Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menegaskan persepsi dan budaya dalam masyarakat menjadi tantangan utama untuk mengatasi permasalahan stunting (kekerdilan) pada anak di Indonesia.
“Tantangan kita itu mindset masyarakat, ada juga budaya. Mungkin lihat juga, masyarakat banyak sebetulnya tidak miskin juga, tetapi dalam menyusun pola makan itu yang salah,” kata Hasto dalam Komitmen Pemerintah Turunkan Angka Stunting yang diikuti di channel TV One di Jakarta, Jumat.
Hasto mengatakan, banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang salah mengenai pemberian gizi seimbang pada anak. Hingga kini, masyarakat masih berpendapat bahwa untuk memenuhi gizi anak, harus melalui makanan cepat saji atau mahal.
Baca juga: Perlu turunkan tiga persen per tahun untuk capai target stunting
Padahal pemberian gizi pada anak melalui makanan cepat saji maupun makanan mahal seperti daging, belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Pemikiran seperti itulah yang dirasa Hasto perlu diubah supaya mengurangi faktor risiko anak untuk lahir dalam keadaan stunting.
Menurut Hasto, untuk memberikan gizi seimbang pada anak tidak harus melalui makanan yang mahal. Makanan seperti telur dan ikan sudah dapat dikatakan cukup untuk memberikan gizi baik bagi anak.
“Banyak orang punya persepsi dia makan yang mahal daging sapi, banyak pesta-pesta juga merasa bangga, merasa bergengsi kalau pakai daging. Padahal dia tidak banyak mengandung DHA, omega-3. Lebih banyak lele atau ikan kembung yang murah,” kata Hasto.
Selain persepsi yang salah mengenai gizi seimbang, budaya mengadakan pesta pre wedding yang selalu digaung-gaungkan menjadi tantangan selanjutnya untuk menuntaskan stunting.
Baca juga: BKKBN-Kedutaan Besar Mozambik berintegrasi atasi masalah stunting
Hasto menyoroti bahwa budaya tersebut lebih dipentingkan oleh masyarakat dibandingkan dengan memeriksa kesehatan para ibu maupun calon ibu. Akibatnya, banyak perempuan yang memenuhi syarat untuk menikah namun tidak pada syarat untuk hamil.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, dia menyebutkan terdapat lebih dari 40 persen ibu hamil dengan kondisi memiliki anemia. Besarnya angka tersebut berperan besar meningkatkan angka stunting di Tanah Air bila tidak dihentikan.
Sedangkan pada bayi yang lahir secara prematur ada sebesar 29 persen dan bayi yang lahir dengan panjang badan kurang dari 48 sentimeter masih ada sebesar 22 persen.
“Menurut saya, selain sanitasi dan air bersih, kita perlu memberi perhatian di situ. Jadi sekali lagi, itu memang harus kita fokuskan,” ucap dia.
Baca juga: BKKBN: Keluarga berkualitas kunci sukses Indonesia Emas 2045
Baca juga: BKKBN: Stunting turun tingkatkan kualitas generasi muda Indonesia
“Tantangan kita itu mindset masyarakat, ada juga budaya. Mungkin lihat juga, masyarakat banyak sebetulnya tidak miskin juga, tetapi dalam menyusun pola makan itu yang salah,” kata Hasto dalam Komitmen Pemerintah Turunkan Angka Stunting yang diikuti di channel TV One di Jakarta, Jumat.
Hasto mengatakan, banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang salah mengenai pemberian gizi seimbang pada anak. Hingga kini, masyarakat masih berpendapat bahwa untuk memenuhi gizi anak, harus melalui makanan cepat saji atau mahal.
Baca juga: Perlu turunkan tiga persen per tahun untuk capai target stunting
Padahal pemberian gizi pada anak melalui makanan cepat saji maupun makanan mahal seperti daging, belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Pemikiran seperti itulah yang dirasa Hasto perlu diubah supaya mengurangi faktor risiko anak untuk lahir dalam keadaan stunting.
Menurut Hasto, untuk memberikan gizi seimbang pada anak tidak harus melalui makanan yang mahal. Makanan seperti telur dan ikan sudah dapat dikatakan cukup untuk memberikan gizi baik bagi anak.
“Banyak orang punya persepsi dia makan yang mahal daging sapi, banyak pesta-pesta juga merasa bangga, merasa bergengsi kalau pakai daging. Padahal dia tidak banyak mengandung DHA, omega-3. Lebih banyak lele atau ikan kembung yang murah,” kata Hasto.
Selain persepsi yang salah mengenai gizi seimbang, budaya mengadakan pesta pre wedding yang selalu digaung-gaungkan menjadi tantangan selanjutnya untuk menuntaskan stunting.
Baca juga: BKKBN-Kedutaan Besar Mozambik berintegrasi atasi masalah stunting
Hasto menyoroti bahwa budaya tersebut lebih dipentingkan oleh masyarakat dibandingkan dengan memeriksa kesehatan para ibu maupun calon ibu. Akibatnya, banyak perempuan yang memenuhi syarat untuk menikah namun tidak pada syarat untuk hamil.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, dia menyebutkan terdapat lebih dari 40 persen ibu hamil dengan kondisi memiliki anemia. Besarnya angka tersebut berperan besar meningkatkan angka stunting di Tanah Air bila tidak dihentikan.
Sedangkan pada bayi yang lahir secara prematur ada sebesar 29 persen dan bayi yang lahir dengan panjang badan kurang dari 48 sentimeter masih ada sebesar 22 persen.
“Menurut saya, selain sanitasi dan air bersih, kita perlu memberi perhatian di situ. Jadi sekali lagi, itu memang harus kita fokuskan,” ucap dia.
Baca juga: BKKBN: Keluarga berkualitas kunci sukses Indonesia Emas 2045
Baca juga: BKKBN: Stunting turun tingkatkan kualitas generasi muda Indonesia
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment