Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Nyarwi Ahmad menyebut sikap dan keinginan Presiden Joko Widodo untuk memastikan Pemilu 2024 berlangsung demokratis, jujur, dan adil perlu diapresiasi.

"Niatan baik presiden ini mestinya dapat dikawal dan dijalankan secara maksimal oleh lembaga-lembaga negara yang menjadi penyelenggara pemilu, seperti KPU dan juga lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu," ujar Nyarwi dalam keterangan tertulis Humas UGM di Yogyakarta, Rabu.

Bagi Nyarwi, keinginan Presiden Jokowi agar pesta demokrasi 2024 dapat berlangsung secara demokratis dan jurdil merupakan hal yang wajar.

Komitmen Presiden Jokowi untuk menghormati dan menerima pilihan rakyat, ujar dia, menunjukkan bahwa presiden masih berkomitmen kuat untuk menjaga kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia.

Ia menyadari komitmen semacam itu dalam beberapa tahun terakhir diragukan oleh banyak kalangan.

Sebagai kepala negara, lanjut Nyarwi, Presiden Jokowi memiliki sumber daya memadai untuk mendorong peningkatan kualitas demokrasi Indonesia agar naik kelas.

Dia menilai jebakan-jebakan yang mengarah pada regresi atau penurunan demokrasi di sejumlah negara demokrasi beberapa tahun terakhir bisa terjadi di Indonesia.

Karena itu, selain memastikan Pemilu 2024 berlangsung jurdil, Presiden Jokowi diharapkan menggunakan sumber daya kekuasaan yang dimiliki untuk menyelamatkan Indonesia dari jebakan tersebut.

"Jika hal ini mampu diwujudkan tentu akan menjadi 'legacy' luar biasa dari Presiden Jokowi di periode kedua masa jabatannya," ucap Nyarwi.

Sekali lagi, kata Nyarwi, adalah wajar jika Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara menginginkan agar pemilu mendatang dapat berjalan dengan baik dan aman tanpa mewariskan residu polarisasi atau konflik sosial di masyarakat dan semua peserta pemilu dapat berkompetisi secara bebas dan adil.

Bahkan, dalam beberapa pernyataan Jokowi berharap agar pemilih mendapat informasi dan berita yang berkualitas, tidak menjadi korban hoaks, serta kampanye hitam, termasuk yang menggunakan "artificial intelligence" (AI) yang membahayakan.

"Saya kira itu perlu diapresiasi. Sangat tepat juga jika Presiden menyatakan akan selalu menjaga netralitas TNI Polri dan ASN. Presiden tentu tidak ingin meninggalkan warisan yang tidak baik di akhir masa jabatannya. Kita tahu, Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang sangat majemuk. Polarisasi ekstrem dan konflik sosial horizontal yang berbasis isu-isu politik identitas, termasuk agama akan merugikan kita semua," jelasnya.

Para staf dan pembantu presiden, lanjut Nyarwi, perlu membantu Presiden Jokowi merumuskan ukuran atau parameter yang tepat khususnya terkait tiga hal.

Pertama, soal demokrasi seperti apa yang ingin diwariskan oleh Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya. Kedua, polarisasi seperti apa dan dalam dimensi apa saja yang masih dapat dinilai wajar untuk ukuran Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi.

Ketiga, skala polarisasi seperti apa yang nantinya dapat membahayakan keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.


Sosok Penerus

Dari sejumlah pernyataan Presiden Jokowi terkait Pemilu 2024, menurut dia, yang paling berpotensi menimbulkan kontroversi dan multi-interpretasi adalah soal transisi kepemimpinan nasional.

"Hal ini terkait dengan sosok pemimpin nasional seperti apa yang nantinya dapat diandalkan untuk meneruskan 'legacy'-nya pasca-Pilpres 2024," katanya.

Dalam pandangan Nyarwi, sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi dinilai wajar merasa memiliki kewajiban moral untuk memastikan agar transisi kepemimpinan nasional setelah Pilpres 2024 dapat berjalan dengan mulus, tanpa riak politik yang membahayakan.

Namun, lanjut dia, sebagai individu yang sedang menjabat sebagai presiden dan juga sebagai politisi dari partai tertentu, serta sudah turut mendeklarasikan sosok capres, pernyataan Jokowi terkait dengan transisi kepemimpinan nasional tersebut diakui dapat memicu spekulasi banyak kalangan.

Posisi, peran, preferensi, dan subjektivitas Presiden Jokowi terkait dengan siapa saja yang layak untuk di-"endorse" sebagai pasangan capres-cawapres yang mampu meneruskan kepemimpinannya pasca Pilpres 2024, menurut dia, dapat menimbulkan skala pengaruh yang sangat luas.

Pengaruh tersebut, kata dia, tidak hanya pada para ketua umum parpol dan tokoh potensial yang selama ini sudah dideklarasikan sebagai capres dan dinominasikan jadi cawapres semata.

Lebih dari itu, Nyarwi menyebut skala pengaruh itu bisa menggerakkan barisan relawan yang selama ini menjadi pendukung setia Presiden Jokowi.

"Pengaruh tersebut baik langsung ataupun tidak langsung, bahkan bisa berkembang ke lingkungan birokrasi, hingga ke lingkungan TNI/Polri. Skala pengaruh ini saya kira yang harus dikelola dengan arif oleh Presiden Jokowi dan para tokoh yang ada dalam lingkaran terdekatnya saat ini," kata Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies ini.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Edy M Yakub
COPYRIGHT © ANTARA 2023