saat ini hampir 70 persen kebutuhan Indonesia akan  bahan baku petrokimia dipenuhi dari impor.
Jakarta (ANTARA) - PT Pertamina (Persero) perlu lebih fokus pada industri petrokimia domestik dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional akan bahan baku petrokimia, kata Anggota Komisi VI DPR RI Lamhot Sinaga.

Lamhot Sinaga dalam rilis di Jakarta, Minggu, meminta Pertamina berkomitmen penuh dalam memperkuat industri petrokimia nasional.

Ia mengemukakan bahwa saat ini hampir 70 persen kebutuhan Indonesia akan  bahan baku petrokimia dipenuhi dari impor.

Baca juga: Pertamina - INA jajaki kerja sama investasi untuk ketahanan energi

Padahal, lanjutnya, industri yang menggunakan bahan baku tersebut terus berkembang. "Ini kan harus disiapkan, sebagaimana lazimnya sebuah negara biasanya adalah bahwa petrochemical itu dikelola sendiri," paparnya.

Lamhot menegaskan bahwa setiap kilang wajib diintegrasikan dengan industri petrokimia karena semua turunannya berada di dalam industri tersebut.

Ia mengutarakan harapannya agar dalam suasana restrukturisasi yang saat ini dilakukan Pertamina, keinginan memperkuat industri petrokimia dapat diwujudkan, terlebih nilai investasi daripada restrukturisasi tersebut nilainya mencapai 80 miliar dolar AS.

Sebelumnya, PT Kilang Pertamina Internasional mencatatkan kinerja positif bisnis pengolahan dan petrokimia dengan melampaui target yang tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pada triwulan I 2021.

Baca juga: IPO dinilai perkuat posisi PIS di industri energi dan logistik laut

Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional Djoko Priyono mengatakan faktor utama yang mendorong kinerja positif tersebut, antara lain optimasi kilang dan efisiensi biaya operasional.

“Optimasi kilang juga dilakukan dalam proses pengadaan minyak mentah. Kami diberikan fleksibilitas dalam mengolah minyak mentah negara agar dapat memberikan profitabilitas kilang yang lebih baik," kata Djoko.

Optimasi kilang dilakukan dengan menghasilkan produk bernilai tinggi sesuai dengan pergerakan crack spread atau perbedaan antara harga minyak mentah sebagai bahan baku dan harga produk yang dihasilkan kilang.

Menurut Djoko, upaya optimasi berhasil menjadikan imbal hasil produk di atas target. Persentase produksi bernilai tinggi, seperti produk bahan bakar minyak dan petrokimia mencapai realisasi di atas 79 persen lebih tinggi dibandingkan target pada RKAP sekitar 78 persen.

"Plant Availability Factor (PAF) yang merupakan indikator keandalan operasi kilang terhadap perencanaan operasi juga berhasil kami tingkatkan menjadi hampir 100 persen lebih tinggi daripada versi RKAP sekitar 99 persen," kata Djoko.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2021