Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn.) Dr. Moeldoko memiliki pandangan tersendiri terkait Hari Sumpah Pemuda.

Mantan Panglima TNI itu berbincang dengan salah satu staf komunikasi politik Kantor Staf Kepresidenan untuk merefleksikan sumpah pemuda dalam diri anak muda saat ini sekaligus dalam cita-cita Presiden Jokowi.

Berikut wawancara dengan Moeldoko:

Tanya: Ini sebuah pertanyaan klise yang berulang setiap tahun. Apakah Sumpah Pemuda masih relevan untuk saat ini?

Moeldoko: Pada tahun 1928, generasi muda Indonesia memikirkan masa depan bangsa dalam konteks penuh tekanan penjajahan. Mereka sudah memikirkan sebuah imajinasi tentang masa depan Indonesia. Saat ini situasinya berbeda. Anak-anak muda lebih memiliki kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berkumpul, dan punya kemerdekaan imajinasi yang melampaui pemikiran pemuda zaman dulu. Mestinya.

Baca juga: Presiden : Pembangunan dari pinggiran, desa untuk Indonesia sentris

Tanya: Apa maksud Anda dengan “mestinya” memiliki Kemerdekaan Imajinasi?

Moeldoko: Iya, pemuda saat ini mestinya membangun imajinasi besar tentang Indonesia yang mereka inginkan. Jadi, jangan memaknai Sumpah Pemuda dalam konteks 92 tahun silam. Mereka harus membangun imajinasi melampaui generasi. Berpikir tentang bagaimana saat saya nanti memimpin? Bagaimana wajah baru Indonesia saat itu? Sebuah tantangan yang jauh berbeda dengan saat ini, karena mereka akan menghadapi tantangan global yang serba cepat. Dan segalanya mungkin, bagi generasi muda di tahun 2045 nanti, saat Indonesia seabad dalam kemerdekaan.

Tanya: Jika kita baca, teks Sumpah Pemuda intinya tentang perasaan bersama dan mempersatukan. Bagaimana Anda melihat situasi saat ini yang muncul, adanya berbagai gesekan dan mengeksploitasi perbedaan?

Moeldoko: Tiga hal yang menjadi substansi Sumpah Pemuda akan selalu kontekstual dan menzaman. Sampai kapan pun, harus diingat kita bersepakat membangun sebuah ikatan besar keindonesiaan. Negara besar yang terdiri dari 17.000 pulau dengan berbagai suku, agama, etnis. Anak-anak muda harus betul-betul lebih membangun lagi suatu ikatan. Jangan lagi kita punya pemahaman sempit. Jangan lagi benih intoleransi muncul. Karena itu sungguh sangat menganggu. Tapi saya melihat, anak-anak muda meski saling berbeda pendapat, mereka selalu bersatu jika menyangkut bela negara. Ingat kasus pasukan cyber army kita yang rata-rata anak muda. Saat Indonesia diganggu, mereka secara bersama “menyerang” negara tetangga melalui keahlian di bidang IT. Saya percaya mereka sangat cinta Indonesia.

Tanya: Anda tadi menyebut, anak-anak Indonesia saat ini harus berimajinasi bagaimana wajah mereka pada tahun 2045. Apa yang dipersiapkan pemerintahan sekarang untuk mereka?

Moeldoko: Presiden Jokowi dengan sangat tepat menyiapkan fondasi bagi mereka melalui strategi pembangunan nasional. Pada periode pertama pemerintahan, Presiden Jokowi membangun secara masif infrastruktur. Pada lima tahun berikutnya, perhatian utama membangun sumber daya manusia. Bersama dengan kedua fondasi itu, disiapkan pula pembenahan birokrasi, regulasi, dan restrukturisasi ekonomi. Jadi, sebenarnya yang ingin dicapai adalah competitiveness. Sebuah bangsa yang memiliki daya saing.

Baca juga: Bamsoet ingatkan kaum milenial teruskan semangat Sumpah Pemuda

Tanya: Apa program nyata pemerintah untuk anak Indonesia?

Moeldoko: Pemerintah memikirkan perkembangan generasi ini sejak 1.000 hari pertama kehidupan. Sebuah golden period untuk menghindarkan generasi mengalami stunting. Kemudian pembiasaan karakter dan akhlak sejak PAUD. Sejak dini. Setelah itu, perhatian besar dalam pemenuhan kebutuhan guru dan distribusinya untuk SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Pemerintah juga selalu melihat kurikulum pendidikan yang adjustable dengan perubahan zaman. Adanya link and match antara skill yang diajarkan dan skill yang dibutuhkan. Presiden Jokowi juga menekankan leave no man behind melalui program Indonesia Pintar. Ada 18 juta siswa yang menerima KIP dan 200.000 mahasiswa yang menerima KIP kuliah.

Tanya: Bagaimana Anda melihat banyaknya brain drain, anak-anak Indonesia mendapat kesempatan belajar dan bekerja di luar negeri tanpa kita ketahui?

Moeldoko: Ini sudah kita pikirkan dalam rancangan pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah menyiapkan manajemen talenta nasional, sebuah wadah untuk mengenali anak-anak Indonesia yang memiliki keunggulan. Mereka kita catat dalam database lalu perkembangan mereka kita pantau untuk dipersiapkan ekosistem yang tepat. Jadi, kita punya anak unggul, berikutnya ada research and development, lalu ada industri sehingga terjadi link and match.

Tanya: Orang tua sering kali gelisah melihat perkembangan anak yang tidak seperti harapan mereka. Akan tetapi, hal yang sama terjadi antara generasi orang tua dan generasi sebelumnya. Bagaimana Anda menilainya?

Moeldoko: Setiap anak, saya yakin punya rasa be myself. Secara norma, orang tua punya tanggung jawab membangun karakter anak dan mengajarkan mereka menghadapi tantangan. Jadi, serahkan pada mereka. Kita (orang tua) cukup memberi koridor. Seperti juga saya, tidak bisa memikirkan tantangan yang dihadapi anak saya. Mereka punya tantangan sendiri. Mungkin juga karena saya enggak nyampai, “gaptek”. Jadi, waktu anak saya memilih kegiatan bisnisnya di bidang IT, ya, serahkan pada pilihannya. Saya tidak memaksakan anak, misalnya harus masuk tentara.

Tanya: Mengapa?

Moeldoko: Karena setiap anak merdeka untuk berimajinasi dan tidak boleh dijajah, baik oleh lingkungan, guru, maupun orang tua. Jadi, orang tua memberi koridor, pemerintah membuka ruang kesempatan.

Tanya: Bagaimana pendapat Anda tentang orang tua yang memaksakan nilai-nilai hidupnya pada seorang anak?

Moeldoko: Saya sering bertentangan dengan beberapa orang tua yang menilai seolah anak muda sekarang kurang Pancasilais, tidak nasionalis. Menurut saya tidak begitu. Cara pandang orang tua jangan difotokopikan ke anak. Itu salah. Sepanjang kita sudah memastikan karakter anak terbangun dengan baik di rumah, maka nilai-nilai Pancasila itu sudah pasti terinternalisasi. Bagaimana penghormatan pada orang tua atau pada orang lain? Bagaimana menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara? Akan tetapi, kadang orang tua itu saat menghadapi anak, berharap dia sedang melihat cermin. Lalu anak disuruh mengikuti bayangannya. 'Kan repot!

Baca juga: Puan: Sumpah Pemuda momentum perkuat persatuan dan gotong royong

Tanya: Anda pernah menyebut paradoks terkait unjuk rasa dan UU Cipta Kerja. Bagaimana jika memang penolakan itu memang kemauan anak muda?

Moeldoko: Betul. Saya berkali-kali menyampaikan paradoks ini. Pemerintah bersungguh-sungguh mencoba menurunkan angka pengangguran. Setiap tahun ada 2,9 juta angkatan kerja baru. Angka ini menambah jumlah pengangguran akibat pandemi COVID-19. Pada tahun 2030 kita mendapat bonus demografi yang bisa berdampak naiknya jumlah pengangguran jika tidak diantisipasi. Pemerintah mencoba membuka peluang melalui UU Cipta Kerja. Tetapi anak-anak muda, calon tenaga kerja baru malah menolaknya. Tetapi saya melihat itu hanya sebagian kecil. Sebagian besar mereka sudah paham. Yang pasti, jangan sampai anak-anak muda terprovokasi hasutan atau ajakan yang dia sendiri tidak paham. Terpenting lagi, jangan lagi ada yang malu kalau tidak ikut unjuk rasa. Mulailah berani mengambil keputusan bahwa apa yang kita lakukan harus kita pahami tujuannya. Harusnya malu kalau berunjuk rasa tapi tidak paham tujuannya.

Tanya: Tapi kalau mereka tidak ikut unjuk rasa, dianggap tidak keren. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

Moeldoko: Banyak peristiwa menunjukkan peran anak muda dalam mengubah sejarah bangsanya. Tapi perlu saya ingatkan adanya pameo yang sangat buruk “biar keliru asal heroik”. Saya menghargai anak muda yang memiliki karakter kuat. Itu modal bagi bangsa untuk selalu optimistis. Pembelajaran politik yang benar bagi anak muda sangat penting. Kalau tidak, malah jadi repot, karena anak-anak akan menjadi instrumen kekerasan. Janganlah kita, sebagai orang tua atau guru, bersikap pasif baik secara sadar atau tidak sadar. Karena itu akan menjerumuskan mereka. Saya dulu waktu kecil juga dikenal nakal. Tetapi nakal saya ternyata mendukung untuk menjadi seorang prajurit.

Tanya: Apa kenakalan yang pernah Anda lakukan saat kecil?

Moeldoko: Masa kecil saya hidup di desa. Belakang rumah ada nggawan (sungai) yang kalau musim hujan arusnya kencang. Saya biasa beradu dengan teman-teman untuk berenang memotong arus untuk sampai di seberang. Siapa yang sudutnya paling kecil, itu yang menang.

Baca juga: MPR minta pemerintah sosialisasikan UU Ciptaker ke semua elemen

Tanya: Apakah Anda sering menang?

Moeldoko: Ya, kadang-kadang. Tapi itu melatih keberanian saya. Karena hidup itu harus melawan tantangan.

Tanya: Apakah cita cita Presiden Jokowi sudah klop dengan keinginan anak muda?

Moeldoko: Cita-cita Presiden Jokowi untuk anak muda Indonesia itu keren banget, lho. Kita lihat saja, Presiden mengangkat menteri millenial. Staf khusus juga dari kalangan millenial. Korporasi berbasis pertanian dan teknologi sangat didukung. Apalagi yang membuat millenial ragu pada Presiden?

Dalam berbagai kesempatan Presiden memastikan tentang cita-citanya. Pertama, tidak ada satupun warganya yang tertinggal dalam meraih cita-cita. Makanya, sejak bayi mereka harus sehat. Kemudian mereka juga mendapat pendidikan yang baik supaya pintar. Ini jelas agar manusia Indonesia nanti tidak kalah keren dengan manusia manusia lain di negara maju.

Kedua, Indonesia yang demokratis dimana setiap warganya bisa menikmati hasil demokrasi. Artinya, anak-anak pintar mendapat kesempatan yang sama untuk berkarir di berbagai bidang.

Ketiga, negara berdasarkan hukum sehingga semua diberlakukan sama di depan hukum.

Baca juga: Akademisi: Pancasila wajib dijadikan jiwa hukum nasional

Keempat, Indonesia yang sejajar di bidang teknologi dengan negara lain. Presiden Jokowi sudah menyiapkan berbagai infrastruktur termasuk tol langit berupa kabel optik yang tersambung dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur. Ini membuka kesempatan yang sama bagi setiap anak Indonesia untuk bisa mengakses dan memanfaatkan teknologi.

Kelima, Indonesia yang memiliki kemampuan dan daya saing di tengah lingkungan global yang kompetitif. Jadi, tidak ada lagi anak Indonesia yang minder dalam pergaulan dan persaingan antarbangsa. Pemikiran Presiden Jokowi ini sangat keren. Beliau sebagai pemimpin yang setiap detik memikirkan masa depan anak Indonesia.

Oleh Hanni Sofia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2020