-BRIN mendanai riset bangalai dan temu ireng, dan satu lembaga dana Jepang mendanai penelitian madu kelulut yang dikerjakan bersama Universitas Kyushu.
Lebih jauh, PUI PT Oktal bekerjasama dengan Universitas Kyushu di Jepang untuk mengembangkan madu kelulut sebagai bahan penghambat COVID-19.
Madu ini dihasilkan oleh spesies lebah kecil yang tidak memiliki sengat yang antara lain disebut tawon klanceng (Trigona sp). Madu kelulut karena di alam diproduksi terbatas maka menjadi lebih mahal dibanding madu dari tawon jenis lain.
Diketahui, dari satu sarang tawon klanceng, madu kelulut hanya dihasilkan 5 liter dalam setahun.
“Ini berani kami klaim sebagai penghambat COVID-19. Teman-teman dari Universitas Kyushu yang mengujinya dengan virus,” ungkap Dr Paramita.
Tentang temu ireng bahkan sudah mendapat hak paten sebagai obat asma, yang disebutkan dapat juga berperan sebagai obat COVID-19. Menurut Paramita, ramuan temu ireng ini akan diproduksi massal oleh sebuah perusahaan jamu ternama.
“Nama Unmul akan tercantum sebagai pemegang hak paten di labelnya,” demikian Dr Paramita.*
Baca juga: Unair segera rilis senyawa bakal calon obat spesifik COVID-19
Baca juga: Chile setujui obat COVID-19 buatan Rusia
Pewarta: Novi Abdi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2020
0 comments:
Post a Comment