Apabila kita bahas masalah hukum yang masih berlaku akan menjadi pertentangan antar regulasi
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai rencana aksi korporasi PT MRT Jakarta (Perseroda) untuk mengakuisisi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia, bertentangan dengan regulasi yang ada.“Apabila kita bahas masalah hukum yang masih berlaku akan menjadi pertentangan antar regulasi,” kata Deddy dalam diskusi virtual Serikat Pekerja Kereta Api yang bertajuk Integrasi atau Akuisisi di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan saat ini masih berlaku Perpres No 83 Tahun 2011 tentang penugasan kepada KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek.
“Kalau nantinya jadi MRT ambil saham mayoritas di KAI di KCI, Perpres tersebut harus dicabut dulu karena KAI menjalankan produksi di Jabodetabek melalui anak perusahaannya PT KCI dan PT Railink,” ujarnya.
Menurut dia, di sisi lain adalah penugasan pemerintah pusat kepada KAI untuk subsidi tarif PSO, perawatan/ IMO dan TAC, bila KAI dipaksa akuisisi berarti semua Permenhub, Permenkeu dan Perdirjen akan diganti semua berikut turunannya.
Selama ini, lanjut Deddy, belum pernah ada PSO pemerintah pusat diberikan kepada BUMD, karena status MITJ adalah BUMD Pemprov DKI.
“Bila semua piranti hukumnya tidak diganti dalam operasinya MITJ nya nanti akan ruwet. Apalagi bila akan mengelola TOD di 72 stasiun KAI/KCI di Jabodetabek akan berhadapan dengan aturan BMN yang ada di Kemenkeu. Sementara saat ini yang telah menjadi aset milik KAI baru ada empat stasiun (PMN),” katanya.
Rencana akuisisi tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat terbatas (ratas) Presiden bersama Gubernur DKI, Jawa Barat dan Banten pada tanggal 8 Januari 2019.
Dalam konteks tersebut, Deddy menjelaskan, hasil ratas presiden adalah bukan sebuah produk hukum.
“Bila produk hukum wajib dilaksanakan, namun dalam hasil ratas tersebut ada beberapa arahan presiden berupa wacana-wacana kreatif untuk pengelolaan transportasi terpadu yang dikelola terpusat,” ujarnya.
Dalam ratas tersebut ada dua pilihan, hal tersebut dinilai sebagai “permisalan” yakni memberikan saham mayoritas di PT KCI kepada Pemprov DKI Jakarta atau dengan membentuk joint venture antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan Pemprov DKI Jakarta mengenai pengelolaan stasiun.
Sebenarnya telah dipilih dengan joint venture (JV) atau usaha patungan antara MRTJ dan KCI dengan membentuk PT Multimoda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ).
Namun akhirnya Pemprov DKI melalui MRTJ umumkan akan akuisisi saham mayoritas KAI di KCI sebesar 51 persen.
“Kenyataan ini, artinya Pemprov DKI mau semuanya, dua-duanya pilihan diambil, mau saham mayoritas KCI dan mau JV,” ujar Deddy.
Deddy menilai belum ada kajian yang menyatakan dengan akuisisi tersebut pasti ada peningkatan peralihan (shifting) ke angkutan umum atau bakal ada perbaikan pelayanan.
“Apakah ada jaminan setelah akuisisi saham KCI akan ada penambahan penumpang dari satu juta per hari, menjadi dua hingga empat juta per hari, apakah ada perbaikan pelayanan AC KRL selalu dingin, perjalanan KRL akan selalu tepat waktu, ada pergantian sarana/prasarana KRL dan lain-lain. Kita masih belum paham maksud dari pembelian saham mayoritas KCI tersebut untuk perbaikan layanan KRL commuter line (CL) atau untuk kepentingan yang lain,” katanya.
Baca juga: KAI akui akuisisi KCI oleh MRT berdampak berat bagi kondisi keuangan
Baca juga: KRL Yogyakarta-Solo mulai uji coba dengan penumpang terbatas
Baca juga: Investasi elektrifikasi KRL Yogyakarta-Solo capai Rp1,2 triliun
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment