Jakarta (ANTARA) - Mei seperti bulan yang didedikasikan khusus untuk peringatan reformasi di Indonesia, sekaligus mengingatkan seluruh elemen masyarakat di Tanah Air tentang sejauh mana cita-cita reformasi itu telah berhasil diwujudkan di bumi pertiwi ini.

Dan tanpa terasa, reformasi pun telah berjalan selama 25 tahun di Indonesia yang ditandai sejak diruntuhkannya rezim Orde Baru oleh para mahasiswa dan segenap rakyat Indonesia pada 12 Mei 1998.

Ketika itu terjadi tragedi tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti saat mereka berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Sebanyak empat orang mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie meninggal dunia terkena tembakan timah panas.

Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti yang menjadi titik balik bagi gerakan reformasi di Tanah Air.

Selain peristiwa penembakan di Kampus Trisakti, kebangkrutan rezim Orde Baru makin nyata setelah Sekretaris Jenderal Aldera, Pius Lustrilanang membongkar penculikan dan kesaksiannya membuka kotak pandora politik yang sempat terjadi di Indonesia.

Puncaknya, Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun pun meletakkan jabatannya sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Saat itu Soeharto mengumumkan dirinya mundur dari jabatan presiden dan kemudian diganti oleh BI Habibie.

Sejak Itu Indonesia masuk ke era baru dalam bernegara menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Di alam reformasi yang demokratis itulah, harapan segenap rakyat Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik mencuat begitu besarnya.

Pemerataan ekonomi, terbukanya keran informasi, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, kepastian hukum menjadi segelintir harapan yang diidam-idamkan masyarakat di Era Reformasi, bahkan hingga saat ini.


Perlu Dituntaskan

Selama 25 tahun sejak reformasi digaungkan di Tanah Air, berbagai catatan dan pekerjaan rumah besar masih perlu untuk dituntaskan bangsa ini.

Cita-cita reformasi nyatanya harus terus dikawal agar negeri ini terbebas dari oknum-oknum yang mencari kesempatan dan mencoba membajak terwujudnya cita-cita reformasi di Indonesia.

Salah satu agenda reformasi, yakni pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih terus diperjuangkan sampai saat ini agar tuntas. Perilaku anti korupsi harus terus ditradisikan agar tidak menjadi momok yang menakutkan di era reformasi dan terbangun generasi yang bermental sehat.

Dalam 25 tahun terakhir, semangat reformasi jangan sampai berubah menjadi kleptokrasi alias kekuasaan yang diisi oleh praktik korupsi hingga oligarki alias kekuasaan oleh sekelompok orang.

Upaya pelemahan terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak boleh terjadi sehingga kasus Cicak Vs Buaya, kriminalisasi pimpinan KPK hingga revisi UU KPK yang dituding melemahkan lembaga antirasuah itu tak perlu lagi terjadi dan menjadi pelajaran besar bagi bangsa ini.

Hal lain yang menjadi catatan dan perhatian di era reformasi ini adalah urgensi disahkannya RUU Perampasan Aset.

RUU ini masih berkorelasi dengan upaya memberantas perilaku korupsi di lingkup birokrasi dan pemerintahan pascareformasi.
Sampai saat ini RUU ini masih dalam pembahasan parlemen, sejak diajukan oleh pemerintah tiga tahun lalu.

RUU ini diharapkan ke depan akan menjadi senjata ampuh untuk memberantas praktik korupsi di negeri ini, sebab jika RUU Perampasan Aset disahkan, maka aparat penegak hukum akan lebih mudah dalam melakukan penindakan.

Selain itu, pengembalian uang negara yang diambil oleh oknum atau terdakwa kasus korupsi bisa dilakukan dengan lebih cepat, sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin mudah diwujudkan.


Toleransi Beragama

Hal lain yang masih menjadi cacatan pada 25 tahun reformasi ini adalah meningkatkan tradisi toleransi beragama di Indonesia.

Keberagaman etnis, suku, budaya, dan agama di Indonesia sejatinya menjadi kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa ini.

Namun, di era reformasi ini harus terus diwaspadai ketika ada indikasi tumbuhnya kelompok-kelompok intoleran yang berupaya menghapus keberagaman tersebut.

Hal ini terlihat dengan maraknya sejumlah kasus, bahkan kebijakan di berbagai daerah yang seakan menggerus nilai-nilai budaya yang telah tumbuh selama ratusan tahun.

Belum lagi tindakan persekusi terhadap kelompok yang memiliki perbedaan penafsiran dalam keagamaan.

Belum hilang ingatan mengenai peristiwa berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Februari 2011 yang menimpa jemaat Ahmadiyah.
Tak hanya di Cikeusik, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah juga terjadi di sejumlah daerah, seperti Lombok, Sukabumi hingga Depok.

Belum lagi pengusiran dan penyerangan terhadap penganut Islam Syiah di Kabupaten Sampang, Madura, pada Agustus 2012.

Daftar kasus intoleransi di Indonesia bertambah panjang dengan adanya sejumlah kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, seperti gereja, pura, dan vihara di sejumlah daerah.

Sebagai gambaran, pada 2019, LSM Setara Institute menyatakan, ada 202 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2018.

Itu baru satu tahun. Jika ditelusuri lebih lanjut selama era reformasi, maka jumlahnya bisa membengkak, bahkan bisa mencapai ribuan kasus.

Hal-hal tersebut perlu menjadi catatan bagi bangsa ini dan seluruh elemen masyarakat untuk menyelamatkan reformasi di Indonesia dari keterpurukan dan hilangnya semangat.

Karena itulah diperlukan upaya konkrit dari segenap komponen masyarakat agar bisa mewujudkan reformasi yang ideal, seperti yang dicita-citakan pada 1998 menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


*) Dr. Taufan Hunneman adalah Eksponen 98 Km Jayabaya dan Dosen UIC

 

COPYRIGHT © ANTARA 2023