Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyarankan kepada calon kepala daerah (cakada) agar titik rawan korupsi di daerahnya bisa dijadikan bahan dalam kampanye.
"Terkait dengan calon kepala daerah sekarang, bapak memetakan daerah mana daerah rawan korupsi di daerah bapak, bapak boleh jadikan bahan kampanye," kata Firli saat webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas 2020 yang disiarkan akun YouTube Kanal KPK, Selasa.
Pembekalan itu diikuti oleh calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu dari Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur.
Baca juga: Firli: Ada dua kepala daerah yang akan ditahan KPK
"Bahan kampanye untuk menghentikan korupsi itu menggunakan pendidikan masyarakat maupun dengan cara perbaikan sistem karena korupsi itu juga ada disebabkan karena sistem," ungkap Firli.
Dalam kesempatan itu, dia juga menjelaskan tiga alasan pentingnya pilkada yang berintegritas. Pertama, luasnya kewenangan kepala daerah, yakni otoritas mengurus pemerintahan dan mengelola keuangan daerah walaupun disokong dan disetujui oleh DPRD.
"Terkait ini ada deal-deal kesepakatan kongkalikong istilah 'ketok palu'. Kalau ada DPRD yang pengesahan APBD-nya harus menggunakan uang 'ketok palu' lapor dengan Mendagri lapor dengan saya. Pasti diambil alih oleh Mendagri kalau pembahasan RAPBD itu terhambat oleh DPRD," tuturnya.
Firli pun mencontohkan kasus suap "ketok palu" pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017 dan 2018.
Dalam kasus itu, KPK total telah menetapkan tersangka sebanyak 18 orang. Dari jumlah itu, 12 di antaranya telah diproses hingga persidangan. Para pihak yang diproses tersebut terdiri atas gubernur, pimpinan DPRD, pimpinan fraksi DPRD, dan pihak swasta.
"Lebih lucu lagi ada KPK datang di suatu daerah kami sampaikan seperti itu kebetulan lagi bahas tentang RAPBD. Tidak ada kesepakatan antara gubernur dan DPRD. Kami datang intervensi, 'ketok palu' gratis saat itu," ucap Firli.
Namun, kata dia, saat KPK pulang, anggota DPRD pun menanyakan kepada gubernurnya soal kesepakatan "uang ketok palu" tersebut.
Baca juga: Ketua KPK: Teladan pahlawan nasional jadi inspirasi berantas korupsi
"Begitu kami pulang, anggota DPRD tanya dengan gubernurnya mana kesepakatan 'uang ketok palu', palunya sudah saya ketok APBD-nya sudah disetujui. Kata gubernurnya apa, baru kemarin KPK datang ke sini, apa kata DPRD itu 'kan kemarin, sekarang sudah balik dia', deal bayar-bayaran. Akhirnya, satu gubernur, satu sekda, lima kadis, 11 anggota DPRD kena semua," kata Firli.
Kedua, alasan pentingnya pilkada yang berintegritas karena banyak kepala daerah yang tersangkut korupsi.
"Kedua kenapa perlu integritas? Karena banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Saya tentu dengan Pak Mendagri, KPU, Bawaslu sepakat kami dari awal mengingatkan calon kepala daerah supaya tidak terlibat kasus korupsi. Datanya mengerikan 122 bupati/wali kota, 21 gubernur yang ditangani KPK," ucapnya.
Terakhir alasan dibutuhkan pilkada yang berintegritas, politik uang pada pilkada, yakni pada pendanaan pencalonan/kampanye hingga menjabat kepala daerah, melibatkan peserta, penyelenggara/pengawas, pemilih, partai politik, hingga pengusaha/penyandang dana.
"Terkait dengan calon kepala daerah sekarang, bapak memetakan daerah mana daerah rawan korupsi di daerah bapak, bapak boleh jadikan bahan kampanye," kata Firli saat webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas 2020 yang disiarkan akun YouTube Kanal KPK, Selasa.
Pembekalan itu diikuti oleh calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu dari Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur.
Baca juga: Firli: Ada dua kepala daerah yang akan ditahan KPK
"Bahan kampanye untuk menghentikan korupsi itu menggunakan pendidikan masyarakat maupun dengan cara perbaikan sistem karena korupsi itu juga ada disebabkan karena sistem," ungkap Firli.
Dalam kesempatan itu, dia juga menjelaskan tiga alasan pentingnya pilkada yang berintegritas. Pertama, luasnya kewenangan kepala daerah, yakni otoritas mengurus pemerintahan dan mengelola keuangan daerah walaupun disokong dan disetujui oleh DPRD.
"Terkait ini ada deal-deal kesepakatan kongkalikong istilah 'ketok palu'. Kalau ada DPRD yang pengesahan APBD-nya harus menggunakan uang 'ketok palu' lapor dengan Mendagri lapor dengan saya. Pasti diambil alih oleh Mendagri kalau pembahasan RAPBD itu terhambat oleh DPRD," tuturnya.
Firli pun mencontohkan kasus suap "ketok palu" pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017 dan 2018.
Dalam kasus itu, KPK total telah menetapkan tersangka sebanyak 18 orang. Dari jumlah itu, 12 di antaranya telah diproses hingga persidangan. Para pihak yang diproses tersebut terdiri atas gubernur, pimpinan DPRD, pimpinan fraksi DPRD, dan pihak swasta.
"Lebih lucu lagi ada KPK datang di suatu daerah kami sampaikan seperti itu kebetulan lagi bahas tentang RAPBD. Tidak ada kesepakatan antara gubernur dan DPRD. Kami datang intervensi, 'ketok palu' gratis saat itu," ucap Firli.
Namun, kata dia, saat KPK pulang, anggota DPRD pun menanyakan kepada gubernurnya soal kesepakatan "uang ketok palu" tersebut.
Baca juga: Ketua KPK: Teladan pahlawan nasional jadi inspirasi berantas korupsi
"Begitu kami pulang, anggota DPRD tanya dengan gubernurnya mana kesepakatan 'uang ketok palu', palunya sudah saya ketok APBD-nya sudah disetujui. Kata gubernurnya apa, baru kemarin KPK datang ke sini, apa kata DPRD itu 'kan kemarin, sekarang sudah balik dia', deal bayar-bayaran. Akhirnya, satu gubernur, satu sekda, lima kadis, 11 anggota DPRD kena semua," kata Firli.
Kedua, alasan pentingnya pilkada yang berintegritas karena banyak kepala daerah yang tersangkut korupsi.
"Kedua kenapa perlu integritas? Karena banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Saya tentu dengan Pak Mendagri, KPU, Bawaslu sepakat kami dari awal mengingatkan calon kepala daerah supaya tidak terlibat kasus korupsi. Datanya mengerikan 122 bupati/wali kota, 21 gubernur yang ditangani KPK," ucapnya.
Terakhir alasan dibutuhkan pilkada yang berintegritas, politik uang pada pilkada, yakni pada pendanaan pencalonan/kampanye hingga menjabat kepala daerah, melibatkan peserta, penyelenggara/pengawas, pemilih, partai politik, hingga pengusaha/penyandang dana.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2020
0 comments:
Post a Comment