Timika (ANTARA) - PT Freeport Indonesia sejak 2015 membangun dua unit jembatan gantung permanen di Distrik Hoeya, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Vice Presiden PT Freeport Indonesia Bidang Community Development Nathan Kum di Timika, Jumat, menyebutkan dua jembatan gantung itu telah selesai dibangun dan diserahkan kepada Pemerintah Distrik Hoeya bersama kepala kampung dan masyarakat setempat untuk dimanfaatkan, dijaga dan dipelihara.
Dua jembatan gantung itu yakni menghubungkan Kampung Jinoni ke Kampung Kulamaogom dengan panjang 140 meter, dan satu lagi menghubungkan Kampung Dalmaogom ke Kampung Mamotoga dengan panjang 150 meter.
Baca juga: BNPT beri masukan ke Freeport antisipasi terorisme
Pembangunan kedua jembatan gantung berkonstruksi baja itu menghabiskan anggaran sekitar Rp8 miliar.
"Sebagai mitra pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan Papua terutama di sekitar areal operasi perusahaan, sudah tentu PT Freeport akan terus berkontribusi bagi pembangunan masyarakat dan wilayah secara berkesinambungan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat lokal," kata Nathan.
Putra asli Suku Amungme dari Kampung Tsinga, Distrik Tembagapura itu menyebut pembangunan kedua jembatan gantung itu untuk mempermudah akses masyarakat.
Baca juga: Spesies katak baru ditemukan di area PT Freeport Indonesia
Jembatan Kampung Jinoni ke Kampung Kulamaogom merupakan akses bagi warga Hoeya dan Tsinga yang hendak bepergian ke Jila, Bela, Alama dan kampung-kampung di sekitarnya.
Sedangkan Jembatan Dalmaogom ke Mamontoga menghubungkan dua kampung yang dipisahkan Sungai Jinogong yang sangat lebar dan berarus deras.
"Jembatan ini memberikan kemudahan bagi masyarakat kedua kampung tersebut yang menghubungkan sampai ke pusat pelayanan masyarakat yaitu kantor distrik dan fasilitas kesehatan yang ada di Kampung Dalmaogom," ujar Nathan.
Baca juga: Freeport perbaiki jalan akibat longsor kampung Banti
Sebelumnya perjalanan dari Kampung Dalmaogom ke Kampung Mamontoga harus ditempuh berjam-jam dengan berjalan kaki melewati gunung-gunung terjal dan menyeberangi sungai berarus deras.
"Kalau jalan kaki kita berangkat jam 06.00 WIT pagi maka baru tiba di kampung seberang itu jam 6 sore (pukul 18.00 WIT). Sekolah hanya ada di Kampung Kulamaogom. Sekarang jalan kaki dari Kampung Jinoni ke Kulamaogom hanya butuh waktu 30 menit saja," jelasnya.
Lembah Hoeya yang berada di kawasan pegunungan Mimika merupakan salah satu area pelayanan Departemen Community Relation PT Freeport Indonesia dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro (YPMAK).
Penduduk di Lembah Hoeya seluruhnya merupakan Suku Amungme yang memiliki kekerabatan dengan warga Suku Amungme lainnya yang bermukim di Tsinga, Waa Banti dan Aroanop.
Adapun Distrik Hoeya terdiri atas enam kampung (desa) yaitu Kampung Puti (kampung di muara), Kampung Jaba, Kampung Kulamaogom, Kampung Jinoni, Kampung Dalmaogom, dan Kampung Mamontoga (kampung di kepala air/hulu sungai).
Lembah Hoeya sendiri dipisahkan oleh aliran Sungai Hoeanogong.
Jauh sebelum dibangun jembatan gantung permanen di wilayah itu, warga secara swadaya membangun jembatan menggunakan kayu-kayu seadanya dan harus berpegangan pada beberapa ruas rotan di atas aliran Sungai Hoenogong yang berarus deras dengan risiko kecelakaan sangat tinggi.
Vice Presiden PT Freeport Indonesia Bidang Community Development Nathan Kum di Timika, Jumat, menyebutkan dua jembatan gantung itu telah selesai dibangun dan diserahkan kepada Pemerintah Distrik Hoeya bersama kepala kampung dan masyarakat setempat untuk dimanfaatkan, dijaga dan dipelihara.
Dua jembatan gantung itu yakni menghubungkan Kampung Jinoni ke Kampung Kulamaogom dengan panjang 140 meter, dan satu lagi menghubungkan Kampung Dalmaogom ke Kampung Mamotoga dengan panjang 150 meter.
Baca juga: BNPT beri masukan ke Freeport antisipasi terorisme
Pembangunan kedua jembatan gantung berkonstruksi baja itu menghabiskan anggaran sekitar Rp8 miliar.
"Sebagai mitra pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan Papua terutama di sekitar areal operasi perusahaan, sudah tentu PT Freeport akan terus berkontribusi bagi pembangunan masyarakat dan wilayah secara berkesinambungan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat lokal," kata Nathan.
Putra asli Suku Amungme dari Kampung Tsinga, Distrik Tembagapura itu menyebut pembangunan kedua jembatan gantung itu untuk mempermudah akses masyarakat.
Baca juga: Spesies katak baru ditemukan di area PT Freeport Indonesia
Jembatan Kampung Jinoni ke Kampung Kulamaogom merupakan akses bagi warga Hoeya dan Tsinga yang hendak bepergian ke Jila, Bela, Alama dan kampung-kampung di sekitarnya.
Sedangkan Jembatan Dalmaogom ke Mamontoga menghubungkan dua kampung yang dipisahkan Sungai Jinogong yang sangat lebar dan berarus deras.
"Jembatan ini memberikan kemudahan bagi masyarakat kedua kampung tersebut yang menghubungkan sampai ke pusat pelayanan masyarakat yaitu kantor distrik dan fasilitas kesehatan yang ada di Kampung Dalmaogom," ujar Nathan.
Baca juga: Freeport perbaiki jalan akibat longsor kampung Banti
Sebelumnya perjalanan dari Kampung Dalmaogom ke Kampung Mamontoga harus ditempuh berjam-jam dengan berjalan kaki melewati gunung-gunung terjal dan menyeberangi sungai berarus deras.
"Kalau jalan kaki kita berangkat jam 06.00 WIT pagi maka baru tiba di kampung seberang itu jam 6 sore (pukul 18.00 WIT). Sekolah hanya ada di Kampung Kulamaogom. Sekarang jalan kaki dari Kampung Jinoni ke Kulamaogom hanya butuh waktu 30 menit saja," jelasnya.
Lembah Hoeya yang berada di kawasan pegunungan Mimika merupakan salah satu area pelayanan Departemen Community Relation PT Freeport Indonesia dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro (YPMAK).
Penduduk di Lembah Hoeya seluruhnya merupakan Suku Amungme yang memiliki kekerabatan dengan warga Suku Amungme lainnya yang bermukim di Tsinga, Waa Banti dan Aroanop.
Adapun Distrik Hoeya terdiri atas enam kampung (desa) yaitu Kampung Puti (kampung di muara), Kampung Jaba, Kampung Kulamaogom, Kampung Jinoni, Kampung Dalmaogom, dan Kampung Mamontoga (kampung di kepala air/hulu sungai).
Lembah Hoeya sendiri dipisahkan oleh aliran Sungai Hoeanogong.
Jauh sebelum dibangun jembatan gantung permanen di wilayah itu, warga secara swadaya membangun jembatan menggunakan kayu-kayu seadanya dan harus berpegangan pada beberapa ruas rotan di atas aliran Sungai Hoenogong yang berarus deras dengan risiko kecelakaan sangat tinggi.
Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment