Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Luky Sandra Amalia mendorong pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) untuk melindungi para aktivis siber dari serangan teror.
“Banyak aktivis yang melakukan 'cyber activism' menerima teror di dunia siber,” kata Luky Sandra ketika memberi paparan materi dalam talkshow nasional bertajuk “Polemik Freedom of Speech Sebagai Penerapan Cyber Democracy di Indonesia" yang disiarkan di kanal YouTube HIMA ILMU POLITIK UNAIR, dipantau dari Jakarta, Minggu.
"Cyber activism" merupakan gerakan untuk membangkitkan atau memobilisasi masyarakat menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan melalui aktivitas di dunia siber. Selain itu, 'cyber activism' menciptakan ruang publik yang bebas bagi semua orang untuk berbicara tanpa hambatan atau sensor.
Baca juga: Indonesia perlu UU Pelindungan Data Pribadi dengan pengawasan seimbang
Adapun teror yang diterima para aktivis siber, berdasarkan paparan Luky Sandra, adalah ujaran kebencian dengan berbagai kata yang tidak senonoh, peretasan aplikasi WhatsApp, hingga menerima telepon dari seseorang yang menggunakan nomor luar negeri.
“Para aktivis siber belum punya perlindungan dari negara, makanya para aktivis itu gampang diteror karena Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi belum ada,” ucap dia.
Oleh karena itu, Luky Sandra menekankan pentingnya pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PDP bersama dengan DPR RI untuk menjamin keamanan dari para aktivis siber.
Baca juga: ELSAM: UU PDP dapat beri kejelasan hukum bagi korban pinjaman online
Ia mengatakan sebetulnya RUU PDP sudah ada sejak tahun 2020, tetapi belum disahkan karena masih terdapat perdebatan panjang antara DPR dengan pemerintah terkait otoritas pelindungan data pribadi.
“Mudah-mudahan, karena ini sangat mendesak, Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi segera disahkan untuk melindungi kita semua yang ingin menyelamatkan demokrasi Indonesia,” kata Luky.
Baca juga: RUU PDP berikan perlindungan untuk perempuan dan anak-anak
“Banyak aktivis yang melakukan 'cyber activism' menerima teror di dunia siber,” kata Luky Sandra ketika memberi paparan materi dalam talkshow nasional bertajuk “Polemik Freedom of Speech Sebagai Penerapan Cyber Democracy di Indonesia" yang disiarkan di kanal YouTube HIMA ILMU POLITIK UNAIR, dipantau dari Jakarta, Minggu.
"Cyber activism" merupakan gerakan untuk membangkitkan atau memobilisasi masyarakat menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan melalui aktivitas di dunia siber. Selain itu, 'cyber activism' menciptakan ruang publik yang bebas bagi semua orang untuk berbicara tanpa hambatan atau sensor.
Baca juga: Indonesia perlu UU Pelindungan Data Pribadi dengan pengawasan seimbang
Adapun teror yang diterima para aktivis siber, berdasarkan paparan Luky Sandra, adalah ujaran kebencian dengan berbagai kata yang tidak senonoh, peretasan aplikasi WhatsApp, hingga menerima telepon dari seseorang yang menggunakan nomor luar negeri.
“Para aktivis siber belum punya perlindungan dari negara, makanya para aktivis itu gampang diteror karena Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi belum ada,” ucap dia.
Oleh karena itu, Luky Sandra menekankan pentingnya pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PDP bersama dengan DPR RI untuk menjamin keamanan dari para aktivis siber.
Baca juga: ELSAM: UU PDP dapat beri kejelasan hukum bagi korban pinjaman online
Ia mengatakan sebetulnya RUU PDP sudah ada sejak tahun 2020, tetapi belum disahkan karena masih terdapat perdebatan panjang antara DPR dengan pemerintah terkait otoritas pelindungan data pribadi.
“Mudah-mudahan, karena ini sangat mendesak, Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi segera disahkan untuk melindungi kita semua yang ingin menyelamatkan demokrasi Indonesia,” kata Luky.
Baca juga: RUU PDP berikan perlindungan untuk perempuan dan anak-anak
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment