Jakarta (ANTARA) - Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Dr Suaib Tahir Lc MA, mengatakan, Idul Adha memiliki makna sangat dalam bagi umat Islam, terkhusus dalam konteks ego pribadi.

Ia menilai bahwasanya berkurban adalah bentuk pencegahan terhadap sikap egois, yaitu melatih diri menekan hawa nafsu dan kerelaan untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan maslahah bagi orang banyak.

"Jika manusia mampu menekan hawa nafsu dan menyadari bahwa berkurban bukan saja dapat pahala tetapi juga bisa memberi makan bagi orang lain. Mereka yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain pasti mampu menekan egoisme dan kepentingan kelompoknya," ujar dia, di Jakarta, Minggu.

Baca juga: Akademisi: Berkurban wujud kesalehan Individual dan sosial

Ia melanjutkan, makna kurban dalam Islam sendiri memiliki arti yang dalam dan menjadi panutan bagi umat. Selain karena ini merupakan tuntunan dalam agama juga sebagai panutan bagi sayyidul anbiya Nabi Ibrahim AS, yang telah rela dan bersedia mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya yaitu anaknya Nabi Ismail yang merupakan putra Siti Hajar.

"Karena apa yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan bentuk totalitas dari kepatuhan dan kecintaan terhadap tuhannya sehingga ia rela mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya," jelas direktur Damar Institute yang bergerak dalam bidang Kontra Narasi dan Ideologi dari paham Radikal Terorisme ini.

Dalam keterangan tertulis yang diterima, dia juga menjelaskan sejatinya sikap saling membantu dan tolong menolong dalam segala hal merupakan keluaran yang diharapkan Allah SWT kepada umatnya dalam memperingati idul qurban.

Baca juga: MUI : nilai-nilai Kurban untuk kerukunan antar agama

"Salah satu keluaran yg diharapkan Allah dari umatnya adalah bagaimana seseorang bisa total dalam beragama artinya semua aspek kehidupan seseorang harus selalu erat kaitannya dengan kebersamaan solidaritas saling membantu dan tolong-menolong dalam segala hal," ujar Koordinator Gugus Tugas Pemuka Agama BNPT.

Anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia ini menilai, agar terbiasa rela dan tidak egois, perlu bagi umat untuk terlebih dahulu melihat dan bertanya kepada diri sendiri siapa sebenarnya dirinya, bagaimana dia harus hidup dan untuk apa dia harus hidup. Pertanyaan tersebut, menurut dia, haruslah bisa terjawab untuk memunculkan sikap kerelaan.

"Jika kita mampu menjawab pertanyaan pertannya ini dan memahaminya secara baik maka otomatis akan tercipta dalam diri kita rasa kebersamaan rasa selalu ingin tolong-menolong, berempati dan mencintai sesama,” kata dia.

Baca juga: Makna Idul Adha bagi Idang Rasjidi

Terlebih lagi dalam Islam telah dijelaskan dan diperintahkan agar umat senantiasa menjaga kebersamaan dan solidaritas dalam tolong-menolong yang juga selaras dengan semangat untuk memangkas sikap intoleran dan eksklusif untuk membangun sikap peduli, dan terbuka untuk mewujudkan kepentingan bersama.

"Dalam Islam banyak sekali anjuran kepada umat Islam agar selalu menjaga keberesmaaan solidaritas antar sesama saling tolong-menolong dalam kebaikan. Kalau seseorang tidak memperhatikan hal ini maka sesungguhnya ke-islamannya perlu dipertanyakan," ujarnya.

Baca juga: Ini makna berkurban bagi Zaskia Adya Mecca

Ia berharap pemerintah serta tokoh agama juga mampu mendorong umat untuk senantiasa bersikap rendah hati dan mulai melakukan segala sesuatunya untuk kemaslahatan umat.

"Karena itu setiap tokoh atau ulama harus selalu mengedepankan pendekatan-pendekatan lunak dalam berdakwah dan membimbing masyarakat karena dengan demikian umat akan mengikutinya dan mentaatinya, memberikan contoh yang baik bagi umatnya baik dalam sikap maupun dalam gagasan gagasan," kata dia.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2022