Jakarta (ANTARA) - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menyampaikan, berdasarkan penelitian yang dilakukannya, ditemukan bahwa pemilih perempuan rentan terkena politik uang.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih perempuan memang rentan terkena politik uang," kata Neni, dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Ia pun menyampaikan selain kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan serta edukasi politik, pemilih perempuan rentan terkena politik uang karena mereka memang cenderung tetap menerima uang itu meskipun mengetahui bahwa politik uang dilarang.
Dalam penelitian bertajuk "Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics (Case Study of 2020 Regional Elections In Indonesia)" itu, Neni terlebih dahulu melakukan pra-riset pada April – Mei 2021.
Dalam tahapan pra-riset, penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan menguji teori disonansi kognitif dengan melibatkan populasi yang memiliki karakteristik yang ditentukan olehnya untuk melihat kebenaran mengenai pemilih perempuan yang selalu menjadi objek dalam politik uang dari kandidat kepala daerah.
Berikutnya, riset dilakukan pada Juni — Desember 2021 dengan pendekatan campuran, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tersebut lalu dipaparkan oleh Neni dalam acara "9th World Conference on Woman’s Studies 2023" di Bangkok, Thailand, Kamis (11/5) hingga Jumat (12/5).
Baca juga: DEEP mendorong KPU RI transparan soal verifikasi faktual parpol
Baca juga: DEEP Indonesia dorong KPU dan Bawaslu penuhi keterwakilan perempuan
Lebih lanjut, berdasarkan penelitian itu, Neni lantas mengategorikan pemilih ke dalam lima tipe. Pertama, pemilih yang menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang,.tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih yang menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan.
Berikutnya, pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih yang menyaksikan politik uang dan mengetahui informasi serta berani melaporkan.
Dari lima kategori tersebut, Neni menemukan kategori satu dan dua mendominasi pemilih yang menjadi subjek penelitiannya.
"Menariknya, pemilih yang menikmati politik uang serta pemilih yang menolak politik uang tetapi menerimanya yang paling mendominasi adalah pemilih perempuan. Selain itu, pemilih kita tidak lebih dari supporter, sebagaimana dalam permainan bola," kata Neni.
Pemilih yang ia teliti, lanjut Neni, memandang kampanye bukan merupakan wadah untuk mencari pendidikan politik, mendalami visi dan misi calon, melainkan lebih untuk mendapatkan kaos dan uang transportasi.
Menurut Neni, praktik politik uang dan kerentanan pemilih perempuan menerima uang itu menjadi tantangan yang perlu ditaklukkan di Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Ia menilai sosialisasi tentang larangan politik uang perlu dihadirkan secara lebih masif oleh penyelenggara pemilu dan pihak terkait lainnya, terutama kepada kelompok rentan seperti perempuan.
"Saya juga berharap partai politik bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi dan memutus politik uang yang selama ini menjadi hal lumrah di masyarakat," kata dia.
Selain itu, tambah Neni, ke depan penyelenggara pemilu perlu memiliki data lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang rentan terhadap politik uang. Neni lalu mendorong peserta Pemilu Serentak 2024 untuk lebih mengedepankan politik gagasan daripada menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih perempuan memang rentan terkena politik uang," kata Neni, dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Ia pun menyampaikan selain kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan serta edukasi politik, pemilih perempuan rentan terkena politik uang karena mereka memang cenderung tetap menerima uang itu meskipun mengetahui bahwa politik uang dilarang.
Dalam penelitian bertajuk "Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics (Case Study of 2020 Regional Elections In Indonesia)" itu, Neni terlebih dahulu melakukan pra-riset pada April – Mei 2021.
Dalam tahapan pra-riset, penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan menguji teori disonansi kognitif dengan melibatkan populasi yang memiliki karakteristik yang ditentukan olehnya untuk melihat kebenaran mengenai pemilih perempuan yang selalu menjadi objek dalam politik uang dari kandidat kepala daerah.
Berikutnya, riset dilakukan pada Juni — Desember 2021 dengan pendekatan campuran, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tersebut lalu dipaparkan oleh Neni dalam acara "9th World Conference on Woman’s Studies 2023" di Bangkok, Thailand, Kamis (11/5) hingga Jumat (12/5).
Baca juga: DEEP mendorong KPU RI transparan soal verifikasi faktual parpol
Baca juga: DEEP Indonesia dorong KPU dan Bawaslu penuhi keterwakilan perempuan
Lebih lanjut, berdasarkan penelitian itu, Neni lantas mengategorikan pemilih ke dalam lima tipe. Pertama, pemilih yang menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang,.tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih yang menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan.
Berikutnya, pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih yang menyaksikan politik uang dan mengetahui informasi serta berani melaporkan.
Dari lima kategori tersebut, Neni menemukan kategori satu dan dua mendominasi pemilih yang menjadi subjek penelitiannya.
"Menariknya, pemilih yang menikmati politik uang serta pemilih yang menolak politik uang tetapi menerimanya yang paling mendominasi adalah pemilih perempuan. Selain itu, pemilih kita tidak lebih dari supporter, sebagaimana dalam permainan bola," kata Neni.
Pemilih yang ia teliti, lanjut Neni, memandang kampanye bukan merupakan wadah untuk mencari pendidikan politik, mendalami visi dan misi calon, melainkan lebih untuk mendapatkan kaos dan uang transportasi.
Menurut Neni, praktik politik uang dan kerentanan pemilih perempuan menerima uang itu menjadi tantangan yang perlu ditaklukkan di Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Ia menilai sosialisasi tentang larangan politik uang perlu dihadirkan secara lebih masif oleh penyelenggara pemilu dan pihak terkait lainnya, terutama kepada kelompok rentan seperti perempuan.
"Saya juga berharap partai politik bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi dan memutus politik uang yang selama ini menjadi hal lumrah di masyarakat," kata dia.
Selain itu, tambah Neni, ke depan penyelenggara pemilu perlu memiliki data lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang rentan terhadap politik uang. Neni lalu mendorong peserta Pemilu Serentak 2024 untuk lebih mengedepankan politik gagasan daripada menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2023
0 comments:
Post a Comment