Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar menilai Pemerintah perlu membentuk aliansi berbasis produsen komoditas usai kalah melawan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait gugatan larangan ekspor biji nikel.
"Model persekutuan dagang berbasis produsen komoditas, seperti OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi) itu, mendesak untuk kita lakukan. Semacam aliansi antarnegara berbasis komoditas, misalnya untuk batu bara. Kita bisa membangun persekutuan dengan Afrika Selatan, Rusia, Australia sebagai sesama produsen. Untuk nikel, bisa dengan Kaledonia, Filipina," kata Muhaimin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurut dia, aliansi tersebut dapat berperan dalam menjaga stabilitas harga dan menjamin pasokan komoditas, bahkan membuat para negara anggota lebih mandiri dalam menentukan kuantitas ekspor.
Terkait kekalahan Indonesia dalam gugatan larangan ekspor biji nikel di WTO, Muhaimin berpendapat hal tersebut dapat menguntungkan negara-negara lain.
Baca juga: Bahlil tegaskan hilirisasi jalan terus meski diintervensi WTO
"Pembatasan atau pelarangan ekspor bahan mentah merupakan policy (kebijakan) nasional kita untuk mendorong kepentingan hilirisasi industri dalam negeri. Namun, pemaksaan ekspor ini malah akan menguntungkan negara-negara lain, khususnya negara barat," jelasnya.
Oleh karena itu, dia menilai Indonesia perlu membentuk aliansi berbasis produsen komoditas agar kepentingan hilirisasi industri dalam negeri tetap terjaga.
Muhaimin menegaskan Indonesia merupakan negara produsen nikel dan sawit terbesar dunia, penghasil timah nomor dua terbesar di dunia, penghasil batu bara nomor empat terbesar di dunia, pemilik cadangan gas terbesar se-Asia Pasifik, serta produsen karet nomor enam terbesar di dunia.
"Kalau kita tidak bersekutu dengan sesama produsen, kita akan terus jadi sasaran pemaksaan dan blackmail dari negara-negara barat. Lah, wong barangnya punya kita kok mereka yang maksa-maksa?" ujar Muhaimin.
Baca juga: Jokowi sebut ada ekspor paksa setelah kebijakan nikel digugat di WTO
Baca juga: Jokowi pastikan Indonesia banding atas kekalahan sengketa nikel di WTO
"Model persekutuan dagang berbasis produsen komoditas, seperti OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi) itu, mendesak untuk kita lakukan. Semacam aliansi antarnegara berbasis komoditas, misalnya untuk batu bara. Kita bisa membangun persekutuan dengan Afrika Selatan, Rusia, Australia sebagai sesama produsen. Untuk nikel, bisa dengan Kaledonia, Filipina," kata Muhaimin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurut dia, aliansi tersebut dapat berperan dalam menjaga stabilitas harga dan menjamin pasokan komoditas, bahkan membuat para negara anggota lebih mandiri dalam menentukan kuantitas ekspor.
Terkait kekalahan Indonesia dalam gugatan larangan ekspor biji nikel di WTO, Muhaimin berpendapat hal tersebut dapat menguntungkan negara-negara lain.
Baca juga: Bahlil tegaskan hilirisasi jalan terus meski diintervensi WTO
"Pembatasan atau pelarangan ekspor bahan mentah merupakan policy (kebijakan) nasional kita untuk mendorong kepentingan hilirisasi industri dalam negeri. Namun, pemaksaan ekspor ini malah akan menguntungkan negara-negara lain, khususnya negara barat," jelasnya.
Oleh karena itu, dia menilai Indonesia perlu membentuk aliansi berbasis produsen komoditas agar kepentingan hilirisasi industri dalam negeri tetap terjaga.
Muhaimin menegaskan Indonesia merupakan negara produsen nikel dan sawit terbesar dunia, penghasil timah nomor dua terbesar di dunia, penghasil batu bara nomor empat terbesar di dunia, pemilik cadangan gas terbesar se-Asia Pasifik, serta produsen karet nomor enam terbesar di dunia.
"Kalau kita tidak bersekutu dengan sesama produsen, kita akan terus jadi sasaran pemaksaan dan blackmail dari negara-negara barat. Lah, wong barangnya punya kita kok mereka yang maksa-maksa?" ujar Muhaimin.
Baca juga: Jokowi sebut ada ekspor paksa setelah kebijakan nikel digugat di WTO
Baca juga: Jokowi pastikan Indonesia banding atas kekalahan sengketa nikel di WTO
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment