Jakarta (ANTARA) - Pengamat sekaligus pegiat pemilu Donal Fariz menyebutkan tiga aktor yang menjadi kunci bagi terselenggaranya pemilu berintegritas, yakni penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih.
"Ketiganya merupakan aktor serta variabel yang saling menentukan dan saling berkaitan jika berbicara soal integritas pemilu," kata Donal Fariz dalam webinar bertema "Ruang Lingkup Investigasi Pada Obyek Pidana Politik Uang Pada Pemilu dan Pemilihan" yang digelar Bawaslu Kota Pontianak, Rabu.
Menurutnya, jika salah satu aktor tidak memiliki memiliki integritas memadai maka pemilu yang berintegritas secara keseluruhan tidak akan terwujud, terutama ketika dikaitkan dengan konteks politik uang.
Dia mengatakan bahwa dalam ranah pemilu dan politik uang, penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa melakukan pengawasan secara menyeluruh ketika cakupan kontestasi elektoral begitu luas.
Strategi politik yang dilakukan peserta pemilu, yakni partai politik, perorangan, dan pasangan calon juga menentukan dalam diskursus mengenai politik uang dan pemilu berintegritas.
Sementara itu, integritas maupun perilaku pemilih berada di hilir dalam merespons dan menentukan terselenggaranya pemilu yang berintegritas.
"Soal politik uang ketiganya harus paralel karena satu saja tidak terpenuhi akan sulit mencapai pemilu yang berintegritas," tutur Donal.
Baca juga: Pengamat: Kelompok hobi jadi sasaran pemantauan dugaan politik uang
Baca juga: KPU tegaskan pemilu-pilkada serentak digelar 2024
Terkait dengan pemilih, Donal juga mengatakan terdapat kecenderungan apatisme yang muncul berkaitan dengan politik uang dalam proses pemilu.
Pemilih yang apatis akan melihat politik uang sebagai sesuatu yang dapat diterima, ucap dia.
Berkaca pada survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dia menyebut terdapat temuan yang menunjukkan tiga dari 10 orang akan menerima politik uang yang terjadi dalam proses pemilu.
Data tersebut, menurut dia, menunjukkan kecenderungan apatisme dan memberikan toleransi bagi politik uang karena anggapan bahwa siapa pun yang terpilih tidak akan datang kembali untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Selain anggapan tersebut, Donal menilai bahwa apatisme terhadap politik uang itu juga saling dipengaruhi oleh alasan politik uang sebagai rezeki yang sebaiknya tidak ditolak, tidak ada masalah selama tidak ada paksaan, hingga semata-mata alasan kebutuhan.
"Makanya ada istilah 'ambil uangnya jangan pilih calonnya’ dalam situasi masyarakat yang sudah apatis dengan perilaku elit politiknya," tukas dia.
"Ketiganya merupakan aktor serta variabel yang saling menentukan dan saling berkaitan jika berbicara soal integritas pemilu," kata Donal Fariz dalam webinar bertema "Ruang Lingkup Investigasi Pada Obyek Pidana Politik Uang Pada Pemilu dan Pemilihan" yang digelar Bawaslu Kota Pontianak, Rabu.
Menurutnya, jika salah satu aktor tidak memiliki memiliki integritas memadai maka pemilu yang berintegritas secara keseluruhan tidak akan terwujud, terutama ketika dikaitkan dengan konteks politik uang.
Dia mengatakan bahwa dalam ranah pemilu dan politik uang, penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa melakukan pengawasan secara menyeluruh ketika cakupan kontestasi elektoral begitu luas.
Strategi politik yang dilakukan peserta pemilu, yakni partai politik, perorangan, dan pasangan calon juga menentukan dalam diskursus mengenai politik uang dan pemilu berintegritas.
Sementara itu, integritas maupun perilaku pemilih berada di hilir dalam merespons dan menentukan terselenggaranya pemilu yang berintegritas.
"Soal politik uang ketiganya harus paralel karena satu saja tidak terpenuhi akan sulit mencapai pemilu yang berintegritas," tutur Donal.
Baca juga: Pengamat: Kelompok hobi jadi sasaran pemantauan dugaan politik uang
Baca juga: KPU tegaskan pemilu-pilkada serentak digelar 2024
Terkait dengan pemilih, Donal juga mengatakan terdapat kecenderungan apatisme yang muncul berkaitan dengan politik uang dalam proses pemilu.
Pemilih yang apatis akan melihat politik uang sebagai sesuatu yang dapat diterima, ucap dia.
Berkaca pada survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dia menyebut terdapat temuan yang menunjukkan tiga dari 10 orang akan menerima politik uang yang terjadi dalam proses pemilu.
Data tersebut, menurut dia, menunjukkan kecenderungan apatisme dan memberikan toleransi bagi politik uang karena anggapan bahwa siapa pun yang terpilih tidak akan datang kembali untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Selain anggapan tersebut, Donal menilai bahwa apatisme terhadap politik uang itu juga saling dipengaruhi oleh alasan politik uang sebagai rezeki yang sebaiknya tidak ditolak, tidak ada masalah selama tidak ada paksaan, hingga semata-mata alasan kebutuhan.
"Makanya ada istilah 'ambil uangnya jangan pilih calonnya’ dalam situasi masyarakat yang sudah apatis dengan perilaku elit politiknya," tukas dia.
Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment