Kota Bogor (ANTARA) - Menjadi kota yang ditinggali presiden adalah kebanggaan tersendiri bagi kota Bogor, Jawa barat, hingga memberi semangat sekaligus tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah dan aparat setempat dari daerah lain.

Khususnya soal mengatasi citra macet yang melekat puluhan tahun, jangan sampai menghambat aktivitas panglima tertinggi negeri ini.

Di daerah dengan luas wilayahnya hanya 11.850 hektare, terdapat enam kecamatan dan 68 kelurahan, kota Bogor memiliki pusat kota dimana lokasi Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya Bogor berada.

Kedua tempat itu sudah tersohor sejak zaman Presiden Soekarno 1945-1966, hingga sering menjadi tempat singgah untuk beristirahat-nya karena terkenal sejuk, berbeda dengan Ibu Kota Jakarta yang sudah lebih tercemar polusi udara dari kendaraan sejak dulu. Saat itu, belum ada pemisahan antara kota dan kabupaten Bogor.

Ibarat pepatah, 'lain dulu lain sekarang', sejak tahun 1990-an setelah menjadi kota tersendiri, kota Bogor yang sering disebut penyangga Ibu Kota Jakarta yang perkembangannya mulai pesat hingga membuat 'pening' para wali kota karena jumlah kendaraan terus meningkat saat itu, belum diiringi pemahaman yang baik kebanyakan pengendara, pedagang dan masyarakat umum tentang ketertiban berlalu lintas.

Saat ini, rata-rata pengendara sudah tahu wajib memakai helm, membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Izin mengemudi (SIM) bagi pengendara sepeda motor.

Begitupun pengendara mobil wajib membawa surat-surat tersebut ditambah mengenakan sabuk pengaman. Berbagai razia pelanggaran lalu lintas pun dilakukan oleh kepolisian. Polresta Bogor Kota, Kodim 0606 Kota Bogor dan Korem 061 Suryakencana kecipratan tanggung jawab untuk memastikan keamanan terjaga dengan baik.

Namun demikian, di sisi lain, pembangunan infrastruktur jalan dan sarana serta prasarana transportasi lain pun menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Kota Bogor hingga sekarang. Terlebih sejak Presiden Jokowi dan keluarganya memilih kediaman di Istana Bogor sekitar 2015 hingga 2022 ini, Wali Kota Bogor Bima Arya menyambut dengan antusias hal tersebut dengan menyatakan suatu kehormatan baginya mengawal pembangunan daerah tempat tinggal presiden dengan salah satu prioritas-nya adalah 'Bogor Lancar'.

Wali Kota Bogor pasti memahami bahwa berjuang menata transportasi tidak mudah. Berdasar data terbaru Pemerintah Provinsi Jawa Barat, jumlah kendaraan di kota Bogor meningkat hingga 82.306 unit selama sembilan tahun sejak 2013 hingga 2021 dari total 379.724 unit kendaraan menjadi 462.030 unit. Dengan rincian, jumlah kendaraan jenis sedan, SUV dan minibus dengan kepemilikan pribadi, dinas dan umum pada tahun 2013 sebanyak 58.297 unit, pada tahun 2021 telah mencapai 90.003 unit.

Sementara, jumlah bus dan mikro bus dari 690 menjadi 702 unit, truk dan mobil bak terbuka dari 10.855 menjadi 12.250 unit. Sedangkan keberadaan alat berat turun dari dua menjadi satu unit. Peningkatan signifikan terjadi pada jumlah sepeda motor dan matik dari 310.097 menjadi 359.716 unit.

Data itu mengingatkan bahwa potensi penumpukan kendaraan di tengah-tengah kota hingga wilayah perbatasan yang tersebar di enam kecamatan mengancam upaya mengatasi semerawut-nya transportasi.

Munculnya pertumbuhan keberadaan kendaraan bermotor juga dipicu pertumbuhan penduduk yang kini sudah menyentuh 1.052.359 jiwa pada 2021 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan rata-rata aktivitas-nya sebagai pekerja kantoran, jasa, pariwisata dan perdagangan.

Mobilitas masyarakat di Kota Bogor dari dalam maupun luar kota diperkirakan mencapai 200.000 orang per hari dengan berbagai moda transportasi. Akan tetapi, usaha pemerintah Kota Bogor sepertinya menampakkan hasil.

Infrastruktur
Pemkot Bogor mengambil langkah yang tidak berkutat pada perbaikan jalan, penambahan sarana dan prasarana, namun lebih dulu berkonsentrasi pada penataan di lingkungan jalan yakni revitalisasi beberapa pedestrian atau trotoar jalan agar tidak lagi dipakai pedagang kaki lima (PKL) yang puluhan tahun sekurangnya sejak 1990-an itu membuat sumpek dan mengganggu ketertiban lalu lintas.

Kebijakan itu pun mengembalikan hijau-nya pinggir jalan dengan tanaman dan pepohonan. Selain itu, memberi sedikit ruas untuk pesepeda atau goweser.

Nampak dalam beberapa tahun terakhir lalu lintas orang dan kendaraan tidak banyak terhambat PKL, khususnya di jalan raya protokol seperti Jalan Raya Pajajaran, Jalan Otista, Jalan Ir. H. Djuanda yang berada di sekeliling Istana Bogor, Kebun Raya Bogor, Pasar Bogor dan Kawasan Suryakencana.

Ini tidak lepas dari kerja sama kebijakan pemerintah kota dengan Polresta Bogor Kota untuk memberlakukan sistem satu arah (SSA) di jalur tersebut. Bukan hanya Presiden Jokowi berserta rombongan Paspampers pergi pulang lancar, namun masyarakat pun mulai merasakan hilangnya macet berjam-jam di pusat kota itu.

Akan tetapi, sejumlah kendala masih ada, ruas jalan yang mengalami penyempitan di Jembatan Otista tetap membuat lalu lintas kendaraan sering kali tersendat beberapa saat sehingga mau tidak mau Pemkot Bogor harus mengusulkan anggaran pembangunan pelebaran jembatan di jalur protokol Istana Kepresidenan itu sebesar Rp52.5 miliar ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, meskipun sebenarnya tidak masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJMD) lima tahunan, sementara pembebasan lahan telah dilakukan.

Selain itu, suara masyarakat di perbatasan minta diperhatikan. Di ujung pemerintahan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakilnya, Dedie A. Rachim, pembangunan jalan protokol alternatif Regional Ring Road (R3) di kelurahan Katulampa sudah dalam penganggaran untuk pembebasan lahan lanjutan, dan tahun 2023 akan dianggarkan untuk pembangunan.

Kemudian menginisiasi dimulainya rencana pembangunan sepanjang 4,5 kilometer Jalan Ring Road (R2) di kawasan Kecamatan Bogor Utara yang butuh dana sekitar Rp150 miliar untuk pembebasan lahan.

Lalu untuk pembangunan jalan layang RE Martadinata sudah selesai. Namun, pembangunan jalan layang Kebon Pedes saat ini sudah dilakukan detail EED yang dilakukan oleh PUPR dan anggarannya sudah dibicarakan dengan Pemprov Jabar yang sepertinya cukup berat di tahun ini karena perubahan program terdampak COVID-19.

Data BPS menunjukkan panjang jalan hingga 2021 di Kota Bogor yakni 858,971 kilometer dengan rincian telah diaspal sebanyak 89,59 persen atau 769,61 kilometer, jalan beton sebanyak 8,79 persen atau 75,54 kilometer, masih kerikil 0,15 persen atau 1,34 kilometer, masih tanah nol persen dan lain-lain 1,45 persen 12,471 kilometer. Dari ratusan kilometer itu, dalam kondisi baik ada 40,02 persen sepanjang 343,74 kilometer, dalam kondisi sedang 48,19 persen atau 413,91 kilometer, rusak 2,14 persen 18,44 kilometer dan rusak ringan 9,65 persen atau 82,87 kilometer.

Pengelolaan
Pemerintah Kota Bogor terus berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan swasta untuk mulai mengelola sarana dan prasarana angkutan kota untuk memecah konsentrasi kendaraan dan menekan jumlah angkutan umum kota (angkot) yang dianggap sudah terlalu membeludak dengan kondisi kendaraan banyak tidak lagi laik jalan.

Sejak tahun 2021, pemerintah kota menyambut baik layanan "Biskita Trans Pakuan" yang disubsidi oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Kehadiran "Biskita Trans Pakuan" pun menjadikan momentum bagi pemerintah Kota Bogor untuk menjalan program konversi angkot 3:1 dengan bus tersebut.

Hingga kini telah ada 147 angkot yang dikonversi menjadi 49 bus Biskita Trans Pakuan di empat koridor yang menjangkau pusat kota hingga sejumlah perbatasan kota. Masih ada dua koridor Biskita Trans Pakuan lagi yang belum beroperasi. Diharapkan pada tahun 2024, sebanyak 3.432 angkot tidak lagi beroperasi di tengah kota.

Di samping itu, pekan lalu Pemkot Bogor juga telah mencabut 1.010 izin operasional angkot yang sudah berumur 20 tahun dan tidak meremajakan kendaraan. Rencananya, selain konversi, Pemerintah Kota Bogor pun akan memberikan konvensasi untuk operasional angkot di bawah 20 tahun, namun tidak lagi diperkenankan untuk melalui pusat kota.

Tidak hanya angkot, pengelolaan Terminal Baranangsiang yang telah diambil alih oleh Kementerian Perhubungan karena masuk kategori terminal tipe A yang operasional-nya dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) terus tengah didorong pemerintah Kota Bogor untuk ada revitalisasi agar Angkutan Antarkota Dalam Provinsi (AKDP) lebih tertata.

BPTJ pun dikabarkan sedang mengatur Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk mengelola operasional Terminal Baranangsiang.

Kota Bogor juga menunggu operasional LRT dari Jakarta, Cibubur hingga Bogor yang masuk ke dalam Kepres Nomor 55 tahun 2018 tentang rencana induk transportasi Jabodetabek. PT Adhi Karya selaku pengembang LRT,memperoleh pendanaan melalui kredit sindikasi perbankan senilai Rp2,39 triliun untuk pembangunan LRT Jabodebek, dengan pembiayaan yang terserap mencapai Rp950 miliar.

Sindikasi perbankan tersebut berasal dari Bank Mandiri dengan persentase pendanaan 32,26 persen, BNI 32,26 persen, Bank Pembangunan Daerah Papua 20,87 persen, dan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara 14,61 persen.

Adapun total keseluruhan pembiayaan untuk membangun seluruh fasilitas LRT Jabodebek nantinya sebesar Rp4,2 triliun dengan tambahan pendanaan lain, yakni melalui penyertaan modal negara (PNM) senilai Rp1,3 triliun.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor menilai Pemkot Bogor perlu kembali menganggarkan pembangunan ruas jalan untuk mempermudah mobilitas masyarakat. Sudah terlalu lama, sejak 2015 konsentrasi anggaran tidak menyentuh kepada ruas jalan.

Padahal, Pemerintah Pusat bersama DPR-RI telah menerbitkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2022 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 38 tahun 2OO4 tentang Jalan.

Dimana pada ayat 1 pasal 32 Penyusunan program Jalan baru ditujukan untuk mempercepat mobilitas barang dan/atau orang, menciptakan sistem logistik yang efisien dan membuka akses yang menghubungkan ke seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar.

Dewan berpandangan hal ini, adalah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakilnya Dedie Rachim sebelum purna tugas pada tahun 2023 untuk masalah penataan transportasi.

Bersiap ditinggal Ibu Kota Negara
Desember 2021, saat bincang akhir tahun, Wali Kota Bogor Bima Arya didampingi Dedie A. Rachim mengemukakan pentingnya bersiap menjadi kota jasa dan kota pariwisata yang tidak lagi banyak mendapat order dari pemerintahan seperti sekarang ini.

Okupansi hotel di kota hujan ini, rata-rata bersumber dari kegiatan kementerian dan lembaga. Kota Bogor perlu melatih diri untuk menjadi tuan rumah berbagai kegiatan yang "digaet" dari berbagai daerah bahkan mancanegara dengan sebaran hingga ke perbatasan wilayah.

Akses transportasi umum, baik Biskita Trans Pakuan maupun LRT yang mudah dijangkau dan melalui berbagai kampung-kampung tematik diharapkan akan menumbuhkan pemerataan ekonomi dan mengurangi penumpukan kendaraan di tengah kota.

Dengan begitu, Kota Hujan bukan hanya tersohor karena Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor saja ke depan serta kekhawatiran akan kesemerawutan kota akibat transportasi kurang tertib.

Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2022