Jakarta (ANTARA) - Indonesia akan menorehkan sejarah untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di tahun yang sama, yakni 2024.
Penyelenggaraan pemungutan suara pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten dan kota akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Sementara untuk pilkada, yang terdiri atas pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, akan terselenggara secara serentak pada November 2024.
Dalam penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu, berkomitmen mewujudkan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 berjalan secara aman, lancar, tertib, dan damai. Untuk merealisasikan komitmen tersebut, berbagai upaya pun mulai ditempuh KPU.
Salah satunya adalah membuka beragam ruang diskusi untuk mengurai satu per satu persoalan dan tantangan yang akan dihadapi, guna menemukan solusi terbaik demi mewujudkan penyelenggaraan pemilu lebih baik di 2024. Bahkan, ruang diskusi tersebut pun menyentuh skala global dengan diselenggarakannya seminar internasional.
Dari beragam diskusi yang telah terselenggara, salah satu hal menarik untuk dibahas ialah mengenai tantangan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 di Indonesia, yakni perihal keterkaitan dengan transformasi digital dan segala perkembangan pesat teknologi informasi di dalamnya.
Penasihat Senior Administrasi Pemilu The International Foundation for Electoral System (IFES) Joanne McCallum menyampaikan persiapan dan penyelenggaraan pemilu senantiasa menjadi kegiatan yang kompleks.
Akan tetapi, kompleksitas tersebut dalam beberapa waktu terakhir justru mengalami peningkatan karena beragam faktor, seperti kemunculan pandemi COVID-19 dan transformasi digital dengan perkembangan pemanfaatan pesat teknologi informasi di dalamnya.
Baca juga: KPU sebut penyederhanaan surat suara agar Pemilu 2024 murah dan mudah
Penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait dengan pemilu
Lebih lanjut menurut Joanne, perkembangan teknologi informasi di era digital memiliki sejumlah dampak negatif terhadap dunia pemilu, di antaranya adalah penyebaran misinformasi dan disinformasi di dunia maya, seperti media sosial.
Hal senada pun disampaikan oleh Head of Electoral Processes The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Therese Pearce Laanela. Menurut Therese, penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait pemilu merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 lebih baik.
Seperti yang umum diketahui, misinformasi mengenai pemilu bukanlah hal baru yang disadari oleh sejumlah pihak, mulai dari akademisi, pemerhati pemilu, hingga pihak penyelenggara pemilu, sebagai salah satu tantangan terbesar dari penyelenggaraan pemilu.
Penyebaran misinformasi tentang pemilu di Indonesia adalah suatu keadaan dimana seseorang menyebarkan informasi yang keliru, karena mereka menganggap informasi tersebut benar. Kondisi seperti itu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa literasi pemilu bagi masyarakat masih rendah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua masyarakat di Indonesia memahami dengan baik berbagai tahapan yang ada di dalam pemilu. Bahkan, ada pula pemilih pemula yang masih merasa bingung tentang tata cara pemberian suara dalam pemilu di tempat pemungutan suara (TPS).
Oleh karena itu, untuk menghentikan laju penyebaran misinformasi tentang pemilu, literasi pemilu bagi pemilih harus menjadi agenda utama yang harus dijalankan lembaga penyelenggara pemilu.
Kemudian, berkenaan dengan disinformasi atau informasi palsu yang sengaja disebarkan oknum tidak bertanggung jawab di dunia maya, baik yang berupa berita bohong maupun kampanye hitam, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar memandang hal tersebut memang menjadi masalah yang semakin sering terjadi dalam pesta demokrasi di Indonesia.
Berkenaan dengan dampak dari penyebaran disinformasi, masih menurut Therese, hal tersebut dapat menyerang beragam pihak yang terkait dengan dunia pemilu, baik jurnalis yang memberitakan pemilu, institusi penyelenggara pemilu, maupun para pihak yang menjadi peserta pemilu.
Oleh karena itu, untuk menaklukkan tantangan tersebut, Therese mengatakan perlu sinergisme antara pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu sebagai pihak pengawas, dan kelompok masyarakat sipil selaku pemerhati pemilu, seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta pihak penyedia platform media sosial.
Ia memandang para pihak tersebut perlu bersinergi dalam merencanakan strategi dan mengimplementasikan beragam upaya untuk membendung disinformasi tentang pemilu yang ada dalam lingkungan informasi secara daring.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai disinformasi pemilu menjadi tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, karena hal tersebut banyak terjadi pada pesta demokrasi lima tahunan sebelumnya, yakni di Pemilu 2014 dan 2019.
Menurut dia, tren disinformasi Pemilu 2014 lebih banyak digunakan untuk mengubah persepsi masyarakat. Misalnya, seorang pemilih semula senang dengan calon inisial A, namun dengan adanya disinformasi, maka pemilih itu bisa berganti pilihan.
Selain itu, disinformasi dalam pemilu juga lebih berfokus untuk saling menjatuhkan antarkandidat, tambahnya.
Sementara pada penyelenggaraan Pemilu 2019, dia mengatakan tren disinformasi mengalami perubahan pola. Penyebaran disinformasi kala itu lebih ditujukan untuk memengaruhi emosi dan perilaku masyarakat dalam memilih.
Contohnya adalah disinformasi terkait metode pengumpulan suara dalam Pemilu 2019. Menurutnya, ada disinformasi yang beredar terkait metode pemungutan suara telah dilakukan KPU di salah satu media sosial.
Dari sejumlah gambaran persoalan disinformasi dalam pengalaman pemilu di Indonesia itu, dia berharap penyelenggara pemilu lebih siap mengantisipasi tantangan disinformasi di Pemilu 2024.
Ia menyarankan kepada penyelenggara pemilu untuk membentuk tim khusus pemantau aktivitas media sosial terkait pemilu dan memberikan informasi komprehensif, mudah diakses, serta penyusunan strategi komunikasi dalam menanggapi disinformasi pemilu.
Baca juga: KPU tegaskan tidak berencana gunakan "e-voting" dalam Pemilu 2024
Transformasi digital dalam pemilu
Therese juga menyampaikan tantangan terbesar kedua dalam mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 lebih baik adalah kemampuan beradaptasi di era transformasi digital secara tepat.
Transformasi digital merupakan fenomena yang benar-benar terjadi dan tidak dapat dihindari oleh berbagai bidang, termasuk di dunia pemilu. Oleh karena itu, mau tidak mau, penyelenggara pemilu pun dituntut untuk beradaptasi dengan dunia digital.
Dalam praktik penyelenggaraan pemilu di Tanah Air, sebenarnya KPU telah memanfaatkan teknologi digital dalam beberapa tahapan pemilu, di antaranya adalah aplikasi LindungiHakmu, yang membantu masyarakat mengecek namanya apakah telah terdaftar sebagai pemilih.
Selanjutnya, KPU membentuk Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), yang merupakan tata cara pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu secara digital. Lalu, ada pula Sistem Informasi Pencalonan Pilkada (Silon), Sistem Informasi Logistik (Silog), dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Dari seluruh upaya adopsi teknologi digital dalam beragam tahapan pemilu tersebut, Therese mengimbau agar KPU melakukan rangkaian uji coba Sirekap secara lengkap, sehingga permasalahan yang dapat muncul dari penggunaannya dapat diminimalkan.
KPU juga perlu mengoptimalkan pengamanan siber Sirekap, agar risiko manipulasi data hasil penghitungan suara dalam pemilu dapat dihindari.
Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang memakan waktu cukup panjang berpotensi menimbulkan spekulasi di antara para pemilih, sehingga bisa memunculkan ketegangan, konflik, atau pun sengketa pemilu. Bahkan, spekulasi itu berkemungkinan lebih mudah tersebar sejalan dengan keberadaan media sosial.
Dari seluruh pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa penyelenggaraan pemilu dari masa ke masa memang tidak dapat dilepaskan dari kemunculan beragam tantangan baru. Meskipun begitu, ada pula beragam upaya menaklukkan yang dapat ditempuh oleh berbagai pihak, terutama pihak penyelenggara.
Bahkan dalam praktiknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, KPU, sebagai bagian dari pihak penyelenggara pemilu, telah mengambil beragam upaya untuk menaklukkan tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Salah satunya adalah mengadakan forum dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas persoalan misinformasi serta disinformasi yang dapat merusak kredibilitas dan persepsi masyarakat mengenai pemilu di Indonesia.
Tentu saja, langkah antisipatif seperti itu diharapkan semakin diperbanyak oleh pihak penyelenggara pemilu, bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait. Semoga pada praktiknya, antisipasi itu mampu benar-benar mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang lebih baik.
Baca juga: KPU: Penggunaan Sipol upaya modernisasi partai politik
Penyelenggaraan pemungutan suara pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten dan kota akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Sementara untuk pilkada, yang terdiri atas pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, akan terselenggara secara serentak pada November 2024.
Dalam penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu, berkomitmen mewujudkan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 berjalan secara aman, lancar, tertib, dan damai. Untuk merealisasikan komitmen tersebut, berbagai upaya pun mulai ditempuh KPU.
Salah satunya adalah membuka beragam ruang diskusi untuk mengurai satu per satu persoalan dan tantangan yang akan dihadapi, guna menemukan solusi terbaik demi mewujudkan penyelenggaraan pemilu lebih baik di 2024. Bahkan, ruang diskusi tersebut pun menyentuh skala global dengan diselenggarakannya seminar internasional.
Dari beragam diskusi yang telah terselenggara, salah satu hal menarik untuk dibahas ialah mengenai tantangan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 di Indonesia, yakni perihal keterkaitan dengan transformasi digital dan segala perkembangan pesat teknologi informasi di dalamnya.
Penasihat Senior Administrasi Pemilu The International Foundation for Electoral System (IFES) Joanne McCallum menyampaikan persiapan dan penyelenggaraan pemilu senantiasa menjadi kegiatan yang kompleks.
Akan tetapi, kompleksitas tersebut dalam beberapa waktu terakhir justru mengalami peningkatan karena beragam faktor, seperti kemunculan pandemi COVID-19 dan transformasi digital dengan perkembangan pemanfaatan pesat teknologi informasi di dalamnya.
Baca juga: KPU sebut penyederhanaan surat suara agar Pemilu 2024 murah dan mudah
Penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait dengan pemilu
Lebih lanjut menurut Joanne, perkembangan teknologi informasi di era digital memiliki sejumlah dampak negatif terhadap dunia pemilu, di antaranya adalah penyebaran misinformasi dan disinformasi di dunia maya, seperti media sosial.
Hal senada pun disampaikan oleh Head of Electoral Processes The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Therese Pearce Laanela. Menurut Therese, penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait pemilu merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 lebih baik.
Seperti yang umum diketahui, misinformasi mengenai pemilu bukanlah hal baru yang disadari oleh sejumlah pihak, mulai dari akademisi, pemerhati pemilu, hingga pihak penyelenggara pemilu, sebagai salah satu tantangan terbesar dari penyelenggaraan pemilu.
Penyebaran misinformasi tentang pemilu di Indonesia adalah suatu keadaan dimana seseorang menyebarkan informasi yang keliru, karena mereka menganggap informasi tersebut benar. Kondisi seperti itu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa literasi pemilu bagi masyarakat masih rendah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua masyarakat di Indonesia memahami dengan baik berbagai tahapan yang ada di dalam pemilu. Bahkan, ada pula pemilih pemula yang masih merasa bingung tentang tata cara pemberian suara dalam pemilu di tempat pemungutan suara (TPS).
Oleh karena itu, untuk menghentikan laju penyebaran misinformasi tentang pemilu, literasi pemilu bagi pemilih harus menjadi agenda utama yang harus dijalankan lembaga penyelenggara pemilu.
Kemudian, berkenaan dengan disinformasi atau informasi palsu yang sengaja disebarkan oknum tidak bertanggung jawab di dunia maya, baik yang berupa berita bohong maupun kampanye hitam, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar memandang hal tersebut memang menjadi masalah yang semakin sering terjadi dalam pesta demokrasi di Indonesia.
Berkenaan dengan dampak dari penyebaran disinformasi, masih menurut Therese, hal tersebut dapat menyerang beragam pihak yang terkait dengan dunia pemilu, baik jurnalis yang memberitakan pemilu, institusi penyelenggara pemilu, maupun para pihak yang menjadi peserta pemilu.
Oleh karena itu, untuk menaklukkan tantangan tersebut, Therese mengatakan perlu sinergisme antara pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu sebagai pihak pengawas, dan kelompok masyarakat sipil selaku pemerhati pemilu, seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta pihak penyedia platform media sosial.
Ia memandang para pihak tersebut perlu bersinergi dalam merencanakan strategi dan mengimplementasikan beragam upaya untuk membendung disinformasi tentang pemilu yang ada dalam lingkungan informasi secara daring.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai disinformasi pemilu menjadi tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, karena hal tersebut banyak terjadi pada pesta demokrasi lima tahunan sebelumnya, yakni di Pemilu 2014 dan 2019.
Menurut dia, tren disinformasi Pemilu 2014 lebih banyak digunakan untuk mengubah persepsi masyarakat. Misalnya, seorang pemilih semula senang dengan calon inisial A, namun dengan adanya disinformasi, maka pemilih itu bisa berganti pilihan.
Selain itu, disinformasi dalam pemilu juga lebih berfokus untuk saling menjatuhkan antarkandidat, tambahnya.
Sementara pada penyelenggaraan Pemilu 2019, dia mengatakan tren disinformasi mengalami perubahan pola. Penyebaran disinformasi kala itu lebih ditujukan untuk memengaruhi emosi dan perilaku masyarakat dalam memilih.
Contohnya adalah disinformasi terkait metode pengumpulan suara dalam Pemilu 2019. Menurutnya, ada disinformasi yang beredar terkait metode pemungutan suara telah dilakukan KPU di salah satu media sosial.
Dari sejumlah gambaran persoalan disinformasi dalam pengalaman pemilu di Indonesia itu, dia berharap penyelenggara pemilu lebih siap mengantisipasi tantangan disinformasi di Pemilu 2024.
Ia menyarankan kepada penyelenggara pemilu untuk membentuk tim khusus pemantau aktivitas media sosial terkait pemilu dan memberikan informasi komprehensif, mudah diakses, serta penyusunan strategi komunikasi dalam menanggapi disinformasi pemilu.
Baca juga: KPU tegaskan tidak berencana gunakan "e-voting" dalam Pemilu 2024
Transformasi digital dalam pemilu
Therese juga menyampaikan tantangan terbesar kedua dalam mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 lebih baik adalah kemampuan beradaptasi di era transformasi digital secara tepat.
Transformasi digital merupakan fenomena yang benar-benar terjadi dan tidak dapat dihindari oleh berbagai bidang, termasuk di dunia pemilu. Oleh karena itu, mau tidak mau, penyelenggara pemilu pun dituntut untuk beradaptasi dengan dunia digital.
Dalam praktik penyelenggaraan pemilu di Tanah Air, sebenarnya KPU telah memanfaatkan teknologi digital dalam beberapa tahapan pemilu, di antaranya adalah aplikasi LindungiHakmu, yang membantu masyarakat mengecek namanya apakah telah terdaftar sebagai pemilih.
Selanjutnya, KPU membentuk Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), yang merupakan tata cara pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu secara digital. Lalu, ada pula Sistem Informasi Pencalonan Pilkada (Silon), Sistem Informasi Logistik (Silog), dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Dari seluruh upaya adopsi teknologi digital dalam beragam tahapan pemilu tersebut, Therese mengimbau agar KPU melakukan rangkaian uji coba Sirekap secara lengkap, sehingga permasalahan yang dapat muncul dari penggunaannya dapat diminimalkan.
KPU juga perlu mengoptimalkan pengamanan siber Sirekap, agar risiko manipulasi data hasil penghitungan suara dalam pemilu dapat dihindari.
Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang memakan waktu cukup panjang berpotensi menimbulkan spekulasi di antara para pemilih, sehingga bisa memunculkan ketegangan, konflik, atau pun sengketa pemilu. Bahkan, spekulasi itu berkemungkinan lebih mudah tersebar sejalan dengan keberadaan media sosial.
Dari seluruh pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa penyelenggaraan pemilu dari masa ke masa memang tidak dapat dilepaskan dari kemunculan beragam tantangan baru. Meskipun begitu, ada pula beragam upaya menaklukkan yang dapat ditempuh oleh berbagai pihak, terutama pihak penyelenggara.
Bahkan dalam praktiknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, KPU, sebagai bagian dari pihak penyelenggara pemilu, telah mengambil beragam upaya untuk menaklukkan tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Salah satunya adalah mengadakan forum dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas persoalan misinformasi serta disinformasi yang dapat merusak kredibilitas dan persepsi masyarakat mengenai pemilu di Indonesia.
Tentu saja, langkah antisipatif seperti itu diharapkan semakin diperbanyak oleh pihak penyelenggara pemilu, bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait. Semoga pada praktiknya, antisipasi itu mampu benar-benar mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang lebih baik.
Baca juga: KPU: Penggunaan Sipol upaya modernisasi partai politik
Editor: Fransiska Ninditya
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment