Jakarta (ANTARA) - Data kematian akibat COVID-19 akan kembali digunakan sebagai bagian dari analisis dan evaluasi kebijakan PPKM setelah adanya perbaikan, kata Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi.
Ia menerangkan pemerintah sementara tidak memakai angka kematian akibat COVID-19 sebagai bahan analisis karena adanya ketidaksesuaian data dengan situasi riil di lapangan.
Dalam acara forum diskusi grup (FGD) yang digelar oleh Divisi Humas Mabes Polri secara virtual di Jakarta, Kamis, Jodi juga menegaskan pemerintah tidak menghapus data kematian COVID-19 karena yang tengah dilakukan saat ini adalah perbaikan sistem input/memasukkan data agar informasi yang diterima akurat.
“Kami temukan ada input data (kematian, red.), akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang. Sementara banyak juga angka kematian yang ditumpuk-ditumpuk atau dicicil laporannya sehingga terjadi bias atau distorsi, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ujar Jodi.
Oleh karena itu, Jodi yang mewakili Menko Bidang Maritim dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan selaku koordinator PPKM Jawa dan Bali, menyampaikan pemerintah telah menurunkan tim khusus yang bertugas memperbaiki sistem input data kematian COVID-19 di Indonesia.
Baca juga: Satgas: Indikator kematian tidak dilibatkan sejalan perbaikan sistem
Baca juga: Pemerintah perbaiki data kematian agar sesuai kondisi lapangan
"Nanti kami akan input lagi data kematian, jika data sudah rapi, sementara ini kami menggunakan lima indikator lain untuk assessment (penilaian, red.) seperti bed occupancy ratio (tingkat keterisian tempat tidur di RS, red.), kasus konfirmasi, perawatan di RS, tracing, testing (pelacakan dan pemeriksaan, red.), dan kondisi sosial ekonomi masyarakat," tutur Jodi.
Menko Marves RI pada Senin (9/8) mengumumkan pemerintah sementara waktu tidak menggunakan angka kematian COVID-19 sebagai bahan analisis dan evaluasi kebijakan PPKM. Alasannya, data kematian COVID-19 memuat sejumlah masalah.
Kebijakan itu kemudian ditolak sejumlah kalangan, termasuk pakar dan politisi.
Data kematian merupakan indikator epidemiologi utama dalam menilai dampak berbagai penyakit di dunia, kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama, Rabu (11/8).
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan berpendapat pemerintah seharusnya tetap menggunakan angka kematian sebagai bahan analisis dan evaluasi sembari meningkatkan akurasi data.
"Jika masalahnya data kematian yang tidak diperbarui, seharusnya kualitas data ditingkatkan, bukan berarti data kematian tidak digunakan sebagai indikator dalam menentukan level PPKM," kata Syarief Hasan sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu.
Baca juga: Anomali angka kematian dipengaruhi keterlambatan laporan pemda
Ia menerangkan pemerintah sementara tidak memakai angka kematian akibat COVID-19 sebagai bahan analisis karena adanya ketidaksesuaian data dengan situasi riil di lapangan.
Dalam acara forum diskusi grup (FGD) yang digelar oleh Divisi Humas Mabes Polri secara virtual di Jakarta, Kamis, Jodi juga menegaskan pemerintah tidak menghapus data kematian COVID-19 karena yang tengah dilakukan saat ini adalah perbaikan sistem input/memasukkan data agar informasi yang diterima akurat.
“Kami temukan ada input data (kematian, red.), akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang. Sementara banyak juga angka kematian yang ditumpuk-ditumpuk atau dicicil laporannya sehingga terjadi bias atau distorsi, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ujar Jodi.
Oleh karena itu, Jodi yang mewakili Menko Bidang Maritim dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan selaku koordinator PPKM Jawa dan Bali, menyampaikan pemerintah telah menurunkan tim khusus yang bertugas memperbaiki sistem input data kematian COVID-19 di Indonesia.
Baca juga: Satgas: Indikator kematian tidak dilibatkan sejalan perbaikan sistem
Baca juga: Pemerintah perbaiki data kematian agar sesuai kondisi lapangan
"Nanti kami akan input lagi data kematian, jika data sudah rapi, sementara ini kami menggunakan lima indikator lain untuk assessment (penilaian, red.) seperti bed occupancy ratio (tingkat keterisian tempat tidur di RS, red.), kasus konfirmasi, perawatan di RS, tracing, testing (pelacakan dan pemeriksaan, red.), dan kondisi sosial ekonomi masyarakat," tutur Jodi.
Menko Marves RI pada Senin (9/8) mengumumkan pemerintah sementara waktu tidak menggunakan angka kematian COVID-19 sebagai bahan analisis dan evaluasi kebijakan PPKM. Alasannya, data kematian COVID-19 memuat sejumlah masalah.
Kebijakan itu kemudian ditolak sejumlah kalangan, termasuk pakar dan politisi.
Data kematian merupakan indikator epidemiologi utama dalam menilai dampak berbagai penyakit di dunia, kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama, Rabu (11/8).
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan berpendapat pemerintah seharusnya tetap menggunakan angka kematian sebagai bahan analisis dan evaluasi sembari meningkatkan akurasi data.
"Jika masalahnya data kematian yang tidak diperbarui, seharusnya kualitas data ditingkatkan, bukan berarti data kematian tidak digunakan sebagai indikator dalam menentukan level PPKM," kata Syarief Hasan sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu.
Baca juga: Anomali angka kematian dipengaruhi keterlambatan laporan pemda
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment