yang sudah divaksinasi dosis pertama maupun dosis kedua, ternyata tetap ada efek protektifnya secara umum
Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Kelompok Kerja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Gunadi menyebutkan vaksinasi COVID-19 masih mampu memproteksi manusia dari paparan virus corona B.1.617.2 atau varian Delta.

"Dibandingkan yang tidak divaksinasi dengan yang sudah divaksinasi dosis pertama maupun dosis kedua, ternyata tetap ada efek protektifnya (terhadap varian Delta) secara umum," kata Gunadi dalam webinar "Varian Virus Corona Delta di Kudus: Kenali dan Tingkatkan Kesiapan Diri, Komunitas dan Sistem Pelayanan Kesehatan" dipantau di Yogyakarta, Rabu.

Baca juga: Satgas: Efektivitas vaksin COVID-19 masih di atas 50 persen

Menurut dia, merujuk penelitian di Inggris terhadap para penerima vaksin Pfizer maupun AstraZeneca, vaksinasi masih efektif menangkal varian Delta. Dosis kedua lebih efektif memberikan proteksi terhadap paparan varian Delta dibandingkan dosis pertama.

"Tetapi dosis pertama jauh lebih baik dibandingkan tanpa divaksinasi," kata dia.

Meski demikian, di sisi lain, ia juga menyebut varian Delta memiliki potensi menurunkan respons imun kendati pasien telah divaksinasi COVID-19 baik pertama maupun kedua.

Baca juga: Pemerintah jamin vaksinasi COVID-19 gratis bagi seluruh masyarakat

"Setelah tiga bulan (vaksinasi kedua) beberapa pasien (antibodinya) betul-betul turun di bawah 40 konsentrasinya, sehingga ini dianggap implikasinya apakah perlu diberikan 'booster' di kemudian hari," ujar dia.

Varian Delta, kata Gunadi, memiliki potensi menurunkan respons imun lebih tinggi dibandingkan SARS-CoV-2 varian alpha (B.1.1.7) yang pertama kali terdeteksi di Inggris, meski menyerupai varian beta atau B1351 untuk kemampuannya menurunkan respons imun.

Baca juga: Terawan sebut 90 persen bahan Vaksin Nusantara ada di dalam negeri

Sementara, berdasarkan faktor usia, ia menyebut semakin tua usia penderita, maka penurunan respon imun semakin besar.

Menurut Gunadi, diperlukan peningkatan kewaspadaan terhadap varian virus corona yang telah ditetapkan WHO menjadi Variant of Concern (VoC) pada 31 Mei 2021. Apalagi, varian ini terbukti memicu peningkatan kasus COVID-19 di Kudus, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

"Berdasarkan kalkulasi matematika para ahli menyimpulkan bahwa transmisi varian Delta 41 sampai 60 persen lebih menular dibandingkan varian Alpha. Padahal varian Alpha dulu disebutkan 70 persen lebih transmisiable dibandingkan yang ada di Wuhan," kata dia.

Baca juga: Satgas: 1 juta vaksinasi tercapai jika pasokan vaksin tiba tepat waktu

Pakar Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengatakan agar benar-benar aman dari transmisi COVID-19, diperlukan restriksi (pembatasan) mobilitas setidaknya dua kali waktu periode infeksius atau sekitar tiga minggu.

Namun demikian, ketika kasus penularan sudah terjadi di banyak tempat penghentian mobilitas skala mikro tidak akan mampu menurunkan penularan karena penularan sudah terjadi di tempat-tempat lain.

"Kalau penularan sudah meluas kita perlu menghentikan mobilitas di satuan wilayah epidemiologi di mana populasi berada," ujar Riris.

Baca juga: Pokja Genetik UGM: Varian Delta turunkan respon sistem imun manusia

Baca juga: Pokja Genetik UGM: Varian Delta dari India belum terdeteksi di DIY

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2021