Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali menyebut aksi bom bunuh diri yang terjadi di Kota Bandung sejatinya telah menyalahi ajaran agama dan mengabaikan martabat kemanusiaan.
"Ini menjadi pertanda ancaman bagi kita semua, karena ada di antara kita yang punya pemikiran cara pandang ekstrem mengabaikan martabat kemanusiaan. Kita tahu dalam agama manapun pasti akan mengajarkan memanusiakan manusia," ujar Nizar dalam media gathering di Bogor, Sabtu.
Ia mengaku prihatin dengan ulah sebagian orang maupun kelompok yang masih menggunakan cara-cara kekerasan seperti halnya bom bunuh diri untuk menyampaikan perbedaan pandangannya.
Bagi Nizar, cara tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama mana pun yang selalu mengutamakan penghormatan, kesantunan, dan keselamatan. Agama juga mengajarkan umatnya untuk melakukan dialog atau musyawarah jika menemui persoalan yang mengalami kebuntuan.
Baca juga: Karangan bunga dukungan ke polisi mulai membanjiri Polsek Astanaanyar
Baca juga: FKPT Jatim beri pernyataan sikap terkait bom bunuh diri di Bandung
Menurut Nizar, cara pandang ekstrem yang dipahami pelaku ataupun sebagian kelompok perlu diluruskan lewat moderasi beragama. Konsepsi tersebut perlu digaungkan secara masif oleh seluruh masyarakat, guna menciptakan cara pandang yang moderat.
"Ini cara pandang yang menurut saya perlu diluruskan salah satunya yang dengan moderasi beragama. Ini sebuah gerakan yang masif Kementerian Agama untuk mencerdaskan sehingga nanti cara pandang dan sikap masyarakat bisa moderat," kata dia.
Nizar menyatakan ada empat indikator moderasi beragama. Pertama komitmen kebangsaan. Menurutnya, jika seseorang atau suatu kelompok yang ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi lain, termasuk orang yak tak moderat.
"Apabila ada orang cinta tanah airnya minim, tentu ini masuk dalam tidak moderat," kata dia.
Kedua, toleransi. Setiap orang harus bisa menghargai segala pandangan tanpa memaksakan kehendaknya jika terdapat perbedaan. Perbedaan yang muncul justru harus dipecahkan lewat jalan musyawarah bukan kekerasan.
Ketiga, antikekerasan. Menurutnya, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Agama mengajarkan nilai cinta yang welas asih.
Keempat, adaptif terhadap budaya lokal. Keragaman suku, budaya, agama, hingga bahasa bangsa Indonesia merupakan ciri khas yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Oleh karena itu dengan perbedaan ini jangan sampai menjadi sebab masyarakat terpecah.
"Ada orang-orang yang tidak ramah terhadap tradisi lokal, maka dia masuk ke dalam konteks radikal," katanya.*
Baca juga: Pemkot tingkatkan komunikasi antarumat beragama guna cegah radikalisme
Baca juga: BNPT tingkatkan pengawasan terhadap eks narapidana terorisme
"Ini menjadi pertanda ancaman bagi kita semua, karena ada di antara kita yang punya pemikiran cara pandang ekstrem mengabaikan martabat kemanusiaan. Kita tahu dalam agama manapun pasti akan mengajarkan memanusiakan manusia," ujar Nizar dalam media gathering di Bogor, Sabtu.
Ia mengaku prihatin dengan ulah sebagian orang maupun kelompok yang masih menggunakan cara-cara kekerasan seperti halnya bom bunuh diri untuk menyampaikan perbedaan pandangannya.
Bagi Nizar, cara tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama mana pun yang selalu mengutamakan penghormatan, kesantunan, dan keselamatan. Agama juga mengajarkan umatnya untuk melakukan dialog atau musyawarah jika menemui persoalan yang mengalami kebuntuan.
Baca juga: Karangan bunga dukungan ke polisi mulai membanjiri Polsek Astanaanyar
Baca juga: FKPT Jatim beri pernyataan sikap terkait bom bunuh diri di Bandung
Menurut Nizar, cara pandang ekstrem yang dipahami pelaku ataupun sebagian kelompok perlu diluruskan lewat moderasi beragama. Konsepsi tersebut perlu digaungkan secara masif oleh seluruh masyarakat, guna menciptakan cara pandang yang moderat.
"Ini cara pandang yang menurut saya perlu diluruskan salah satunya yang dengan moderasi beragama. Ini sebuah gerakan yang masif Kementerian Agama untuk mencerdaskan sehingga nanti cara pandang dan sikap masyarakat bisa moderat," kata dia.
Nizar menyatakan ada empat indikator moderasi beragama. Pertama komitmen kebangsaan. Menurutnya, jika seseorang atau suatu kelompok yang ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi lain, termasuk orang yak tak moderat.
"Apabila ada orang cinta tanah airnya minim, tentu ini masuk dalam tidak moderat," kata dia.
Kedua, toleransi. Setiap orang harus bisa menghargai segala pandangan tanpa memaksakan kehendaknya jika terdapat perbedaan. Perbedaan yang muncul justru harus dipecahkan lewat jalan musyawarah bukan kekerasan.
Ketiga, antikekerasan. Menurutnya, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Agama mengajarkan nilai cinta yang welas asih.
Keempat, adaptif terhadap budaya lokal. Keragaman suku, budaya, agama, hingga bahasa bangsa Indonesia merupakan ciri khas yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Oleh karena itu dengan perbedaan ini jangan sampai menjadi sebab masyarakat terpecah.
"Ada orang-orang yang tidak ramah terhadap tradisi lokal, maka dia masuk ke dalam konteks radikal," katanya.*
Baca juga: Pemkot tingkatkan komunikasi antarumat beragama guna cegah radikalisme
Baca juga: BNPT tingkatkan pengawasan terhadap eks narapidana terorisme
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2022
0 comments:
Post a Comment