Jakarta (ANTARA) - Pemerintah terus berupaya keras menyelesaikan konflik-konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dengan perusahaan.
Penyelesaian konflik agraria ini menjadi salah satu fokus dari program reforma agraria yang gencar dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemerintahan Joko Widodo senantiasa berupaya agar program reforma agraria yang telah berjalan, dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo beserta jajaran terkait menerima masukan para pegiat agraria untuk mengetahui keinginan dan pandangan dari para petani atau masyarakat.
Presiden Joko Widodo kerap berdialog dengan pegiat agraria untuk mengetahui berbagai persoalan yang ada di lapangan dan menemukan solusi yang dapat disepakati bersama.
Presiden memang menghendaki masalah-masalah yang berkaitan dengan reforma agraria bisa segera terselesaikan.
Persoalan reforma agraria menyangkut ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria, alih fungsi lahan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kemiskinan dan pengangguran, hingga kesenjangan sosial.
Upaya yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah dengan memetakan persoalan agraria dan menentukan persoalan-persoalan yang menjadi prioritas serta menetapkan target-target penyelesaian.
Berdasarkan catatan, terkait konflik agraria, sepanjang 2016-2021 Kantor Staf Presiden (KSP) menerima sedikitnya 1.041 laporan kasus konflik agraria.
Baca juga: Perpres Reforma Agraria buka peluang bagi MBR dapat rumah
Baca juga: Polri terbitkan Telegram dukung reforma agraria & ketahanan pangan
Dari jumlah tersebut, 105 kasus atau 10,08 persen di antaranya menghadapkan warga masyarakat adat dengan berbagai pihak, seperti perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan adanya potret ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat, khususnya kaum tani di pedesaan.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui bahwa Indonesia sebagai negara agraris masih mengalami banyak kendala dan hambatan dalam masalah keagrariaan dan pertanahan.
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi sebab tanah merupakan faktor produksi yang utama dalam proses produksi pertanian pangan.
Moeldoko sendiri tampaknya cukup banyak memberikan perhatian pada konflik agraria yang melibatkan petani dan masyarakat adat. Dia menegaskan penanganan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat perlu pendekatan holistik atau menyeluruh.
Dalam sebuah kesempatan, Moeldoko yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) turut mengajak Lembaga Bantuan Hukum HKTI untuk berperan menjembatani penyelesaian konflik agraria, khususnya yang melibatkan petani.
Terobosan
Sebuah upaya nyata dalam mengurai dan menyelesaikan konflik agraria pun dilakukan. Belum lama ini Moeldoko membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021.
Tim yang dibentuk atas Surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan Nomor 1B/T/2021 ini boleh jadi menjadi terobosan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan-persoalan menyangkut agraria.
Tim yang bersifat ad-hoc ini diketuai Moeldoko sendiri, dengan wakil ketua adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keanggotaan tim ini berasal dari 14 kementerian dan lembaga, termasuk pimpinan TNI dan Polri, serta pimpinan Holding PTPN dan Perhutani.
Selain itu, di dalam tim ini bergabung pimpinan dari empat organisasi masyarakat sipil (CSO) sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria, yakni dari Konsorsum Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Moeldoko meyakini melalui kerja sama pemerintah lintas kementerian dan lembaga yang berkolaborasi dengan kalangan gerakan masyarakat sipil ini, konflik agraria dapat diurai satu persatu, kemudian dapat ditangani dan diselesaikan.
Terhadap konflik agraria ini, Moeldoko menjelaskan, pihaknya menganalisa secara sosio-budaya, sosio-historis, dan sosio-legal secara komprehensif.
Baca juga: Presiden Jokowi temui pegiat reforma agraria bahas sengketa lahan
Baca juga: Pusat Studi Agraria IPB: UU Ciptaker menegasikan reformasi agraria
Kemudian, tim Kantor Staf Presiden mengomunikasikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus tersebut kepada kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya.
Sejauh ini memang ada beberapa kasus yang ditangani dan diselesaikan bersama secara lintas kementerian dan lembaga.
Misalnya, sebagai contoh, kasus konflik agraria masyarakat adat Laman Kinipan, di Lamandau, Kalimatan Tengah. Kasus ini awalnya ditangani Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kini kasus Kinipan proses penanganannya dilakukan mandiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Moeldoko, kerja sama yang terjalin bersifat dinamis. Ada momentum Kantor Staf Presiden untuk memfasilitasi penyelesaian maupun memberikan dukungan.
Kasus prioritas
Hingga saat ini pemerintah telah menetapkan 137 kasus konflik agraria yang menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2021.
Salah satu kasus prioritas konflik agraria itu terletak di Pulau Dewata, tepatnya di Kabupaten Buleleng.
Saat memimpin Rapat Koordinasi percepatan penyelesaian konflik lokasi prioritas agraria di Provinsi Bali, pertengahan Maret 2021, Moeldoko menyebut kasus di Buleleng sudah terjadi puluhan tahun sejak 1982.
Moeldoko memaparkan, ada dua kasus yang menjadi perhatian Pemerintah di Buleleng. Pertama, konflik yang ditangani oleh Kementerian ATR/BPN yang melibatkan lahan seluas 395,8 hektare dengan jumlah Kepala Keluarga Terdampak sebanyak 915 KK.
Dari kasus ini, Moeldoko melihat sudah ada kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Bali, Kanwil BPN dan masyarakat, terkait skema penyelesaian. Selain itu, juga sudah ada persetujuan pelepasan aset dari DPRD pada 17 November 2020.
Keputusan dari kasus itu, terjadi pembagian tanah seluas 70 persen untuk warga desa (359,8 Ha) dan seluas 30 persen untuk Pemerintah Provinsi Bali (154,2 Ha) yang akan direncanakan untuk pembangunan Bandara Bali Utara.
Sementara kasus kedua adalah permohonan pelepasan kawasan hutan yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Moeldoko menyebut, kasus kedua ini perlu penanganan khusus oleh kementerian.
Moeldoko pada kesempatan tersebut menyuarakan dengan tegas, konflik semacam ini harus segera diselesaikan hingga tuntas.
Adapun penyelesaian konflik agraria secara langsung dengan turun ke lapangan, layaknya dilakukan Moeldoko, merupakan tindak lanjut Rapat Tingkat Menteri awal Maret 2021.
Langkah tegas dan konkret yang dilakukan Moeldoko ini jelas perlu dilakukan pengambil kebijakan agar kebijakan yang ada tidak sekadar menjadi lip service atau manis di bibir semata.
Penyelesaian konflik agraria juga harus dilakukan secara menyeluruh, tuntas dan berasaskan keadilan.
Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dibuat, dalam implementasi-nya di lapangan justru melegalkan perampasan hak tanah rakyat dan mengesampingkan asas keadilan.
Penyelesaian konflik agraria ini menjadi salah satu fokus dari program reforma agraria yang gencar dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemerintahan Joko Widodo senantiasa berupaya agar program reforma agraria yang telah berjalan, dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo beserta jajaran terkait menerima masukan para pegiat agraria untuk mengetahui keinginan dan pandangan dari para petani atau masyarakat.
Presiden Joko Widodo kerap berdialog dengan pegiat agraria untuk mengetahui berbagai persoalan yang ada di lapangan dan menemukan solusi yang dapat disepakati bersama.
Presiden memang menghendaki masalah-masalah yang berkaitan dengan reforma agraria bisa segera terselesaikan.
Persoalan reforma agraria menyangkut ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria, alih fungsi lahan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kemiskinan dan pengangguran, hingga kesenjangan sosial.
Upaya yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah dengan memetakan persoalan agraria dan menentukan persoalan-persoalan yang menjadi prioritas serta menetapkan target-target penyelesaian.
Berdasarkan catatan, terkait konflik agraria, sepanjang 2016-2021 Kantor Staf Presiden (KSP) menerima sedikitnya 1.041 laporan kasus konflik agraria.
Baca juga: Perpres Reforma Agraria buka peluang bagi MBR dapat rumah
Baca juga: Polri terbitkan Telegram dukung reforma agraria & ketahanan pangan
Dari jumlah tersebut, 105 kasus atau 10,08 persen di antaranya menghadapkan warga masyarakat adat dengan berbagai pihak, seperti perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan adanya potret ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat, khususnya kaum tani di pedesaan.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui bahwa Indonesia sebagai negara agraris masih mengalami banyak kendala dan hambatan dalam masalah keagrariaan dan pertanahan.
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi sebab tanah merupakan faktor produksi yang utama dalam proses produksi pertanian pangan.
Moeldoko sendiri tampaknya cukup banyak memberikan perhatian pada konflik agraria yang melibatkan petani dan masyarakat adat. Dia menegaskan penanganan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat perlu pendekatan holistik atau menyeluruh.
Dalam sebuah kesempatan, Moeldoko yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) turut mengajak Lembaga Bantuan Hukum HKTI untuk berperan menjembatani penyelesaian konflik agraria, khususnya yang melibatkan petani.
Terobosan
Sebuah upaya nyata dalam mengurai dan menyelesaikan konflik agraria pun dilakukan. Belum lama ini Moeldoko membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021.
Tim yang dibentuk atas Surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan Nomor 1B/T/2021 ini boleh jadi menjadi terobosan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan-persoalan menyangkut agraria.
Tim yang bersifat ad-hoc ini diketuai Moeldoko sendiri, dengan wakil ketua adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keanggotaan tim ini berasal dari 14 kementerian dan lembaga, termasuk pimpinan TNI dan Polri, serta pimpinan Holding PTPN dan Perhutani.
Selain itu, di dalam tim ini bergabung pimpinan dari empat organisasi masyarakat sipil (CSO) sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria, yakni dari Konsorsum Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Moeldoko meyakini melalui kerja sama pemerintah lintas kementerian dan lembaga yang berkolaborasi dengan kalangan gerakan masyarakat sipil ini, konflik agraria dapat diurai satu persatu, kemudian dapat ditangani dan diselesaikan.
Terhadap konflik agraria ini, Moeldoko menjelaskan, pihaknya menganalisa secara sosio-budaya, sosio-historis, dan sosio-legal secara komprehensif.
Baca juga: Presiden Jokowi temui pegiat reforma agraria bahas sengketa lahan
Baca juga: Pusat Studi Agraria IPB: UU Ciptaker menegasikan reformasi agraria
Kemudian, tim Kantor Staf Presiden mengomunikasikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus tersebut kepada kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya.
Sejauh ini memang ada beberapa kasus yang ditangani dan diselesaikan bersama secara lintas kementerian dan lembaga.
Misalnya, sebagai contoh, kasus konflik agraria masyarakat adat Laman Kinipan, di Lamandau, Kalimatan Tengah. Kasus ini awalnya ditangani Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kini kasus Kinipan proses penanganannya dilakukan mandiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Moeldoko, kerja sama yang terjalin bersifat dinamis. Ada momentum Kantor Staf Presiden untuk memfasilitasi penyelesaian maupun memberikan dukungan.
Kasus prioritas
Hingga saat ini pemerintah telah menetapkan 137 kasus konflik agraria yang menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2021.
Salah satu kasus prioritas konflik agraria itu terletak di Pulau Dewata, tepatnya di Kabupaten Buleleng.
Saat memimpin Rapat Koordinasi percepatan penyelesaian konflik lokasi prioritas agraria di Provinsi Bali, pertengahan Maret 2021, Moeldoko menyebut kasus di Buleleng sudah terjadi puluhan tahun sejak 1982.
Moeldoko memaparkan, ada dua kasus yang menjadi perhatian Pemerintah di Buleleng. Pertama, konflik yang ditangani oleh Kementerian ATR/BPN yang melibatkan lahan seluas 395,8 hektare dengan jumlah Kepala Keluarga Terdampak sebanyak 915 KK.
Dari kasus ini, Moeldoko melihat sudah ada kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi Bali, Kanwil BPN dan masyarakat, terkait skema penyelesaian. Selain itu, juga sudah ada persetujuan pelepasan aset dari DPRD pada 17 November 2020.
Keputusan dari kasus itu, terjadi pembagian tanah seluas 70 persen untuk warga desa (359,8 Ha) dan seluas 30 persen untuk Pemerintah Provinsi Bali (154,2 Ha) yang akan direncanakan untuk pembangunan Bandara Bali Utara.
Sementara kasus kedua adalah permohonan pelepasan kawasan hutan yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Moeldoko menyebut, kasus kedua ini perlu penanganan khusus oleh kementerian.
Moeldoko pada kesempatan tersebut menyuarakan dengan tegas, konflik semacam ini harus segera diselesaikan hingga tuntas.
Adapun penyelesaian konflik agraria secara langsung dengan turun ke lapangan, layaknya dilakukan Moeldoko, merupakan tindak lanjut Rapat Tingkat Menteri awal Maret 2021.
Langkah tegas dan konkret yang dilakukan Moeldoko ini jelas perlu dilakukan pengambil kebijakan agar kebijakan yang ada tidak sekadar menjadi lip service atau manis di bibir semata.
Penyelesaian konflik agraria juga harus dilakukan secara menyeluruh, tuntas dan berasaskan keadilan.
Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dibuat, dalam implementasi-nya di lapangan justru melegalkan perampasan hak tanah rakyat dan mengesampingkan asas keadilan.
Oleh Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment