Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Ahsanul Minan menilai pemenuhan keterwakilan perempuan minimal 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu dapat diwujudkan dengan memperkuat regulasi.

"Menurut saya, yang perlu dipertimbangkan untuk memenuhi keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu adalah dengan memperkuat regulasi yang mewajibkan pemenuhan keterwakilan perempuan," kata Ahsanul Minan dalam diskusi virtual "Mendorong Inklusivitas Proses Seleksi dan Keterpilihan Penyelenggara Pemilu Daerah", seperti dipantau di Jakarta, Senin.

Menurut dia, berbagai regulasi yang ada saat ini, salah satunya Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, belum mampu mendorong tim seleksi, bahkan DPR, untuk memenuhi keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Belum mampunya regulasi dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu mendorong keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam kepemimpinan lembaga pemilu itu karena menggunakan frasa "memperhatikan".

"Regulasi ini sebenarnya sudah sangat bagus untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu. Namun, bahasanya masih ambigu, istilahnya itu ‘memperhatikan keterwakilan perempuan’, belum terlalu kuat mewajibkan afirmasi. Sepatutnya, tidak menggunakan frasa ‘memperhatikan’, tetapi frasa ‘mewajibkan’," jelasnya.

Pasal 10 ayat (7) UU Nomor 7 Tahun 2017 itu mengatur komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi, serta KPU kabupaten dan kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Begitu pula dengan keanggotaan Bawaslu. Di Pasal 92 ayat (11) UU tersebut menyebutkan komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu provinsi, serta Bawaslu kabupaten dan kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Baca juga: Siti Zuhro sebut perempuan terwakili di KPU-Bawaslu karena berkualitas

Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada regulasi yang mengatur secara tegas terkait kewajiban tim seleksi dan DPR untuk memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen tersebut. Hal itu dapat dilakukan lewat perbaikan UU Pemilu dengan mengganti frasa "memperhatikan" menjadi "mewajibkan".

Meski demikian, Ahsanul menyadari langkah tersebut dapat memicu perdebatan karena ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa aturan mewajibkan pemenuhan keterwakilan perempuan minimal 30 persen berpotensi menimbulkan masalah, apabila calon yang tersedia tidak cukup memenuhi kuota tersebut.

"Ini memang menjadi perdebatan, kalau diwajibkan, maka bagaimana jika perempuan calonnya tidak ada?" tukasnya.

Namun, dengan perspektif lain seperti konsep persediaan dan permintaan (supply and demand), menurutnya, masalah itu bisa tidak muncul. Kewajiban pemenuhan keterwakilan perempuan, yang dapat diibaratkan sebagai demand, dapat meningkatkan jumlah calon perempuan penyelenggara pemilu yang diibaratkan sebagai supply.

"Apabila permintaan atau demand meningkat, maka itu bisa mendorong persediaan atau supply," ujarnya.

Baca juga: DEEP Indonesia dorong KPU dan Bawaslu penuhi keterwakilan perempuan
Baca juga: Komnas: Calon anggota KPU, Bawaslu harus bebas dari kekerasan seksual

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
COPYRIGHT © ANTARA 2022