Denpasar (ANTARA) - Raja IX Denpasar, Bali, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, menitipkan harapan pada Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dan jajaran senator lainnya agar RUU Masyarakat Hukum Adat dapat segera disahkan menjadi undang-undang.
"Kami juga mengharapkan judulnya diganti menjadi UU Masyarakat Adat Kerajaan Nusantara. Itu pesan kami, di samping Tujuh Titah Raja yang sudah disampaikan di Sumedang," kata Ida Tjokorda saat menerima kunjungan Ketua DPD di Jaba Pura Pemerajan Puri Agung Denpasar, Sabtu.
Ia juga meminta LaNyalla mengunjungi Puri-Puri (kerajaan) lain yang masih banyak di Bali. Sebab, baru tiga Puri yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) yakni Puri Agung Denpasar, Puri Agung Tabanan, dan Puri Agung Karangasem.
Baca juga: Kemenkumham: Pembangunan industri tak boleh korbankan masyarakat adat
"Di MAKN ini kami mengikuti Tri Dharma Majelis Adat Kerajaan Nusantara. Pertama, kami adalah satu komunitas. Kedua, satu identitas dalam kebhinekaan dan ketiga, kami berada dalam satu visi yang jelas," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ida Tjokorda juga meminta DPD untuk mengoreksi sistem politik dan demokrasi Indonesia karena menurutnya sistem demokrasi saat ini tak sejalan dengan arah perjuangan bangsa yang berlandaskan Pancasila.
"Demokrasi kita impor dari luar. Kami ingin kita berdemokrasi dengan falsafah Pancasila yang mengedepankan musyawarah, gotong-royong dan toleransi. Apakah sistem demokrasi bangsa kita bisa dikoreksi, sehingga kami yang menjaga muruah budaya ini bisa menghadang perpecahan," ujarnya.
Ida Tjokorda menambahkan, sebagai entitas yang dekat dengan masyarakat adat, kerajaan dan keraton Nusantara menilai sistem demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia tak lagi sejalan dengan keinginan para pendiri bangsa.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sependapat dengan pandangan Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan.
Ia menyayangkan Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, dan juga entitas-entitas "civil society" lain, tidak bisa terlibat dalam menentukan arah perjalanan bangsa karena sejak amandemen Konstitusi 4 tahap tahun 1999 hingga 2002, yang menentukan adalah partai politik.
Baca juga: Wakil Ketua MPR dorong RUU Masyarakat Hukum Adat segera diselesaikan
"Kami juga mengharapkan judulnya diganti menjadi UU Masyarakat Adat Kerajaan Nusantara. Itu pesan kami, di samping Tujuh Titah Raja yang sudah disampaikan di Sumedang," kata Ida Tjokorda saat menerima kunjungan Ketua DPD di Jaba Pura Pemerajan Puri Agung Denpasar, Sabtu.
Ia juga meminta LaNyalla mengunjungi Puri-Puri (kerajaan) lain yang masih banyak di Bali. Sebab, baru tiga Puri yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) yakni Puri Agung Denpasar, Puri Agung Tabanan, dan Puri Agung Karangasem.
Baca juga: Kemenkumham: Pembangunan industri tak boleh korbankan masyarakat adat
"Di MAKN ini kami mengikuti Tri Dharma Majelis Adat Kerajaan Nusantara. Pertama, kami adalah satu komunitas. Kedua, satu identitas dalam kebhinekaan dan ketiga, kami berada dalam satu visi yang jelas," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ida Tjokorda juga meminta DPD untuk mengoreksi sistem politik dan demokrasi Indonesia karena menurutnya sistem demokrasi saat ini tak sejalan dengan arah perjuangan bangsa yang berlandaskan Pancasila.
"Demokrasi kita impor dari luar. Kami ingin kita berdemokrasi dengan falsafah Pancasila yang mengedepankan musyawarah, gotong-royong dan toleransi. Apakah sistem demokrasi bangsa kita bisa dikoreksi, sehingga kami yang menjaga muruah budaya ini bisa menghadang perpecahan," ujarnya.
Ida Tjokorda menambahkan, sebagai entitas yang dekat dengan masyarakat adat, kerajaan dan keraton Nusantara menilai sistem demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia tak lagi sejalan dengan keinginan para pendiri bangsa.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sependapat dengan pandangan Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan.
Ia menyayangkan Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, dan juga entitas-entitas "civil society" lain, tidak bisa terlibat dalam menentukan arah perjalanan bangsa karena sejak amandemen Konstitusi 4 tahap tahun 1999 hingga 2002, yang menentukan adalah partai politik.
Baca juga: Wakil Ketua MPR dorong RUU Masyarakat Hukum Adat segera diselesaikan
"Merekalah yang menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Parpol melalui fraksi di DPR RI bersama pemerintah jugalah yang memutuskan UU yang mengikat seluruh warga bangsa," ujarnya.
Karena itulah, tambah LaNyalla, DPD terus menggugah kesadaran publik. Terus menggelorakan, bahwa rencana Amendemen Konstitusi perubahan kelima harus dilakukan untuk memperbaiki sistem tata negara yang ada di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, LaNyalla didampingi sejumlah senator diantaranya Bambang Santoso dan Anak Agung Gde Agung (Bali), Bustami Zainuddin dan Ahmad Bastian (Lampung), Fachrul Razi (Aceh), Andi Muh Ihsan (Sulsel), dan Erlinawati (Kalbar).
Kemudian Habib Abdurrahman Bahasyim (Kalsel), Andi Nirwana (Sultra), Ahmad Kanedi (Bengkulu), Muhammad Rakhman (Kalteng), Angelius Wake Kako dan Asyera Wundalero (NTT), Stefi Pasimanjeku (Malut) dan Habib Ali Alwi dan M TB Ali Ridho (Banten).
Di akhir acara, LaNyalla mendapatkan cinderamata berupa keris dari Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan.
Baca juga: Ketua DPD RI ajak warga PSHT amalkan falsafah kehidupannya
Baca juga: DPD: Raja dan Sultan Nusantara perlu dilibatkan dalam tata negara
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2021
0 comments:
Post a Comment