Ada perbedaan pemahaman terkait bentuk kontrak dan bukti pertanggungjawaban, sehingga kami mengeluarkan SEB tersebut dan ada enam hal yang melatarbelakangi
Jakarta (ANTARA) - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Roni Dwi Susanto meresmikan Surat Edaran Bersama (SEB) Nomor 027/2926/SJ Nomor 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.

Mendagri Tito menyampaikan SEB tersebut sangat penting untuk diresmikan karena akan menjadi landasan hukum sekaligus pegangan bagi daerah dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa, mulai dari organisasi, transparansi hingga digitalisasi.

“Kita harapkan filosofinya dapat dilaksanakan sesuai norma dan prinsip-prinsip governance yang sehat , sehingga anggaran APBD yang diperoleh dari pajak betul-betul tepat sasaran mendorong pembangunan,” kata Mendagri Tito dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin.

SEB yang telah ditandatangani pada 11 Mei 2021 tersebut, kata Tito, sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo untuk mendorong daya saing dalam negeri, terutama produk dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan ultra mikro. Kendati demikian, Tito menekankan agar SEB tersebut tidak menjadi alasan bagi pemerintah daerah (Pemda)  untuk mempersulit pengadaan barang dan jasa.

Baca juga: Pemerintah daerah diharapkan gandeng UMKM dalam pengadaan barang/jasa

“Jangan sampai surat edaran ini keluar dari filosofi yakni disamping untuk adanya transparansi dan tepat sasaran justru membuat persoalan menjadi sulit, jangan yang mudah dibikin sulit,” ujar Tito.

Kepala LKPP Roni Dwi Susanto menjelaskan SEB tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengelolaan keuangan daerah sebagai perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

“Ada perbedaan pemahaman terkait bentuk kontrak dan bukti pertanggungjawaban, sehingga kami mengeluarkan SEB tersebut dan ada enam hal yang melatarbelakangi,” ujar Roni.

Enam latar belakang tersebut adalah penegasan pengaturan organisasi, peningkatan penggunaan produk dalam negeri, pemberdayaan UMKM dan koperasi, peningkatan kemudahan transaksi, peningkatan kemudahan usaha, dan yang terakhir meningkatkan transparansi, akuntabilitas, tata kelola pemerintah daerah melalui pemanfaatan sistem pengadaan.

Baca juga: LKPP: Digitalisasi permudah transparansi pengadaan barang dan jasa

SEB tersebut di antaranya mewajibkan pemda menggunakan produk usaha kecil serta korporasi dari hasil produksi dalam negeri serta mengalokasikan paling sedikit 40 persen dari anggaran belanja barang/jasa pemda. Perangkat daerah wajib menggunakan produk dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling sedikit 40 persen.

Kemudian dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, perangkat daerah diminta memanfaatkan sistem pengadaan yang terdiri dari SIRUP(Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan), E-TenderingE-Purchasing, Non-E-Tendering,dan Non-E-Purchasing serta E-Kontrak. Selain itu, Penggunana Anggaran (PA) menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Apabila tidak ada PPK, maka tugasnya dapat dirangkap Kuasa Pengguna Anggaran sesuai pendelegasian PA.

Hingga 17 Mei 2021, LKPP mencatat anggaran belanja pengadaan barang/jasa pemerintah daerah TA 2021 sebesar Rp 606,6 triliun dan97 persen atau sebanyak Rp586,1 triliun sudah dicantumkan dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan. Kendati demikian, realisasinya baru mencapai Rp43,8 triliun atau 8 persen.

Baca juga: Paket pengadaan Pemerintah bagi KUKM capai Rp478 triliun

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2021