Jakarta (ANTARA) - Pakar Ilmu Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan lima pendapat sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan lanjutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
"Besok, Ahad (25/7), kita akan memasuki hari terakhir PPKM yang sekarang sedang berjalan, dan tentunya akan diambil keputusan untuk langkah selanjutnya. Dalam hal ini setidaknya ada lima pendapat yang mungkin dapat jadi salah satu pertimbangan," kata Tjandra Yoga Aditama dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Polri siapkan lima rencana aksi Operasi Aman Nusa II saat PPKM Level 4
Pertama, sesuai laporan situasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia pada Rabu (21/7), kata Tjandra, situasi di Tanah Air saat ini memerlukan pengetatan pada sektor kesehatan dan aktivitas sosial.
"Tentu dalam bentuk pembatasan sosial dan pembatasan pergerakan atau 'movement restriction'," katanya.
Kalau memang akan dilakukan pelonggaran, kata Tjandra, maka perlu diperhitungkan risiko dampak sosial, di antaranya korban yang mungkin akan jatuh sakit dan bahkan meninggal, beban rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Baca juga: Kapolri sebut PPKM darurat untuk menjaga keselamatan rakyat
"Pada ujungnya kemungkinan dampak pada roda ekonomi juga, kalau kasus jadi naik tidak terkendali. Jangan sampai pelonggaran diberikan karena alasan ekonomi dan situasi epidemiologi jadi memburuk, maka dampak ekonominya malah bukan tidak mungkin jadi lebih berat lagi," katanya.
Pertimbangan ketiga menurut Tjandra perlu dipikirkan langkah penyesuaian, misalnya pekerja di sektor formal diminta untuk berada di rumah selama dua pekan, sementara sektor informal mulai dilonggarkan, asal jangan kontak langsung dengan pelanggan.
Baca juga: Polri gelar Operasi Aman Nusa II Lanjutan tindak lanjut PPKM darurat
"Atau di sektor informal mulai dilonggarkan bertahap, tapi sektor esensial dan kritikal yang beroperasi hanya yang dalam bangunan tersendiri. Jangan yang di dalam gedung bersama, karena petugas gedung juga terpaksa harus masuk, padahal hanya sebagian kecil gedung yang ada sektor esensial atau kritikal," katanya.
Tjandra mengatakan penyesuaian terbaik adalah bentuk PPKM tetap seperti sekarang, tetapi semua sektor terdampak mendapat bantuan sosial.
"Selain tiga contoh penyesuaian ini, maka mungkin dapat dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang laik laksana," katanya.
Pertimbangan keempat, Tjandra menilai angka kematian di Indonesia masih tinggi dan bahkan meningkat. Sudah lebih 1.500 orang dilaporkan meninggal akibat COVID-19 dalam sehari di saat penerapan PPKM.
"Dalam hal ini tentu perlu untuk diantisipasi kemungkinan kenaikan kematian lagi kalau PPKM dilonggarkan. Kita tahu bahwa kalau kematian terjadi, maka hal ini tidak dapat dikembalikan lagi," katanya.
Pertimbangan kelima adalah angka kepositifan dalam beberapa hari terakhir yang masih sekitar 25 persen. "Bahkan kalau berdasarkan PCR, maka angkanya lebih dari 40 persen," katanya.
Tjandra menambahkan Indonesia juga sedang berhadapan dengan varian Delta yang anga reproduksinya mencapai 5,0 hingga 8,0.
"Artinya, potensi penularan di masyarakat masih amat tinggi sekali. Sehingga pembatasan sosial masih amat diperlukan untuk melindungi masyarakat kita dari penularan dan dampak buruk penyakit COVID-19," katanya.
"Besok, Ahad (25/7), kita akan memasuki hari terakhir PPKM yang sekarang sedang berjalan, dan tentunya akan diambil keputusan untuk langkah selanjutnya. Dalam hal ini setidaknya ada lima pendapat yang mungkin dapat jadi salah satu pertimbangan," kata Tjandra Yoga Aditama dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Polri siapkan lima rencana aksi Operasi Aman Nusa II saat PPKM Level 4
Pertama, sesuai laporan situasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia pada Rabu (21/7), kata Tjandra, situasi di Tanah Air saat ini memerlukan pengetatan pada sektor kesehatan dan aktivitas sosial.
"Tentu dalam bentuk pembatasan sosial dan pembatasan pergerakan atau 'movement restriction'," katanya.
Kalau memang akan dilakukan pelonggaran, kata Tjandra, maka perlu diperhitungkan risiko dampak sosial, di antaranya korban yang mungkin akan jatuh sakit dan bahkan meninggal, beban rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Baca juga: Kapolri sebut PPKM darurat untuk menjaga keselamatan rakyat
"Pada ujungnya kemungkinan dampak pada roda ekonomi juga, kalau kasus jadi naik tidak terkendali. Jangan sampai pelonggaran diberikan karena alasan ekonomi dan situasi epidemiologi jadi memburuk, maka dampak ekonominya malah bukan tidak mungkin jadi lebih berat lagi," katanya.
Pertimbangan ketiga menurut Tjandra perlu dipikirkan langkah penyesuaian, misalnya pekerja di sektor formal diminta untuk berada di rumah selama dua pekan, sementara sektor informal mulai dilonggarkan, asal jangan kontak langsung dengan pelanggan.
Baca juga: Polri gelar Operasi Aman Nusa II Lanjutan tindak lanjut PPKM darurat
"Atau di sektor informal mulai dilonggarkan bertahap, tapi sektor esensial dan kritikal yang beroperasi hanya yang dalam bangunan tersendiri. Jangan yang di dalam gedung bersama, karena petugas gedung juga terpaksa harus masuk, padahal hanya sebagian kecil gedung yang ada sektor esensial atau kritikal," katanya.
Tjandra mengatakan penyesuaian terbaik adalah bentuk PPKM tetap seperti sekarang, tetapi semua sektor terdampak mendapat bantuan sosial.
"Selain tiga contoh penyesuaian ini, maka mungkin dapat dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang laik laksana," katanya.
Pertimbangan keempat, Tjandra menilai angka kematian di Indonesia masih tinggi dan bahkan meningkat. Sudah lebih 1.500 orang dilaporkan meninggal akibat COVID-19 dalam sehari di saat penerapan PPKM.
"Dalam hal ini tentu perlu untuk diantisipasi kemungkinan kenaikan kematian lagi kalau PPKM dilonggarkan. Kita tahu bahwa kalau kematian terjadi, maka hal ini tidak dapat dikembalikan lagi," katanya.
Pertimbangan kelima adalah angka kepositifan dalam beberapa hari terakhir yang masih sekitar 25 persen. "Bahkan kalau berdasarkan PCR, maka angkanya lebih dari 40 persen," katanya.
Tjandra menambahkan Indonesia juga sedang berhadapan dengan varian Delta yang anga reproduksinya mencapai 5,0 hingga 8,0.
"Artinya, potensi penularan di masyarakat masih amat tinggi sekali. Sehingga pembatasan sosial masih amat diperlukan untuk melindungi masyarakat kita dari penularan dan dampak buruk penyakit COVID-19," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment