Semarang (ANTARA) - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini sangat menyayangkan Komisi II DPR RI memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum, yang akan menyatukan UU No. 10/2016 tentang Pilkada dan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
"Mengingat secara faktual dan objektif berdasarkan hasil evaluasi Pemilu 2019, ada banyak pengaturan dalam UU Pemilu yang memerlukan perbaikan agar pelaksanaan pemilu menjadi lebih mudah, sederhana, dan berkualitas," kata Titi Anggraini dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Dengan demikian, kata Titi, memungkinkan pemilih untuk bisa memilih dengan cerdas dan penyelenggara pemilu tidak terlalu terbebani dalam menyelenggarakan pemilu akibat rerata beban yang terlalu berat untuk mereka kerjakan.
Baca juga: Titi: Perlu RUU Pemilu untuk penguatan keterwakilan perempuan
Meskipun misalnya Pemerintah dan sejumlah partai berkukuh tidak mau menormalisasi jadwal pilkada, kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bukan berarti UU Pemilu tidak perlu ada perubahan.
Lepas dari keinginan sejumlah partai yang tidak menghendaki ada perubahan terkait dengan variabel sistem pemilu, semisal metode pemberian suara, besaran daerah pemilihan, ambang batas parlemen, maupun ambang batas pencalonan presiden, menurut Titi, tidak menutup adanya fakta bahwa sejumlah ketentuan undang-undang perlu disesuaikan agar bisa mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Titi lantas menyebut sejumlah kelemahan pada Pemilu 2019, antara lain teknis penghitungan suara yang sangat membebani petugas, kemudian penetapan hasil pemilihan yang sangat lama sampai 35 hari setelah hari pemungutan suara.
Berikutnya, perbedaan persepsi antara penyelenggara pemilu terkait dengan sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu maupun belum adanya landasan hukum yang kuat untuk penggunaan sistem teknologi untuk rekapitulasi suara. Hal ini seharusnya bisa disikapi dengan melalukan perbaikan melalui revisi UU Pemilu.
"Saya mengkhawatirkan penyelenggara pemilu akan mengalami kesulitan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 jika tidak ada perubahan dalam UU Pemilu," kata Titi yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Menurut Titi, bukan tidak mungkin berbagai persoalan pada Pemilu 2019 akan kembali terulang, mulai dari petugas yang kelelahan hingga meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD, akibat pemilih yang kebingungan, dampak dari kompleksitas pemilihan yang berjalan.
Selain itu, lanjut dia, menurunnya kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu yang berdampak pada logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi, serta meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara, dan lain-lain.
Baca juga: Kemarin, RUU pemilu tak lanjut dibahas hingga soal calon hakim ad hoc
Baca juga: DPR: RUU Pemilu diputuskan di Masa Sidang IV
Baca juga: Analis: Pemberlakuan UU Pemilu berjangka panjang
"Mengingat secara faktual dan objektif berdasarkan hasil evaluasi Pemilu 2019, ada banyak pengaturan dalam UU Pemilu yang memerlukan perbaikan agar pelaksanaan pemilu menjadi lebih mudah, sederhana, dan berkualitas," kata Titi Anggraini dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Dengan demikian, kata Titi, memungkinkan pemilih untuk bisa memilih dengan cerdas dan penyelenggara pemilu tidak terlalu terbebani dalam menyelenggarakan pemilu akibat rerata beban yang terlalu berat untuk mereka kerjakan.
Baca juga: Titi: Perlu RUU Pemilu untuk penguatan keterwakilan perempuan
Meskipun misalnya Pemerintah dan sejumlah partai berkukuh tidak mau menormalisasi jadwal pilkada, kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bukan berarti UU Pemilu tidak perlu ada perubahan.
Lepas dari keinginan sejumlah partai yang tidak menghendaki ada perubahan terkait dengan variabel sistem pemilu, semisal metode pemberian suara, besaran daerah pemilihan, ambang batas parlemen, maupun ambang batas pencalonan presiden, menurut Titi, tidak menutup adanya fakta bahwa sejumlah ketentuan undang-undang perlu disesuaikan agar bisa mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Titi lantas menyebut sejumlah kelemahan pada Pemilu 2019, antara lain teknis penghitungan suara yang sangat membebani petugas, kemudian penetapan hasil pemilihan yang sangat lama sampai 35 hari setelah hari pemungutan suara.
Berikutnya, perbedaan persepsi antara penyelenggara pemilu terkait dengan sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu maupun belum adanya landasan hukum yang kuat untuk penggunaan sistem teknologi untuk rekapitulasi suara. Hal ini seharusnya bisa disikapi dengan melalukan perbaikan melalui revisi UU Pemilu.
"Saya mengkhawatirkan penyelenggara pemilu akan mengalami kesulitan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 jika tidak ada perubahan dalam UU Pemilu," kata Titi yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Menurut Titi, bukan tidak mungkin berbagai persoalan pada Pemilu 2019 akan kembali terulang, mulai dari petugas yang kelelahan hingga meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD, akibat pemilih yang kebingungan, dampak dari kompleksitas pemilihan yang berjalan.
Selain itu, lanjut dia, menurunnya kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu yang berdampak pada logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi, serta meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara, dan lain-lain.
Baca juga: Kemarin, RUU pemilu tak lanjut dibahas hingga soal calon hakim ad hoc
Baca juga: DPR: RUU Pemilu diputuskan di Masa Sidang IV
Baca juga: Analis: Pemberlakuan UU Pemilu berjangka panjang
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment