Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie meluncurkan dua buku mengenai hubungan negara dan agama serta kekuasaan yang masing-masingnya berjudul Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme; serta Oligarki dan Totalitarianisme Baru.
"Buku berjudul Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme (mengenai) pola hubungan antara negara dengan politik dan agama. Saya juga jelaskan bagaimana usaha Indonesia untuk merumuskan sendiri hubungan antara agama dan bangsa," ujar Jimly dalam kegiatan peluncuran dua bukunya itu di Kantor Komisi Yudisial RI, Jakarta, Senin.
Sementara itu, lanjut dia, dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru, ia menyoroti perihal fenomena kekuasaan masa kini yang terpusat pada pihak-pihak tertentu.
"Saya menggambarkan bahwa kekuasaan itu filosofinya harus dicegah, jangan dipegang di satu tangan. Intinya, kekuasaan itu harus check and balance," ucap Jimly.
Peluncuran buku tersebut ditandai secara simbolis dengan penekanan layar oleh Jimly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, dan Ketua Komisi Yudisial RI Mukti Fajar Nur Dewata.
Ia lalu berharap kedua buku yang merupakan karyanya ke-74 dan ke-75 tersebut dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama mampu membuka pandangan mereka mengenai fenomena politik dinasti dan kekuasaan yang belum benar-benar memisahkan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif, serta media massa.
Terkait dengan pembuatan karya tersebut, Jimly mengatakan penulisan kedua buku tersebut membutuhkan waktu sekitar satu tahun.
Dalam kesempatan yang sama, saat menyampaikan ulasan singkat mengenai dua buku tersebut, Yasonna menilai karya Jimly Asshiddiqie mencerminkan keberanian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam menyoroti fenomena kekuasaan dan hubungan antara agama dan negara yang jarang dibicarakan oleh banyak pihak ataupun penulis.
"Saya mengucapkan terima kasih pada Prof. Jimly yang telah berani. Banyak orang menulis, tapi suam-suam kuku," ujar Yasonna.
Ia lalu menyarankan agar dua buku karya Jimly tersebut didigitalisasi hingga mampu menjangkau pasar dunia dan generasi penerus bangsa, terutama generasi milenial yang dekat dengan dunia digital agar mereka tetap dapat membaca dua buku itu.
Sementara itu, menurut Bambang Soesatyo, buku karya Jimly dapat menjadi wadah bagi pembaca untuk merenungkan perkembangan demokrasi di Indonesia telah atau belum sesuai dengan makna demokrasi yang sebenarnya.
Berikutnya, Mukti Fajar menilai penulisan dari dua buku memiliki alur narasi yang disusun secara sistematis yang dilengkapi dengan data dan fakta serta kebaruan.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie dorong masyarakat sipil topang pengawasan pemilu
Baca juga: Jimly Asshiddiqie yakin tidak ada penundaan Pemilu 2024
Baca juga: Jimly Asshiddiqie sebut DKPP terbukti jaga pemilu berintegritas
"Buku berjudul Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme (mengenai) pola hubungan antara negara dengan politik dan agama. Saya juga jelaskan bagaimana usaha Indonesia untuk merumuskan sendiri hubungan antara agama dan bangsa," ujar Jimly dalam kegiatan peluncuran dua bukunya itu di Kantor Komisi Yudisial RI, Jakarta, Senin.
Sementara itu, lanjut dia, dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru, ia menyoroti perihal fenomena kekuasaan masa kini yang terpusat pada pihak-pihak tertentu.
"Saya menggambarkan bahwa kekuasaan itu filosofinya harus dicegah, jangan dipegang di satu tangan. Intinya, kekuasaan itu harus check and balance," ucap Jimly.
Peluncuran buku tersebut ditandai secara simbolis dengan penekanan layar oleh Jimly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, dan Ketua Komisi Yudisial RI Mukti Fajar Nur Dewata.
Ia lalu berharap kedua buku yang merupakan karyanya ke-74 dan ke-75 tersebut dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama mampu membuka pandangan mereka mengenai fenomena politik dinasti dan kekuasaan yang belum benar-benar memisahkan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif, serta media massa.
Terkait dengan pembuatan karya tersebut, Jimly mengatakan penulisan kedua buku tersebut membutuhkan waktu sekitar satu tahun.
Dalam kesempatan yang sama, saat menyampaikan ulasan singkat mengenai dua buku tersebut, Yasonna menilai karya Jimly Asshiddiqie mencerminkan keberanian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam menyoroti fenomena kekuasaan dan hubungan antara agama dan negara yang jarang dibicarakan oleh banyak pihak ataupun penulis.
"Saya mengucapkan terima kasih pada Prof. Jimly yang telah berani. Banyak orang menulis, tapi suam-suam kuku," ujar Yasonna.
Ia lalu menyarankan agar dua buku karya Jimly tersebut didigitalisasi hingga mampu menjangkau pasar dunia dan generasi penerus bangsa, terutama generasi milenial yang dekat dengan dunia digital agar mereka tetap dapat membaca dua buku itu.
Sementara itu, menurut Bambang Soesatyo, buku karya Jimly dapat menjadi wadah bagi pembaca untuk merenungkan perkembangan demokrasi di Indonesia telah atau belum sesuai dengan makna demokrasi yang sebenarnya.
Berikutnya, Mukti Fajar menilai penulisan dari dua buku memiliki alur narasi yang disusun secara sistematis yang dilengkapi dengan data dan fakta serta kebaruan.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie dorong masyarakat sipil topang pengawasan pemilu
Baca juga: Jimly Asshiddiqie yakin tidak ada penundaan Pemilu 2024
Baca juga: Jimly Asshiddiqie sebut DKPP terbukti jaga pemilu berintegritas
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Nurul Hayat
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment