Tanjung Selor (ANTARA) - Radikal terorisme di Indonesia umumnya bermotifkan pemahaman keagamaan, sehingga gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan, karena menyangkut hal sensitif, yakni ideologi keagamaan, apalagi bersamaan dengan menghangatnya suhu politik menjelang Pemilu 2024.

Menghadapi kondisi tersebut, maka pemahaman damai lintas agama melalui sikap moderat menjadi sangat penting. Apalagi diperkirakan kelompok paham kekerasan ini kian intensif menyebarkan virus radikal terorisme kepada pelajar dan pemuda.

Padahal berdasarkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 jiwa, 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda.

Berdasarkan penetapan dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta, Ahad (2 Juli 2024), jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa, terdiri pemilih berusia 17 tahun 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa.

Kemudian pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa. Lalu disusul dengan pemilih usia 31 - 40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa.

Sementara pemilih dengan usia lebih dari 40 tahun, persentasenya mencapai 48,07 persen atau berjumlah 98.448.775 orang.

Khusus pemuda dan pelajar diperkirakan penyebaran virus paham radikal terorisme ini melalui media sosial serta pemahaman agama yang dominan melalui guru sehingga peran sekolah cukup besar dalam membentengi generasi muda ini dengan moderasi beragama.

Kerawanan pemuda dan pelajar menjadi target penyebaran radikalisme itu diakui oleh Kepala Sub Direktorat Pengamanan Lingkungan pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Setyo Pranowo karena dua alasan utama. Pertama, karena kondisi mereka dianggap "labil" (masih mencari identitas diri). Kedua, untuk regenerasi bagi kelompok radikal terorisme.

Fakta itu menjadi landasan melibatkan 50 guru kelas, guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling dari SD/MI, SMP/MTs dan SMA/sekolah sederajat dalam kegiatan "Camping Keberagaman" dalam pencegahan radikal terorisme di Kalimantan Utara.

Diperkirakan penyebaran paham radikalisme di kalangan pemuda dan pelajar terus digencarkan kelompok radikal terorisme, terutama melalui media sosial.

Mencermati kondisi ini, maka dapat dikatakan bahwa pemuda atau pelajar, serta media sosial merupakan dua poin strategis dalam transformasi paham dan perekrutan anggota kelompok radikal.

Kelompok paham kekerasan itu mengincar kelengahan guru, tenaga pengajar, masyarakat, dan pemerintah untuk mempengaruhi pemuda atau pelajar dan menguasai media sosial sebagai sarana mereka.

BNPT melalui Direktorat Pencegahan, Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat mengajak para guru dan tenaga pengajar seluruh Indonesia, khususnya Kaltara, untuk mewaspadai gerakan ini, baik internal di sekolah maupun eksternal di lingkungan warga.
 

Indeks potensi radikalisme

Dalam beberapa tahun terakhir, Indeks Potensi Radikalisme mengalami penurunan, yakni pada 2022 sebesar 10 persen atau turun 2,2 persen dari 12,2 persen pada 2020.

Hal itu berdasarkan survei BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Pusat penelitian dan pengembangan Kementerian Agama (Puslitbang Kemenag), Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), Nasaruddin Umar Office, The Nusa Institute, Daulat Bangsa, dan Alvara Research Institute.

Penurunan itu diperkirakan karena partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat di Indonesia memberikan pengaruh positif terhadap proses penanggulangan terorisme di Indonesia.

Komitmen BNPT sebagai sektor terdepan penanggulangan terorisme di Indonesia dalam melawan paham dan aksi terorisme sesuai mandat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentu berperan terkait hasil Indeks Potensi Radikalisme itu.

BNPT dalam menjalankan komitmen itu menghadirkan konsep Pentahelix atau kerja sama multipihak, sebagai strategi besar penanggulangan terorisme nasional.

Sholehuddin, narasumber nasional dalam "Camping Keberagaman" pada pencegahan radikal terorisme di Kaltara itu mengungkapkan data BNPT itu bahwa Indeks dimensi target di 2022 berada di angka 51,54. Angka ini lebih rendah dari yang ditetapkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 sebesar 54,26.

Sedangkan indeks dimensi supply pelaku berada di angka 29,48. Angka ini lebih rendah dari yang ditetapkan RPJMN sebesar 38,00.

Maknanya, semakin kecil angka indeks, maka risiko terorisme menjadi semakin rendah, yakni menunjukkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi paham maupun aksi terorisme.

Meskipun Indeks Potensi Radikalisme mengalami penurunan, namun Sholehuddin yang telah menulis setidaknya 30 buku, termasuk yang terbaru "Harmoni Indonesia; Panduan Praktis Cegah Teroris" (2023), agar jangan terlena dengan bahaya virus radikal terorisme, terutama menjelang Pemilu 2024.

Radikal Terorisme di Indonesia bermotifkan pemahaman keagamaan, sehingga hal terkait ideologi keagamaan menjadi hal yang sensitif atau gampang menjadi pemicu bagi mereka yang tadinya hanya terpapar secara pemahaman menjadi sebuah tindakan.

Jadi, salah satu strategi menghadapi kerawanan itu adalah melalui pemahaman damai lintas agama serta moderasi beragama menjadi sangat penting.

Guru dianggap memiliki peran strategis untuk mengembangkan semangat damai lintas pemahaman dan agama untuk terwujudnya sekolah yang bebas dari intoleransi, radikalisme dan terorisme, serta Pemilu damai 2024.


Adegan moderasi beragama

Diterangi lampu sorot serta kehangatan dari nyala api unggun di halaman Gedung Diklat Badan Kepegawaian dan pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Bulungan di Tanjung Selor, suatu malam, 5 Juli 2023, sejumlah guru dari berbagai latar belakang agama berbeda menampilkan adegan drama tentang moderasi beragama.

Ke-50 guru tersebut terbagi atas lima kelompok dalam "Camping Keberagaman" untuk pembuatan video bahan ajar "berkolaborasi untuk damai beragama di sekolah".

Mereka menampilkan adegan moderasi agama karena dianggap inilah cara sikap paling tepat dalam menangkal virus intoleransi dan paham radikal terorisme di sekolah.

Ketua Bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara H. Saimin, MM menilai bahwa Indonesia memiliki berbagai keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, dan itu adalah anugerah, namun bisa menjadi masalah jika tidak mampu dijaga dan dikelola dengan baik.

Dari berbagai keberagaman itu, diakui bidang agama menjadi yang terkuat dalam membentuk radikalisme di Indonesia dan sangat berdampak bagi politik dan pemerintahan.

Salah satu upaya dalam mencegah masuknya virus radikalisme melalui pintu agama itu, maka kini muncul sebuah istilah yang disebut “moderasi beragama”.

Saimin yang juga Kepala Kepala Kementerian Agama Kabupaten Tana Tidung Kaltara itu menjelaskan tentang pentingnya memahami makna, konsep, dan strategi dari moderasi beragama dalam menghadapi virus intoleransi dan paham radikal terorisme.

Secara bahasa, kata moderasi berasal dari Bahasa Latin "Moderatio", yakni berarti "kesedangan" (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).

Dari kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada dua pengertian kata moderasi, yakni pengurangan kekerasan, dan penghindaran keekstreman.

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata "wasath" atau "wasathiyah", yakni padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-­tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).

Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”.

Kata wasith, bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata "wasit" yang memiliki tiga pengertian, yaitu penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis). Makna kedua sebagai pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan makna ketiga sebagai pemimpin di pertandingan.

Video adegan para guru yang memerankan berbagai cerita pendek tentang moderasi beragama itu akan diunggah ke berbagai platform media sosial sebagai bahan ajar, terutama di Youtube.

Dari 77 persen perilaku netizen mencari konten keagamaan (survei BNPT 2019) ternyata mayoritas platform digital yang dibuka adalah YouTube (juga mencapai 77 persen). Sedangkan durasi YouTube yang mereka buka rata-rata 30 menit. Artinya mereka tidak utuh dalam memahami konten keagamaan itu.

Tidak hanya di Kaltara, BNPT dan FKPT menggelar program yang sama pada seluruh provinsi di Indonesia, tujuannya bukan mengejar "viewer" dan "subscriber" namun membanjiri ruang platform digital tentang moderasi beragama.

Setidaknya ini bisa menjadi strategi untuk memahami tentang pentingnya moderasi beragama di tengah gempuran berbagai konten negatif yang memuat intoleransi serta paham radikal terorisme di medsos.

Pada akhirnya, para guru diharapkan bisa menularkan moderasi beragama ini di sekolah, sehingga para generasi muda bisa memahami pentingnya bersikap tidak berlebihan atau moderasi beragama.

Dengan sikap moderat itu tentu tak mudah diadu domba, baik untuk tujuan politik praktis maupun kepentingan dari kelompok paham radikal terorisme.

 

COPYRIGHT © ANTARA 2023