Jakarta (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi memuji langkah berani Presiden Jokowi untuk menghentikan larangan ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023.
Menurut Fahmy, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara sudah mengamanahkan untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2024.
"Namun, adanya penentangan dahsyat dari perusahaan tambang, utamanya dari Freeport yang disertai ancaman diadukan ke WTO, Pemerintahan Presiden SBY mengundur berlakunya larangan ekspor tersebut. Baru sekarang Presiden Jokowi berani melarang ekspor bijih nikel dan bauksit," katanya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu. Fahmy menyebut tujuan Presiden Jokowi melarang ekspor bauksit adalah meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Di luar ketiga tujuan ini, pelarangan ekspor tersebut sesungguhnya untuk mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah pasal 33 UUD 1945. "Jangka pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp21 triliun per tahun. Namun, jangka panjang, seiring dengan meningkatnya nilai tambah, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp62 triliun per tahun," ungkapnya.
Fahmy mengakui tidak mudah memperoleh tambahan pendapatan sebesar itu melalui larangan ekspor bauksit. Ia menilai masih ada berbagai tantangan dan penentangan. Salah satu tantangan itu adalah kapasitas smelter masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit.
Namun, larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh konsorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter. "Untuk itu, pemerintah harus memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter," imbuhnya.
Sementara itu, penentangan dari World Trade Organization (WTO) terkait larangan bijih nikel juga dinilai harus dilawan meskipun ujung-ujungnya akan kalah. Fahmy mengatakan setidaknya proses persidangan gugatan WTO sampai keputusan final akan membutuhkan waktu sekitar empat tahun. Maka, selama empat tahun itu, menurutnya, larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ekosistem industri bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan, berupa alumina sebagai bahan baku industri mesin dan semikonduktor.
"Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit. Maka perlu 'maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara'," ujar Fahmy. Baca juga: Presiden: Jangan ragu dengan kebijakan penghentian ekspor biji bauksit
Baca juga: Airlangga menjelaskan kesiapan industri Tanah Air olah bijih bauksit
Menurut Fahmy, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara sudah mengamanahkan untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2024.
"Namun, adanya penentangan dahsyat dari perusahaan tambang, utamanya dari Freeport yang disertai ancaman diadukan ke WTO, Pemerintahan Presiden SBY mengundur berlakunya larangan ekspor tersebut. Baru sekarang Presiden Jokowi berani melarang ekspor bijih nikel dan bauksit," katanya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu. Fahmy menyebut tujuan Presiden Jokowi melarang ekspor bauksit adalah meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Di luar ketiga tujuan ini, pelarangan ekspor tersebut sesungguhnya untuk mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah pasal 33 UUD 1945. "Jangka pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp21 triliun per tahun. Namun, jangka panjang, seiring dengan meningkatnya nilai tambah, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp62 triliun per tahun," ungkapnya.
Fahmy mengakui tidak mudah memperoleh tambahan pendapatan sebesar itu melalui larangan ekspor bauksit. Ia menilai masih ada berbagai tantangan dan penentangan. Salah satu tantangan itu adalah kapasitas smelter masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit.
Namun, larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh konsorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter. "Untuk itu, pemerintah harus memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter," imbuhnya.
Sementara itu, penentangan dari World Trade Organization (WTO) terkait larangan bijih nikel juga dinilai harus dilawan meskipun ujung-ujungnya akan kalah. Fahmy mengatakan setidaknya proses persidangan gugatan WTO sampai keputusan final akan membutuhkan waktu sekitar empat tahun. Maka, selama empat tahun itu, menurutnya, larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ekosistem industri bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan, berupa alumina sebagai bahan baku industri mesin dan semikonduktor.
"Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit. Maka perlu 'maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara'," ujar Fahmy. Baca juga: Presiden: Jangan ragu dengan kebijakan penghentian ekspor biji bauksit
Baca juga: Airlangga menjelaskan kesiapan industri Tanah Air olah bijih bauksit
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment