Tren penurunan dolar AS mungkin sudah berakhir untuk saat ini
New York (ANTARA) - Dolar AS merosot terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), saat kenaikan pesat imbal hasil obligasi terhenti dan mata uang berisiko termasuk dolar Australia naik karena saham-saham AS stabil, mencerminkan meningkatnya sentimen risiko.

Greenback telah menjadi penerima manfaat dari volatilitas saham baru-baru ini, yang diguncang pekan lalu oleh lonjakan dramatis dalam imbal hasil surat utang pemerintah AS.

Obligasi pemerintah AS telah stabil minggu ini, dengan imbal hasil patokan bertahan di bawah tertinggi minggu lalu, membantu memulihkan ketenangan pasar.

Pada Selasa (2/3), "Wall Street sebagian besar mempertahankan kenaikan tajam Senin (1/3)," yang membantu mata uang AS "mengurangi penurunan di sesi N.Y.," Ronald Simpson, direktur pelaksana, analisis mata uang global di Action Economics, mengatakan dalam sebuah laporan.

Indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,31 persen menjadi 90,731, setelah sebelumnya mencapai tertinggi tiga minggu di 91,396.

Euro menguat 0,36 persen menjadi 1,2092 dolar AS.

Kenaikan imbal hasil terjadi ketika para peserta khawatir bahwa pemulihan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19, dikombinasikan dengan stimulus fiskal, akan menyebabkan lonjakan inflasi dan kemungkinan pengetatan yang lebih cepat dari Federal Reserve.

Volatilitas juga mendorong greenback karena investor membatalkan posisi jual (short positions) dalam mata uang.

“Jika anda melihat volatilitas, kecenderungan alami adalah menghindari risiko; dalam hal ini pada dasarnya berarti keluar dari posisi-posisi yang ada, dan posisi jual dolar sangat tinggi pada saat ini," kata Bipan Rai, kepala strategi valas Amerika Utara di CIBC Capital Markets di Toronto.

Posisi jual dolar AS mencapai 29,33 miliar dolar AS pada pekan yang berakhir 23 Februari, menurut data dari Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas.

Mata uang berisiko termasuk dolar Australia terus rebound dari aksi jual minggu lalu, dengan Aussie juga menguat setelah bank sentralnya, Reserve Bank of Australia, berkomitmen kembali untuk mempertahankan suku bunga pada posisi terendah dalam sejarah.

Mata uang itu terakhir naik 0,77 persen menjadi 0,7831 dolar AS, meskipun tetap di bawah tertinggi tiga tahun 0,8007 dolar AS yang dicapai pada Kamis (25/2).

Karen Jones, seorang analis teknis di Commerzbank, mengatakan bahwa Aussie dan mata uang berisiko lainnya termasuk krona Norwegia tampaknya berbalik dari puncak sementara, yang kemungkinan akan positif untuk dolar AS dalam waktu dekat.

"Tren penurunan dolar AS mungkin sudah berakhir untuk saat ini," kata Jones dalam sebuah laporan.

Greenback terakhir jatuh 1,09 persen pada 8,466 krona, tetapi bertahan di atas level 8,313 krona per dolar yang dicapai minggu lalu, terlemah untuk dolar dalam lebih dari dua tahun.

Sementara itu, mata uang safe-haven termasuk franc Swiss dan yen Jepang berakhir sedikit lebih kuat, membalikkan pelemahan sebelumnya.

Franc Swiss sebelumnya mencapai level terendah sejak November 2020 terhadap dolar di 0,9193 sedangkan yen merupakan yang terlemah sejak Agustus di 106,95.

Bitcoin jatuh ke sesi terendah setelah Gary Gensler, yang dicalonkan Presiden Joe Biden untuk memimpin Komisi Sekuritas dan Bursa AS, mengatakan bahwa mata uang kripto itu telah menimbulkan masalah baru perlindungan investor.

Bitcoin terakhir turun 4,11 persen menjadi 47.609 dolar AS.

Citi mengatakan dalam sebuah laporan bahwa mata uang kripto paling populer itu berada pada "titik kritis" dan dapat menjadi mata uang pilihan untuk perdagangan internasional atau menghadapi "ledakan spekulatif."

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
COPYRIGHT © ANTARA 2021