Jika faktor ketiga dan keempat yang lebih dominan, NU akan jadi mesin politik pihak-pihak tertentu yang ingin menang pada Pemilu 2024.
Jakarta (ANTARA) - Kekuatan ekonomi dan politik di luar kelompok nahdiyin berpotensi mempengaruhi hasil Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama mulai 23 hingga 25 Desember di Lampung.

Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina A. Khoirul Umam mengatakan bahwa kekuatan dari luar kelompok nahdiyin itu kemungkinan menghendaki dukungan dari pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk agenda investasi dan politik ke depan, terutama pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
 
"Demi mencegah itu, butuh independensi dan netralitas para pemilih demi memilih pemimpin PBNU yang sesuai dengan aspirasi nahdiyin," kata Khoirul Umam sebagaimana dikutip dari pernyataan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.

Ia menyebutkan ada beberapa faktor yang berpotensi memengaruhi arah keputusan pemilik hak suara di Muktamar NU kali ini, yakni: pertama, level independensi dan netralitas PWNU, PCNU, dan PCI-NU; kedua, efektivitas kekuatan pendukung masing-masing calon.

Ketiga, pengaruh kekuatan sel-sel ekonomi politik yang tersebar di berbagai politik, baik di level state actor (penyelenggara negara) maupun nonstate actor; keempat, potensi adanya intervensi kekuatan ekonomi politik dari eksternal nahdiyin.

Hipotesisnya, kata Umam yang pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidz PCI-NU Queensland, Australia, jika faktor pertama dan kedua yang lebih berpengaruh, hasil Muktamar Ke-34 NU akan menghasilkan kepemimpinan PBNU yang sesuai dengan aspirasi nahdiyin.

Namun, jika faktor ketiga dan keempat yang lebih dominan, NU akan jadi mesin politik pihak-pihak tertentu yang ingin menang pada Pemilu 2024.

"Tentu, itu tidak diinginkan semua pihak," tegas Umam.

Dalam pengamatannya, dia menyebut ada dua kandidat kuat dan dua kandidat alternatif pada pemilihan Ketua Umum PBNU.

Dua kandidat kuat itu petahana K.H. Said Aqil Siradj dan Katib Aam PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf, kemudian dua kandidat alternatif yaitu mantan Waketum PBNU dan mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara K.H. As’ad Ali dan Ketua PWNU Jawa Timur K.H. Marzuki Mustamar.

Umam menilai keempat kandidat itu punya peluang untuk terpilih sebagai Ketum PBNU.

Ia menerangkan bahwa petahana K.H. Said Aqil Siradj, yang memimpin NU selama 10 tahun terakhir, telah membangun akar dukungan cukup kuat di tingkat wilayah (PWNU), cabang (PCNU), dan cabang istimewa (PCI-NU).

Said Aqil diyakini juga memiliki hubungan erat dengan Istana Presiden dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin koalisi partai penguasa saat ini.

Sementara itu, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menurut dia, punya peluang kuat karena dianggap sebagai tokoh yang dapat membawa pembaruan di tubuh NU.

Di samping itu, Gus Yahya merupakan saudara kandung Menteri Agama yang kemungkinan itu turut berpengaruh pada perolehan dukungan PWNU dan PCNU.

Keberadaan dua kandidat alternatif, seperti K.H. As’ad Said Ali dan K.H. Marzuki Mustamar, menurut Umam, dibutuhkan untuk menurunkan tensi pada Muktamar Ke-34 NU yang sebelumnya cenderung terbagi dalam dua poros.

"Calon alternatif Ketum PBNU dibutuhkan untuk memecah kebekuan komunikasi dan menurunkan tensi. Hadirnya calon pemimpin alternatif akan membuat regenerasi makin terbuka," ujarnya.

 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2021