Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Ermarini mengatakan para dai turut serta mengajarkan untuk membangun nasionalisme disamping mengajarkan tentang akidah keagamaan.
”Maka saya selalu mengatakan, ketika kita mengadakan rutinan di seluruh daerah di Indonesia, para da’iyah-da’iyah (dai perempuan) ini tidak hanya berbicara tentang menyempurnakan sholat saja. Tetapi juga bagaimana menyempurnakan ibadah-ibadah ritual. Namun kita juga harus selalu mencintai negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Kamis.
Menurut dia, tentangan isu persatuan, kesatuan, Bhineka Tunggal Ika dan radikalisme pada 5 atau 10 tahun yang lalu berbeda dengan hari ini.
Baca juga: Ketua PB NU sambut baik penunjukan Listyo Sigit sebagai calon Kapolri
Untuk itu, menurut dia, para dai juga perlu memperbarui dan meningkatkan pengetahuan terkait hal itu sesuai dengan perkembangan terkini yang lebih dinamis.
”Artinya kita yang produk lama ini perlu di update dan di upgrade lagi tentang kapasitas dan keterampilan untuk menyikapi isu-isu yang terus berkembang ini,” ucap wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris PP Lembaga Kesehatan NU (LKNU) ini.
Menurutnya, negara perlu untuk mengintervensi, meningkatkan kapasitas atau peran-peran dari para komunitas-komunitas seperti yang dimiliki NU atau Muhammadiyah dalam menangani isu-isu tersebut.
”Karena mereka ini sudah punya potensi, sudah punya gerakan-gerakan yang mampu dijadikan sebagai alat untuk merespon isu-isu atau perkembangan hari ini dan tinggal dimanfaatkan saja sebetulnya,” katanya.
Ia menuturkan bahwa paham seperti terorisme dan radikalisme pergerakannya sangat halus sekali. Maka dari itu menurutnya, intervensi yang dilakukan juga harus lebih halus lagi di masyarakat, terutama kepada para ustad dan kyai-kyai atau para sepuh-sepuh di masyarakat untuk mampu merespon hal itu.
Selain itu menurut dia, masalah politik identitas juga perlu direspon, mengingat hal ini juga dinilainya membahayakan persatuan dan kesatuan.
Menurutnya penting memberikan pendidikan kepada masyarakat terkait hal itu. Apalagi saat ini banyak sekali orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ulama padahal dia bukan ulama dengan berkedok lewat pakaian.
”Ini juga yang perlu untuk diketahui dan diwaspadai oleh masyarakat agar tidak mudah sekali terhasut dalam politik identitas apalagi yang membawa isu agama,” ujar mantan Sekretaris Umum Fatayat NU ini mengakhiri.
Baca juga: Inggris ajak NU, Muhammadiyah ikut lawan perubahan iklim lewat agama
Baca juga: NU Jakarta libatkan remaja masjid salurkan ribuan masker di Jaktim
”Maka saya selalu mengatakan, ketika kita mengadakan rutinan di seluruh daerah di Indonesia, para da’iyah-da’iyah (dai perempuan) ini tidak hanya berbicara tentang menyempurnakan sholat saja. Tetapi juga bagaimana menyempurnakan ibadah-ibadah ritual. Namun kita juga harus selalu mencintai negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Kamis.
Menurut dia, tentangan isu persatuan, kesatuan, Bhineka Tunggal Ika dan radikalisme pada 5 atau 10 tahun yang lalu berbeda dengan hari ini.
Baca juga: Ketua PB NU sambut baik penunjukan Listyo Sigit sebagai calon Kapolri
Untuk itu, menurut dia, para dai juga perlu memperbarui dan meningkatkan pengetahuan terkait hal itu sesuai dengan perkembangan terkini yang lebih dinamis.
”Artinya kita yang produk lama ini perlu di update dan di upgrade lagi tentang kapasitas dan keterampilan untuk menyikapi isu-isu yang terus berkembang ini,” ucap wanita yang juga menjabat sebagai Sekretaris PP Lembaga Kesehatan NU (LKNU) ini.
Menurutnya, negara perlu untuk mengintervensi, meningkatkan kapasitas atau peran-peran dari para komunitas-komunitas seperti yang dimiliki NU atau Muhammadiyah dalam menangani isu-isu tersebut.
”Karena mereka ini sudah punya potensi, sudah punya gerakan-gerakan yang mampu dijadikan sebagai alat untuk merespon isu-isu atau perkembangan hari ini dan tinggal dimanfaatkan saja sebetulnya,” katanya.
Ia menuturkan bahwa paham seperti terorisme dan radikalisme pergerakannya sangat halus sekali. Maka dari itu menurutnya, intervensi yang dilakukan juga harus lebih halus lagi di masyarakat, terutama kepada para ustad dan kyai-kyai atau para sepuh-sepuh di masyarakat untuk mampu merespon hal itu.
Selain itu menurut dia, masalah politik identitas juga perlu direspon, mengingat hal ini juga dinilainya membahayakan persatuan dan kesatuan.
Menurutnya penting memberikan pendidikan kepada masyarakat terkait hal itu. Apalagi saat ini banyak sekali orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ulama padahal dia bukan ulama dengan berkedok lewat pakaian.
”Ini juga yang perlu untuk diketahui dan diwaspadai oleh masyarakat agar tidak mudah sekali terhasut dalam politik identitas apalagi yang membawa isu agama,” ujar mantan Sekretaris Umum Fatayat NU ini mengakhiri.
Baca juga: Inggris ajak NU, Muhammadiyah ikut lawan perubahan iklim lewat agama
Baca juga: NU Jakarta libatkan remaja masjid salurkan ribuan masker di Jaktim
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment