Ambon (ANTARA) - Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno meminta dilakukan validasi secara ketat sebelum pemerintah memutuskan melakukan proses bayar ganti rugi kepada korban tragedi kerusuhan perang saudara di Ambon, Provinsi Maluku.

"Sebaiknya ada keterangan valid dari pemda hingga di tingkat RT/RW perihal penerima ganti rugi konflik kerusuhan 1999 di Maluku, sehingga yang menerima benar-benar merupakan korban konflik," kata Wagub Barnabas di Ambon, Jumat.

Penegasan itu disampaikan Wagub menindaklanjuti rapat koordinasi khusus (rakorsus) tingkat menteri menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pemerintah terkait gugatan "class action" atau gugatan perwakilan kelompok yang diajukan para korban perang saudara di Ambon pada 1999, yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis (5/8).

Rakorsus dikuti oleh beberapa kementerian lainnya, antara lain Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

"Paling tidak ada keterangan dari pemda maupun RT/RW bahwa yang bersangkutan (penerima ganti rugi) benar-benar adalah korban konflik di Ambon," ucap Wagub.

Wagub yang juga mengikuti rakorsus tersebut secara daring menegaskan, Pemprov Maluku pada prinsipnya tetap patuh terhadap keputusan Mahkamah Agung (Inkrah). Namun saat akan dilakukan pembayaran, pemerintah sebaiknya memiliki data valid tentang penerima ganti rugi.

Hal ini dirasa sangat perlu guna mengantisipasi adanya pengaduan sejumlah pihak tertentu atau para korban konflik, menyangkut sudah atau belum tertera-nya nama mereka sebagai penerima ganti rugi.

"Di khawatirkan justru pada saat pembayaran ada yang belum terdata, padahal mereka benar-benar pengungsi korban konflik, atau sebaliknya ada yang sudah terdata tetapi bukan merupakan pengungsi korban konflik," ujarnya.

Karena itu, Wagub menyarankan pemerintah melakukan pertimbangan secara teknis sebelum proses pembayaran dilakukan. "Saya juga setuju jika uang ganti rugi diserahkan langsung kepada pengungsi atau titip sementara di pengadilan, sambil menunggu proses validasi data rampung," tutur-nya.

Baca juga: Stephen Tong: Umat Kristen Ambon Jaga Kedamaian Pascakonflik 1999

Baca juga: Pemuda Ambon peringati tragedi konflik 1999


Sebelumnya Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan, pihaknya sedang menyiapkan dokumen perihal proses bayar ganti rugi kepada korban tragedi kerusuhan perang saudara di Ambon, Provinsi Maluku.

Hal itu menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pemerintah terkait gugatan "class action" atau gugatan perwakilan kelompok yang diajukan para korban perang saudara di Ambon pada 1999.

"Kami siap untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan untuk ikut mendukung percepatan dan keberhasilan pelaksanaan tindak lanjut pengadilan ini," kata Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Disampaikannya bahwa pemerintah harus segera menjalankan perintah putusan pengadilan tingkat pertama, yakni memberikan ganti rugi sebesar Rp3,9 triliun kepada korban tragedi kerusuhan Maluku sebagai penggugat.

Ia menjelaskan jumlah uang itu, terdiri atas bahan bangunan rumah (BBR) sejumlah Rp15 juta dan uang tunai Rp3,5 juta untuk masing-masing pengungsi sebanyak 213.217 kepala keluarga.

Adapun kerusuhan Maluku yang dimaksud adalah konflik etnis-politik yang melibatkan agama di kepulauan Maluku, khususnya Pulau Ambon dan Halmahera, konflik ini bermula pada era reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002.

Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara umum di Indonesia setelah Presiden Soeharto turun tahta dan mata uang rupiah mengalami devaluasi selama dan seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara.

Rencana pemekaran Provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin memperuncing permasalahan politik daerah yang sudah ada. Karena permasalahan politik tersebut menyangkut SARA.

Pewarta: Jimmy Ayal
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021