Jakarta (ANTARA) - Pendiri Pridem Institute Priyo Budi Santoso mengapresiasi orasi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang memberikan peringatan terkait bahayanya perpecahan bangsa menjelang Pilpres 2024.
“Saya menyampaikan salut dan hormat atas pidato orasi Abangda Surya Paloh yang hebat dan inspiratif tentang warning bahayanya perpecahan bangsa,” ucap Priyo dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Baca juga: Partai NasDem harapkan tak ada perpecahan di masyarakat pada pemilu
Selain itu, ia juga berharap agar para begawan politik mencegah terulangnya disintegrasi cebong-kadrun di Pilpres 2024.
Priyo mengatakan bangsa ini memiliki pekerjaan rumah (PR) besar dalam menghadapi potensi perpecahan bangsa dan gesekan sosial. Dalam kondisi bangsa seperti ini, tidak heran jika publik tersentak atas pidato orasi tokoh nasional Surya Paloh saat menerima gelar kehormatan Doktor (HC) di Universitas Brawijaya Malang.
Surya Paloh, menurutnya, sedang membangunkan pikiran berpolitik yang selama ini tertidur dari iklim politik ‘ora mikir’ dan ‘telat mikir’ yang abai terhadap bahaya perpecahan.
Menurut Priyo, orasi tingkat begawan politik ini disampaikan pada waktu dan momentum yang tepat, yaitu saat mau memasuki tahun politik pilpres dan pileg.
Fenomena Cebong vs Kadrun, tutur Priyo, terbukti menjadi pelatuk yang mempertajam polarisasi masyarakat. Pertengkaran (sektarian) yang terus dipelihara adalah diskursus yang tidak mencerdaskan, bahkan makin menambah luka sosial yang destruktif.
"Ini harus segera disudahi, segera tutup buku dan tamat riwayat sebelum memasuki tahun politik 2024. Kesengajaan melanggengkan Buzzer-Cebong-Kadrun sama saja membiarkan api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar tatanan sosial bangsa,” kata politikus senior ini.
Politik identitas, lanjut Priyo, sebenarnya lumrah dalam politik dan demokrasi. Identitas merupakan ciri khas perjuangan suatu kelompok politik.
"Sejarah perpolitikan kita (pemilu 1955) bahkan pernah mengalami ragam politik identitas yang sangat berwarna,” kata Priyo.
Politik identitas nasionalis, komunis, agamis (partai Islam, Kristen, Katolik) tampil mengemuka. Namun, lanjut dia, Pemilu 1955 justru menjadi pemilu yang paling orisinal dan demokratis.
"Kuncinya ternyata para tokoh politik zaman itu berdinamika dalam tradisi dan koridor moralitas politik yang wisdom,” kata Priyo.
Baca juga: Surya Paloh: Belum ada pembicaraan dengan PDIP soal koalisi 2024
Baca juga: Surya Paloh beberkan kriteria calon presiden ideal
Baca juga: Surya Paloh ajak elemen bangsa meneguhkan politik kebangsaan
“Saya menyampaikan salut dan hormat atas pidato orasi Abangda Surya Paloh yang hebat dan inspiratif tentang warning bahayanya perpecahan bangsa,” ucap Priyo dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Baca juga: Partai NasDem harapkan tak ada perpecahan di masyarakat pada pemilu
Selain itu, ia juga berharap agar para begawan politik mencegah terulangnya disintegrasi cebong-kadrun di Pilpres 2024.
Priyo mengatakan bangsa ini memiliki pekerjaan rumah (PR) besar dalam menghadapi potensi perpecahan bangsa dan gesekan sosial. Dalam kondisi bangsa seperti ini, tidak heran jika publik tersentak atas pidato orasi tokoh nasional Surya Paloh saat menerima gelar kehormatan Doktor (HC) di Universitas Brawijaya Malang.
Surya Paloh, menurutnya, sedang membangunkan pikiran berpolitik yang selama ini tertidur dari iklim politik ‘ora mikir’ dan ‘telat mikir’ yang abai terhadap bahaya perpecahan.
Menurut Priyo, orasi tingkat begawan politik ini disampaikan pada waktu dan momentum yang tepat, yaitu saat mau memasuki tahun politik pilpres dan pileg.
Fenomena Cebong vs Kadrun, tutur Priyo, terbukti menjadi pelatuk yang mempertajam polarisasi masyarakat. Pertengkaran (sektarian) yang terus dipelihara adalah diskursus yang tidak mencerdaskan, bahkan makin menambah luka sosial yang destruktif.
"Ini harus segera disudahi, segera tutup buku dan tamat riwayat sebelum memasuki tahun politik 2024. Kesengajaan melanggengkan Buzzer-Cebong-Kadrun sama saja membiarkan api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar tatanan sosial bangsa,” kata politikus senior ini.
Politik identitas, lanjut Priyo, sebenarnya lumrah dalam politik dan demokrasi. Identitas merupakan ciri khas perjuangan suatu kelompok politik.
"Sejarah perpolitikan kita (pemilu 1955) bahkan pernah mengalami ragam politik identitas yang sangat berwarna,” kata Priyo.
Politik identitas nasionalis, komunis, agamis (partai Islam, Kristen, Katolik) tampil mengemuka. Namun, lanjut dia, Pemilu 1955 justru menjadi pemilu yang paling orisinal dan demokratis.
"Kuncinya ternyata para tokoh politik zaman itu berdinamika dalam tradisi dan koridor moralitas politik yang wisdom,” kata Priyo.
Baca juga: Surya Paloh: Belum ada pembicaraan dengan PDIP soal koalisi 2024
Baca juga: Surya Paloh beberkan kriteria calon presiden ideal
Baca juga: Surya Paloh ajak elemen bangsa meneguhkan politik kebangsaan
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment