Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi mengingatkan potensi rumah ibadah yang dapat ditunggangi oleh para penyebar ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama untuk menyebarkan ajaran dan paham tersebut.
"Kita jangan pernah tabu mengatakan itu. Tidak hanya di Islam, ekstremisme dan radikalisme di agama Kristen juga bergerak di gereja, begitu juga dengan Hindu dan Budha akan bergerak di kegiatan masyarakat di pura dan wihara," kata Islah dalam keterangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan potensi penyebaran paham ekstremis, radikal, teroris itu dapat terjadi karena kegiatan keagamaan Islam terpusat di masjid. Begitu pula dengan kegiatan berbasis infiltrasi ideologi, yang ingin menginjeksi dengan agama, juga akan masuk masjid dan pesantren, menurut dia.
"Otomatis penyebaran itu bergerak di pusat dan simpul kegiatan keagamaan masyarakat, tidak terkecuali di pesantren atau masjid," tambahnya.
Namun demikian, dia mengatakan potensi penyebaran itu tidak hanya terjadi di Masjid, melainkan di rumah ibadah agama-agama lain. Hal ini, menurut Islah, disebabkan oleh polarisasi radikalisme dan ekstremisme ada di semua agama dan kelompok dengan paham tersebut ingin menguasai simpul aktivitas masyarakat dari tempat ibadah.
"Kita tidak boleh berat hati atau malu mengatakan itu karena polanya memang seperti itu," katanya.
Baca juga: BNPT: Wilayah Cirebon rawan terorisme
Dia menyebutkan kondisi saat ini di Amerika Serikat, kekuatan ekstremisme dan radikalisme bergerak di sekolah-sekolah Kristen dan literasi Kristen. Hal itu terlihat dari peristitwa ledakan di Oklahoma yang menewaskan ratusan orang dan penembakan massal di New York beberapa waktu lalu.
Menurutnya, para pelaku teror itu terpapar ekstremisme di kegiatan keagamaan, termasuk literasi keagamaan mereka.
"Artinya, kalau ada gerakan radikal yang menunggangi Islam bergerak di masjid, ya itu masuk akal. Justru, tidak masuk akal kalau aksi radikal atas nama Islam bergerak dari gereja," katanya.
Islah juga mengajak semua pihak untuk mengakui bahwa ada gerakan teror yang mengatasnamakan agama Islam di Indonesia, karena faktanya sudah banyak kejadian teror membawa nama agama Islam. Namun demikian, dia menambahkan, ekstremisme agama tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Apakah di India juga Islam, tentu saja tidak, itu ekstremisme Hindu; juga di Myanmar, ekstremisme agama Budha di bawah pimpinan Ashin Wiratu," katanya.
Artinya, tambahnya, pola gerakan radikal selalu menunggangi agama pemeluk mayoritas di suatu negara dan bergerak dalam jalur agamanya. Kalau ingin menunggangi Islam, katanya, pasti melewati jalur keagamaan Islam entah itu pesantren atau masjid; begitu juga dengan Kristen yang melalui gereja atau sekolah Kristen, katanya.
Islah mengaku seluruh masyarakat untuk terbuka mengakui fakta tersebut, dengan dibuktikan oleh adanya ceramah di masjid yang mengajarkan bughat (pemberontakan), bahkan pernah terungkap sebuah masjid di Banjarmasin jadi tempat merakit bom.
Baca juga: Bakamla dan BNPT bersinergi cegah terorisme di wilayah kemaritiman RI
Dia mengkritik kelompok penunggang Islam yang menuding Pemerintah bersikap Islamofobia. Justru, yang ada malah masyarakat harusnya takut terhadap gerakan-gerakan radikal yang menunggangi Islam, tegasnya.
"Tidak mungkin kita takut pada agama yang kita anut sendiri. justru kita takut pada penunggang Islam yang hanya ingin merusak dan mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri," jelasnya.
Sementara itu, Islah memuji upaya Pemerintah dalam menanggulangi penyebaran radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama untuk merangkul tokoh-tokoh agama dan mensterilkan rumah ibadah dari kelompok-kelompok tersebut. Hal itu yang membuat kelompok tersebut selalu mencari celah untuk melakukan propaganda.
"Karena kalau kita berhasil menyadarkan masyarakat, mereka tidak laku. Mereka hanya numpang atas nama agama, membangun kekuasaan atas nama agama. Mereka takut masyarakat pintar dan menjadi sadar sehingga gerakan mereka ditolak masyarakat. Itu yang takuti," jelasnya.
Dia menegaskan kelompok tersebut hanya penipu yang berjubah agama yang membangun narasi Islamofobia.
"Perjuangan tidak boleh berhenti. Intinya, titik puas kita itu bukan pada bukan titik sadar masyarakat, tapi berhenti pada ketika mereka sudah betul-betul mati. Gerakan mereka tidak bangkit lagi. Itu titik kinerja itu," ujar Islah.
Baca juga: Mantan HTI: Kelompok pengusung khilafah harus dilawan
"Kita jangan pernah tabu mengatakan itu. Tidak hanya di Islam, ekstremisme dan radikalisme di agama Kristen juga bergerak di gereja, begitu juga dengan Hindu dan Budha akan bergerak di kegiatan masyarakat di pura dan wihara," kata Islah dalam keterangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan potensi penyebaran paham ekstremis, radikal, teroris itu dapat terjadi karena kegiatan keagamaan Islam terpusat di masjid. Begitu pula dengan kegiatan berbasis infiltrasi ideologi, yang ingin menginjeksi dengan agama, juga akan masuk masjid dan pesantren, menurut dia.
"Otomatis penyebaran itu bergerak di pusat dan simpul kegiatan keagamaan masyarakat, tidak terkecuali di pesantren atau masjid," tambahnya.
Namun demikian, dia mengatakan potensi penyebaran itu tidak hanya terjadi di Masjid, melainkan di rumah ibadah agama-agama lain. Hal ini, menurut Islah, disebabkan oleh polarisasi radikalisme dan ekstremisme ada di semua agama dan kelompok dengan paham tersebut ingin menguasai simpul aktivitas masyarakat dari tempat ibadah.
"Kita tidak boleh berat hati atau malu mengatakan itu karena polanya memang seperti itu," katanya.
Baca juga: BNPT: Wilayah Cirebon rawan terorisme
Dia menyebutkan kondisi saat ini di Amerika Serikat, kekuatan ekstremisme dan radikalisme bergerak di sekolah-sekolah Kristen dan literasi Kristen. Hal itu terlihat dari peristitwa ledakan di Oklahoma yang menewaskan ratusan orang dan penembakan massal di New York beberapa waktu lalu.
Menurutnya, para pelaku teror itu terpapar ekstremisme di kegiatan keagamaan, termasuk literasi keagamaan mereka.
"Artinya, kalau ada gerakan radikal yang menunggangi Islam bergerak di masjid, ya itu masuk akal. Justru, tidak masuk akal kalau aksi radikal atas nama Islam bergerak dari gereja," katanya.
Islah juga mengajak semua pihak untuk mengakui bahwa ada gerakan teror yang mengatasnamakan agama Islam di Indonesia, karena faktanya sudah banyak kejadian teror membawa nama agama Islam. Namun demikian, dia menambahkan, ekstremisme agama tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Apakah di India juga Islam, tentu saja tidak, itu ekstremisme Hindu; juga di Myanmar, ekstremisme agama Budha di bawah pimpinan Ashin Wiratu," katanya.
Artinya, tambahnya, pola gerakan radikal selalu menunggangi agama pemeluk mayoritas di suatu negara dan bergerak dalam jalur agamanya. Kalau ingin menunggangi Islam, katanya, pasti melewati jalur keagamaan Islam entah itu pesantren atau masjid; begitu juga dengan Kristen yang melalui gereja atau sekolah Kristen, katanya.
Islah mengaku seluruh masyarakat untuk terbuka mengakui fakta tersebut, dengan dibuktikan oleh adanya ceramah di masjid yang mengajarkan bughat (pemberontakan), bahkan pernah terungkap sebuah masjid di Banjarmasin jadi tempat merakit bom.
Baca juga: Bakamla dan BNPT bersinergi cegah terorisme di wilayah kemaritiman RI
Dia mengkritik kelompok penunggang Islam yang menuding Pemerintah bersikap Islamofobia. Justru, yang ada malah masyarakat harusnya takut terhadap gerakan-gerakan radikal yang menunggangi Islam, tegasnya.
"Tidak mungkin kita takut pada agama yang kita anut sendiri. justru kita takut pada penunggang Islam yang hanya ingin merusak dan mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri," jelasnya.
Sementara itu, Islah memuji upaya Pemerintah dalam menanggulangi penyebaran radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama untuk merangkul tokoh-tokoh agama dan mensterilkan rumah ibadah dari kelompok-kelompok tersebut. Hal itu yang membuat kelompok tersebut selalu mencari celah untuk melakukan propaganda.
"Karena kalau kita berhasil menyadarkan masyarakat, mereka tidak laku. Mereka hanya numpang atas nama agama, membangun kekuasaan atas nama agama. Mereka takut masyarakat pintar dan menjadi sadar sehingga gerakan mereka ditolak masyarakat. Itu yang takuti," jelasnya.
Dia menegaskan kelompok tersebut hanya penipu yang berjubah agama yang membangun narasi Islamofobia.
"Perjuangan tidak boleh berhenti. Intinya, titik puas kita itu bukan pada bukan titik sadar masyarakat, tapi berhenti pada ketika mereka sudah betul-betul mati. Gerakan mereka tidak bangkit lagi. Itu titik kinerja itu," ujar Islah.
Baca juga: Mantan HTI: Kelompok pengusung khilafah harus dilawan
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Fransiska Ninditya
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment