Ketimbang larut dalam polemik perpanjangan masa jabatan presiden, ada baiknya semua pihak sekali lagi kembali memahami sejarah.
Jakarta (ANTARA) - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden melalui mekanisme amendemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 kembali mencuat belakangan ini.

Wacana yang pembahasannya timbul tenggelam sejak 2019 itu, kembali ramai menjadi perbincangan di tengah mulai menurunnya angka kasus COVID-19 di Tanah Air.

Pihak yang sempat mengusulkan kembali perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden adalah sukarelawan pendukung Jokowi, Jokowi Mania atau Joman.

Ketua Umum Joman Immanuel Ebenezer sempat mengusulkan agar masa jabatan Jokowi diperpanjang 2 hingga 3 tahun, hingga tahun 2027.

Immanuel bukan tanpa alasan mengemukakan usulan tersebut. Menurut dia, perpanjangan masa jabatan Presiden/Wapres diperlukan karena pandemi COVID-19 yang berkepanjangan menyebabkan pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa maksimal bekerja untuk rakyat.

Presiden Jokowi perlu diberi kesempatan untuk bisa bekerja maksimal dengan tambahan masa jabatan.

Syarat dukungan anggota parlemen untuk memperpanjang masa jabatan Presiden/Wapres melalui amendemen UUD NRI Tahun 1945, juga bukan perkara sulit, mengingat banyaknya partai pendukung pemerintahan Jokowi.

Namun, kini usulan itu diralat oleh Joman. Sukarelawan pendukung Jokowi itu kini menyatakan memahami sikap Presiden yang tidak mau menjabat 3 periode.

Sebagaimana diketahui, ada beragam wacana yang mengemuka terkait dengan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wapres.

Pertama, masa jabatan Presiden diubah menjadi 3 periode. Dengan opsi ini, selepas habis masa jabatan tahun 2024, Presiden Joko Widodo tidak serta-merta kembali menjadi Presiden, tetapi Jokowi dimungkinkan atau dibolehkan maju kembali melalui Pemilihan Umum Presiden berikutnya.

Wacana pertama ini, juga berlaku bagi mantan presiden lain, terutama yang telah menjabat 2 periode, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, sebagaimana telah ditegaskan Partai Demokrat, partai tempat SBY bernaung, SBY tidak berminat lagi menjadi presiden untuk ketiga kalinya.

Wacana kedua, adalah wacana yang sempat diusulkan sukarelawan Jokowi Mania. Jabatan presiden diperpanjang 3 tahun, yang artinya Jokowi bisa menjabat menjadi presiden tidak hanya hingga 2024, tetapi hingga 2027.

Wacana ketiga, bahwa presiden dipilih langsung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang juga memungkinkan Presiden Jokowi dan siapa pun presiden sebelumnya untuk dipilih kembali atas kehendak MPR.

Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat

Tiga Motif

Adapun Presiden Joko Widodo sudah jelas dan tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Bahkan, di hadapan para wartawan akhir tahun 2019, Presiden Joko Widodo secara tegas menyebut ada tiga motif yang melandasi seseorang atau kelompok terus memunculkan wacana itu.

Motif pertama, orang itu ingin menampar wajah Presiden; Kedua, orang itu ingin mencari muka; Ketiga, orang itu ingin menjerumuskan Presiden.

Partai dan sukarelawan pendukung Jokowi hendaknya memahami dengan baik pernyataan Presiden tersebut, dan tidak lagi menggaungkan isu-isu mengenai amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang bertujuan untuk memperpanjang masa jabatan presiden, apa pun bentuknya.

Bahkan, belum lama ini Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman menegaskan kembali bahwa Presiden Joko Widodo telah menolak wacana jabatan presiden 3 periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden selama 3 tahun hingga 2027.

Penegasan itu disampaikan Fadjroel menyikapi pertanyaan awak media terkait dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang kembali mengemuka.

Menurut Fadjroel, dalam sikap politiknya Presiden Joko Widodo sudah jelas dan terang benderang mengatakan tidak untuk segala wacana menyangkut pepanjangan masa jabatan presiden.

Untuk menggambarkan betapa tegas dan lurusnya sikap Presiden, Fadjroel secara spesifik bahkan hingga menyebut kata "tidak" masing-masing sebanyak tiga kali, baik untuk wacana masa jabatan presiden 3 periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027.

"Tidak, tidak, tidak" terhadap wacana tiga periode, dan "tidak, tidak, tidak" terhadap perpanjangan masa jabatan presiden 3 tahun. Begitulah upaya Fadjroel menggambarkan ketegasan Presiden.

Namun, Fadjroel menyebut pemerintah atau dalam hal ini pihak Istana tidak bisa dan tidak mungkin menghalangi atau menghentikan perdebatan mengenai wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Fadjroel menyampaikan perdebatan mengenai wacana tersebut tidak bisa dihalangi karena menjadi hak setiap warga negara untuk bebas berbicara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirannya secara tertulis maupun tidak tertulis.

Fadjroel hanya berpesan bahwa sikap Presiden sudah jelas dan tidak mungkin mengkhianati reformasi. Apabila wacana itu masih mengemuka, menurut dia, biarkan saja wacana itu menjadi perdebatan di wilayah publik untuk meyakinkan bahwa demokrasi memang berjalan di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin menilai partai politik dan sukarelawan pendukung Pemerintah semestinya memiliki kepekaan terhadap sinyal yang dikirimkan oleh Istana, yang menjadi kehendak kuat dan sejati dari Presiden.

Menurut Said, penegasan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh Presiden menunjukkan bahwa Jokowi bermaksud memberikan peringatan kepada para pengusung dan pendukung gagasan tersebut untuk menyudahi wacana itu.

Said menyerukan kepada partai pendukung pemerintah untuk mendukung komitmen Presiden tersebut. Sikap politik yang mengayun, menurut dia, hanya memuncullkan ambiguitas dan membuat rakyat bingung.

Sebagaimana telah disampaikan Presiden, wacana itu memang dapat menjerumuskan. Wacana tersebut di media sosial turut menyulut sebagian netizen atau warganet berkomentar negatif terhadap Presiden, seolah Jokowi berkeinginan hal tersebut menjadi kenyataan.

Said juga berpandangan, apabila masa jabatan Presiden diperpanjang, konsekuensinya masa jabatan anggota DPR RI juga akan diperpanjang. Hal ini sangat merugikan partai di luar parlemen termasuk PKP, yang sudah sangat siap mengikuti Pemilu 2024.

Baca juga: Perlu berpikir ulang terkait opsi model keserentakan pemilu

Pembatasan Jabatan Presiden

Ketimbang larut dalam polemik perpanjangan masa jabatan presiden, ada baiknya semua pihak sekali lagi kembali memahami sejarah, kenapa masa jabatan presiden dibatasi hingga 5 tahun dan hanya dua periode.

Hal ini memang sudah pernah diulas dalam berbagai kesempatan. Namun, patut diangkat kembali mengingat mengemukanya polemik perpanjangan masa jabatan presiden.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum amendemen, masa jabatan presiden ditetapkan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali setelahnya.

Pada masa Orde Baru, ketika presiden kedua RI H.M. Soeharto lengser setelah menjabat selama 32 tahun, muncul Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Ketetapan MPR itu menambahkan frasa pada Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang sebelumnya berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali", menjadi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Artinya sejak saat itu presiden hanya bisa menjabat 2 periode.

Tap MPR tahun 1998 itu ditetapkan untuk mencegah lahirnya kepemimpinan yang tidak demokratis dengan masa jabatan presiden yang tidak terbatas, layaknya terjadi pada era Orde Baru.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada sejarah pembatasan masa jabatan presiden dan juga memahami sikap Presiden Jokowi, sebaiknya wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dihentikan.

Biarkan saja estafet tongkat kepemimpinan nasional berjalan sesuai dengan konstitusi yang berlandaskan amanat reformasi.

Baca juga: Pilih amendemen atau e-Voting terkait Pemilu 2024

Oleh Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2021