"Pemda harus susun perda yang mengatur soal pajak karbon,"
Manokwari (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua Barat menyarankan agar pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten di Papua Barat segera menyusun peraturan daerah (perda) tentang skema pajak karbon guna memaksimalkan upaya pengurangan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca.

"Pemda harus susun perda yang mengatur soal pajak karbon," kata Ketua Fraksi Otonomi Khusus (Otsus) DPR Papua Barat George Karel Dedaida di Manokwari, Selasa.

Menurut dia aksi penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan memerlukan peran aktif dari seluruh elemen masyarakat terutama masyarakat adat Papua Barat.

Oleh sebabnya, pemerintah daerah harus mencantumkan kompensasi bagi masyarakat adat dalam pelaksanaan program Indonesia's Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.

"Supaya masyarakat adat terlibat langsung melindungi hutan, dan produksi karbon tetap terjaga," ujar George.

Ia menilai sosialisasi dan edukasi yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah terkait upaya menurunkan emisi karbon, belum melibatkan masyarakat adat.

Padahal, strategi kolaborasi merupakan langkah paling efektif dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program FOLU Net Sink 2030 di seluruh Papua Barat.

"Hitung produksi karbon di Papua Barat, lalu rumuskan kompensasi bagi masyarakat adat. Skema penjualan karbon ini penting agar program pemerintah terlaksana dengan baik," ucap George.

Ia melanjutkan setelah perda skema pajak karbon disusun, pemerintah daerah harus menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat secara rutin guna mengoptimalkan aksi penurunan emisi karbon.

Masyarakat secara tradisional secara turun temurun, kata dia, telah memelihara hutan melalui tradisi seperti hige sarahanjob di Kabupaten Pegunungan Arfak.

Selain itu, program FOLU Net Sink 2030 berkaitan erat dengan upaya pengembangan destinasi ekowisata di Papua Barat.

"Saran saya nilai-nilai budaya yang telah ada di Papua Barat, bisa mendapatkan kompensasi dari program pemerintah," ucap Dedaida.

Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Hendrik Runaweri menjelaskan setelah Papua Barat dimekarkan menjadi dua provinsi maka mempengaruhi luas hutan yang awalnya 9,7 juta hektare turun menjadi 6,2 juta hektare.

Pengurangan luas kawasan itu menguntungkan dari segi rentang kendali pengawasan terhadap kawasan hutan yang memiliki peran sentral dalam perubahan iklim.

Saat ini, pihaknya fokus tiga hal yaitu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kehutanan, peningkatan ekonomi masyarakat, dan berperan dalam penanganan perubahan iklim.

"Membuat hutan tetap lestari dan rakyat bisa sejahtera dengan dukungan SDM yang unggul dari segi kualitas dan kuantitas," kata dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto mengatakan, implementasi rencana aksi daerah penurunan emisi karbon membutuhkan keterlibatan masyarakat adat sebagai elemen penting dalam tatanan kehidupan sosial.

Agus mengakui bahwa masyarakat adat di Tanah Papua memiliki pengetahuan lokal dalam melestarikan hutan, namun perlu ditransformasikan menjadi komitmen bersama demi menyukseskan program FOLU Net Sink 2030.

Pewarta: Fransiskus Salu Weking
Editor: Agus Setiawan
COPYRIGHT © ANTARA 2023