Jakarta (ANTARA) - Pemanfaatan diplomasi digital semakin meningkat, terutama sejak pandemi ketika orang-orang dipaksa untuk lebih mengandalkan teknologi, kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Selasa.
Dengan melakukan diplomasi secara digital, kata dia, para pemimpin tidak perlu menghadiri pertemuan internasional karena mereka dapat mengirimkan pidato yang telah direkam sebelumnya atau menyampaikannya secara virtual.
Diplomasi digital juga telah diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB yang melakukan pemungutan suara melalui surat elektronik untuk mencapai resolusi, serta mekanisme global COVAX yang berhasil mengoordinasikan pengiriman ratusan juta dosis vaksin COVID-19 ke seluruh dunia tanpa harus melalui pertemuan fisik.
“Terlepas dari semua nilainya, diplomasi digital belum dapat menggantikan diplomasi tatap muka, tetapi diplomasi digital tetap ada dan kebutuhannya akan terus meningkat,” kata Retno ketika membuka acara puncak International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) 2021 secara virtual..
Mengingat penggunaannya yang akan terus meningkat, dia memaparkan tiga upaya untuk memajukan diplomasi digital di masa depan.
Baca juga: Menlu RI-Inggris bahas isu Myanmar dan Afghanistan
Pertama, perlunya memperkuat kepercayaan dalam diplomasi digital. Dalam hal ini, akselerasi penggunaan diplomasi digital tidak boleh mengorbankan aspek keamanan dan etika, terutama dengan partisipasi pemangku kepentingan di luar aktor diplomasi tradisional.
Kekhawatiran tentang keamanan siber, privasi data, dan tata kelola internet harus diatasi untuk menciptakan lingkungan diplomasi digital yang tepercaya.
“Dengan platform daring, harus ada transparansi dan kesepakatan sejak awal tentang siapa saja yang hadir, jenis data pribadi apa yang dikumpulkan, dan apakah interaksi akan direkam. Hal ini sangat penting jika menyangkut pertemuan rahasia atau diskusi tentang hal-hal yang sulit,” kata Retno.
Kedua, perlunya menjembatani kesenjangan dalam diplomasi digital antarnegara karena tidak semua negara beradaptasi dalam menggunakan diplomasi digital, apalagi memiliki kapasitas dan sumber daya yang dibutuhkan.
Untuk itu, bantuan harus diberikan kepada negara-negara berkembang untuk memperkuat infrastruktur diplomasi digital mereka, termasuk peningkatan kapasitas literasi dan keterampilan digital, investasi dalam teknologi digital yang terjangkau, dan pengembangan platform daring yang aman dan terjamin.
“Pada saat yang sama, kita harus belajar dari satu sama lain melalui pertukaran praktik terbaik dan pembelajaran tentang bagaimana memanfaatkan sepenuhnya diplomasi digital,” tutur Retno.
Baca juga: Menlu RI tegaskan pentingnya berbagi vaksin untuk capai target WHO
Ketiga, Menlu RI menekankan pentingnya menggunakan diplomasi digital untuk mengatasi isu global.
Indonesia, misalnya, memanfaatkan diplomasi digital untuk tujuan mengelola krisis dengan menggunakan aplikasi seluler untuk memperluas layanan bagi warganya selama pandemi.
Ke depannya, pemanfaatan teknologi digital dapat diperluas melalui eksplorasi penggunaan kecerdasan buatan untuk menganalisis data seperti pola perdagangan, kebijakan luar negeri, dan berita dari seluruh dunia untuk menciptakan proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang lebih responsif dan informatif.
“Di masa depan, kita mungkin menggunakan realitas virtual untuk mengunjungi zona konflik atau melihat kehancuran yang disebabkan oleh perubahan iklim untuk membantu kita lebih memahami situasi di lapangan,” tutur dia.
ICDD diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia untuk membahas pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan diplomasi serta kepentingan lain, seperti ekonomi.
Dilaksanakan secara virtual dari Bali dengan mengangkat tema“Unmasking Digital Diplomacy in the New Normal”, konferensi tersebut diikuti oleh sekitar 21 negara di antaranya Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Finlandia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Chile.
Baca juga: Menlu RI dukung "pandemic treaty" untuk pemerataan vaksin
Baca juga: Menlu RI: Meksiko dukung keketuaan Indonesia di G20 tahun depan
Dengan melakukan diplomasi secara digital, kata dia, para pemimpin tidak perlu menghadiri pertemuan internasional karena mereka dapat mengirimkan pidato yang telah direkam sebelumnya atau menyampaikannya secara virtual.
Diplomasi digital juga telah diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB yang melakukan pemungutan suara melalui surat elektronik untuk mencapai resolusi, serta mekanisme global COVAX yang berhasil mengoordinasikan pengiriman ratusan juta dosis vaksin COVID-19 ke seluruh dunia tanpa harus melalui pertemuan fisik.
“Terlepas dari semua nilainya, diplomasi digital belum dapat menggantikan diplomasi tatap muka, tetapi diplomasi digital tetap ada dan kebutuhannya akan terus meningkat,” kata Retno ketika membuka acara puncak International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) 2021 secara virtual..
Mengingat penggunaannya yang akan terus meningkat, dia memaparkan tiga upaya untuk memajukan diplomasi digital di masa depan.
Baca juga: Menlu RI-Inggris bahas isu Myanmar dan Afghanistan
Pertama, perlunya memperkuat kepercayaan dalam diplomasi digital. Dalam hal ini, akselerasi penggunaan diplomasi digital tidak boleh mengorbankan aspek keamanan dan etika, terutama dengan partisipasi pemangku kepentingan di luar aktor diplomasi tradisional.
Kekhawatiran tentang keamanan siber, privasi data, dan tata kelola internet harus diatasi untuk menciptakan lingkungan diplomasi digital yang tepercaya.
“Dengan platform daring, harus ada transparansi dan kesepakatan sejak awal tentang siapa saja yang hadir, jenis data pribadi apa yang dikumpulkan, dan apakah interaksi akan direkam. Hal ini sangat penting jika menyangkut pertemuan rahasia atau diskusi tentang hal-hal yang sulit,” kata Retno.
Kedua, perlunya menjembatani kesenjangan dalam diplomasi digital antarnegara karena tidak semua negara beradaptasi dalam menggunakan diplomasi digital, apalagi memiliki kapasitas dan sumber daya yang dibutuhkan.
Untuk itu, bantuan harus diberikan kepada negara-negara berkembang untuk memperkuat infrastruktur diplomasi digital mereka, termasuk peningkatan kapasitas literasi dan keterampilan digital, investasi dalam teknologi digital yang terjangkau, dan pengembangan platform daring yang aman dan terjamin.
“Pada saat yang sama, kita harus belajar dari satu sama lain melalui pertukaran praktik terbaik dan pembelajaran tentang bagaimana memanfaatkan sepenuhnya diplomasi digital,” tutur Retno.
Baca juga: Menlu RI tegaskan pentingnya berbagi vaksin untuk capai target WHO
Ketiga, Menlu RI menekankan pentingnya menggunakan diplomasi digital untuk mengatasi isu global.
Indonesia, misalnya, memanfaatkan diplomasi digital untuk tujuan mengelola krisis dengan menggunakan aplikasi seluler untuk memperluas layanan bagi warganya selama pandemi.
Ke depannya, pemanfaatan teknologi digital dapat diperluas melalui eksplorasi penggunaan kecerdasan buatan untuk menganalisis data seperti pola perdagangan, kebijakan luar negeri, dan berita dari seluruh dunia untuk menciptakan proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang lebih responsif dan informatif.
“Di masa depan, kita mungkin menggunakan realitas virtual untuk mengunjungi zona konflik atau melihat kehancuran yang disebabkan oleh perubahan iklim untuk membantu kita lebih memahami situasi di lapangan,” tutur dia.
ICDD diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia untuk membahas pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan diplomasi serta kepentingan lain, seperti ekonomi.
Dilaksanakan secara virtual dari Bali dengan mengangkat tema“Unmasking Digital Diplomacy in the New Normal”, konferensi tersebut diikuti oleh sekitar 21 negara di antaranya Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Finlandia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Chile.
Baca juga: Menlu RI dukung "pandemic treaty" untuk pemerataan vaksin
Baca juga: Menlu RI: Meksiko dukung keketuaan Indonesia di G20 tahun depan
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment