Yogyakarta (ANTARA) - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyebutkan rencana penyesuaian besaran biaya haji tidak dapat dihindari seiring naiknya biaya operasional akibat kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi.

"Jadi bukan karena pengelolaan dana hajinya tidak benar tapi itu realitas di lapangan yang tidak bisa kita hindari karena biaya-biaya semuanya meningkat," kata anggota Badan Pelaksana BPKH Amri Yusuf di sela acara "Sosialisasi BPIH 1443 H dan Keuangan Haji" di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Amri, berdasarkan situasi terakhir biaya haji semakin meningkat lantaran Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan khusus terkait biaya pelayanan "masyair" atau biaya prosesi ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Biaya tersebut meningkat dari semula sebesar 1.531 riyal per jamaah menjadi 5.656,87 riyal atau setara Rp21,98 juta per jamaah.

Baca juga: Wujud transformasi digital, BPKH Luncurkan Aplikasi Siskehat GEN 2

Baca juga: BPKH gelar sosialisasi antikorupsi jaga akuntabilitas keuangan haji


"Supaya masyarakat paham dan kemudian nanti kalau pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan penyesuaian terhadap setoran awal (BPIH) dan setoran lunas, masyarakat tidak kaget," kata dia.

Selain persoalan biaya operasional yang meningkat, lanjut Amri, subsidi biaya haji yang bersumber dari nilai manfaat BPKH nilainya selama ini tidak proporsional karena jauh lebih tinggi dari beban biaya ibadah haji yang harus dibayarkan masing-masing jamaah.

Sebagai perbandingan, pada 2022 besaran BPIH sejatinya mencapai Rp97,9 juta per orang, sementara yang harus dibayar atau dilunasi jamaah hanya Rp39,89 juta.

Dengan demikian, besaran subsidi untuk biaya haji yang diambilkan dari nilai manfaat pengelolaan keuangan haji oleh BPKH mencapai Rp58,03 juta atau 59 persen untuk satu orang.

"Jadi yang dibayarkan jamaah Rp39 juta itu sebetulnya hanya cukup untuk biaya penerbangan sebesar 30,2 persen, biaya hidup 5,8 persen, sebagian akomodasi di Makkah dan Madinah 3,5 persen, dan visa jamaah 1,1 persen," kata dia.

Besaran subsidi yang tidak proporsional tersebut, menurut dia, dapat mengancam keberlanjutan dana haji Indonesia di masa mendatang.

Karena itu, menurut Amri, saat ini pemerintah bersama DPR RI tengah melakukan pembahasan untuk merumuskan formulasi biaya haji dengan persentase subsidi yang tepat.

Agar biaya tidak tinggi, menurut dia, pemerintah juga mempertimbangkan opsi untuk melakukan efisiensi, misalnya dengan mengurangi kebutuhan yang bisa ditekan.

"Kami berharap untuk tahap awal mungkin persentasenya (subsidi dan biaya haji) bisa 50:50 kalau sekarang kan (perbandingannya) sudah 65:35 nah ini akan mengancam keberlanjutan dana haji kita," kata dia.

Menurut Amri Yusuf, penyesuaian biaya haji juga patut dipertimbangkan guna mengantisipasi penambahan kuota jamaah haji Indonesia oleh Pemerintah Arab Saudi.

Pasalnya, berdasarkan informasi yang ia terima Pemerintah Arab Saudi mempertimbangkan untuk menambah kuota haji Indonesia seiring perluasan Masjidil Haram.

"Pemerintah Arab Saudi kemarin sudah menyampaikan ada indikasi bahwa Indonesia akan ditambah kuotanya. Ini harus kita antisipasi agar ini tidak mengganggu keberlanjutan dana haji kita," kata dia.*

Baca juga: BPKH serahkan bantuan senilai Rp2,2 miliar untuk korban gempa Cianjur

Baca juga: Menag minta pimpinan baru BPKH perkuat koordinasi

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2022