Jakarta (ANTARA) - Setara Institute menilai penghentian kasus kriminalisasi terhadap petani anggota Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) di Kampar, Riau, menjadi batu uji visi Presisi Polri.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan kasus kriminalisasi Ketua Kopsa-M dan dua orang petani sawit di Polres Kampar, Riau, sebagai bentuk tidak dijalankannya visi Polri Presisi dan mematuhi perintah Presiden Joko Widodo pemberantasan terkait mafia tanah.
Menurut dia, para petani Kopsa-M itu sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang Rp 150 milyar, akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V secara tidak akuntabel di masa lalu.
Baca juga: Setara minta Kapolri hentikan kriminalisasi petani Kopsa M Kampar
Baca juga: Setara minta Menteri BUMN bertindak selesaikan konflik lahan PTPN V
Baca juga: Survei SETARA nilai Kasad dan Kasal unggul jadi kandidat panglima
Menurut Choky, demikian panggilan akrab Bonar Tigor, Polres Kampar abai atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin.
Choky menyebutkan, PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektare tanah petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau; tetapi jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun tanpa izin usaha perkebunan, yang telah menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara.
"Perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan," terangnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, PT Langgam Harmuni baru mengurus izin lingkungan pada September 2021 dan juga ditunda pengesahannya karena penolakan masyarakat akibat status lahan kebun yang tidak clear (jelas).
Choky mengatakan tidak adanya izin usaha perkebunan disebabkan patut diduga keras ada masalah di lahan itu, yang terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time).
"Padahal dengan menyembunyikan dugaan kejahatan dengan memanfaatkan ketentuan daluwarsa, justru menimbulkan kejahatan-kejahatan lanjutan lain yang berdampak pada korban yang lemah," terangnya.
Choky menilai tindakan Polres Kampar berseberangan dengan perintah Kapolri untuk mengutamakan "restorative justice" atau keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan.
"Menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan 2 orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri," ujar Choky.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan kasus kriminalisasi Ketua Kopsa-M dan dua orang petani sawit di Polres Kampar, Riau, sebagai bentuk tidak dijalankannya visi Polri Presisi dan mematuhi perintah Presiden Joko Widodo pemberantasan terkait mafia tanah.
Menurut dia, para petani Kopsa-M itu sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang Rp 150 milyar, akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V secara tidak akuntabel di masa lalu.
Baca juga: Setara minta Kapolri hentikan kriminalisasi petani Kopsa M Kampar
Baca juga: Setara minta Menteri BUMN bertindak selesaikan konflik lahan PTPN V
Baca juga: Survei SETARA nilai Kasad dan Kasal unggul jadi kandidat panglima
Menurut Choky, demikian panggilan akrab Bonar Tigor, Polres Kampar abai atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin.
Choky menyebutkan, PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektare tanah petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau; tetapi jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun tanpa izin usaha perkebunan, yang telah menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara.
"Perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan," terangnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, PT Langgam Harmuni baru mengurus izin lingkungan pada September 2021 dan juga ditunda pengesahannya karena penolakan masyarakat akibat status lahan kebun yang tidak clear (jelas).
Choky mengatakan tidak adanya izin usaha perkebunan disebabkan patut diduga keras ada masalah di lahan itu, yang terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time).
"Padahal dengan menyembunyikan dugaan kejahatan dengan memanfaatkan ketentuan daluwarsa, justru menimbulkan kejahatan-kejahatan lanjutan lain yang berdampak pada korban yang lemah," terangnya.
Choky menilai tindakan Polres Kampar berseberangan dengan perintah Kapolri untuk mengutamakan "restorative justice" atau keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan.
"Menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan 2 orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri," ujar Choky.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: M Arief Iskandar
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment