Tunis, Tunisia (ANTARA) - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta generasi muda, khususnya mahasiswa agar mewaspadai gerakan dan jaringan radikalisme dalam upaya menanamkan radikalisme agama, paham kebencian terhadap simbol agama lain.
“Tidak bisa dibantah bahwa kalangan muda merupakan sasaran bagi gerakan dan jaringan radikalisme agama untuk menanamkan paham radikal agama, paham kebencian terhadap simbol agama lain, dan kebencian simbol negara,” kata Yaqut saat memberikan sambutan dalam pembukaan simposium Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia Kawasan (PPIDK) Timur Tengah dan Afrika secara daring, di Tunis, Tunisia, Senin.
Yaqut mengaku prihatin setelah membaca hasil penelitian Maarif Institute dan beberapa lembaga riset yang menyatakan bahwa jaringan radikalisme pemikiran keagamaan sudah menyusup di kalangan generasi muda, khususnya siswa dan mahasiswa.
Menurut dia, fenomena itu sangat mengkhawatirkan bukan hanya dalam konteks masa depan Islam sebagai rahmat untuk semua alam, namun juga peradaban nusantara dan dunia.
“Kita tahu bahwa usia sekolah dan kuliah merupakan masa yang paling rawan di tengah belum matangnya kondisi psikologi mereka, ditambah belum memadainya pemahaman keagamaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan akibat pemahaman agama yang salah tersebut, seringkali kelompok jaringan radikalisme tersebut mengusung ideologi kebencian terhadap agama dan pemerintah.
Menurut dia, jaringan tersebut menganggap sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintah sebagai taghut karena secara formal tidak mengikuti Al Quran.
“Mahasiswa mulai disusupi keyakinan bahwa menyanyikan lagu kebangsaan, hormat bendera adalah haram. Fenomena itu bertentangan dengan prinsip Islam, rahmatan lil alamin dan moderasi beragama,” katanya.
Yaqut meminta para mahasiswa Indonesia menjadi duta moderasi beragama yaitu tidak hanya menanamkan kecintaan terhadap agama, namun juga kepada bangsa dan negara.
Sebab, menurut dia, relasi antara agama dan negara adalah dua hal yang saling berkaitan sehingga tidak mungkin dibenturkan.
“Indonesia bukan negara sekuler ataupun negara agama. Agama memberikan moral spiritual dan mengajarkan etika berbangsa serta bernegara sehingga agama-negara bukan untuk dipisahkan, namun saling berkaitan,” ujarnya.
Yaqut mengingatkan bahwa generasi muda tidak hanya harus taat pada agama, namun juga mencintai serta setia terhadap negara sehingga tercipta generasi yang religius dan nasionalis.
Menurut dia, citra bangsa Indonesia di mata internasional sangat tergantung bagaimana generasi muda bersikap dan bertindak di negara lain.
“Jika kita bersikap dan berbudaya baik maka citra bangsa Indonesia akan baik juga. Oleh karena itu mari kita senantiasa memberikan kontribusi yang paling baik untuk bangsa kita sesuai kapasitas yang kita miliki masing-masing,” katanya.
“Tidak bisa dibantah bahwa kalangan muda merupakan sasaran bagi gerakan dan jaringan radikalisme agama untuk menanamkan paham radikal agama, paham kebencian terhadap simbol agama lain, dan kebencian simbol negara,” kata Yaqut saat memberikan sambutan dalam pembukaan simposium Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia Kawasan (PPIDK) Timur Tengah dan Afrika secara daring, di Tunis, Tunisia, Senin.
Yaqut mengaku prihatin setelah membaca hasil penelitian Maarif Institute dan beberapa lembaga riset yang menyatakan bahwa jaringan radikalisme pemikiran keagamaan sudah menyusup di kalangan generasi muda, khususnya siswa dan mahasiswa.
Menurut dia, fenomena itu sangat mengkhawatirkan bukan hanya dalam konteks masa depan Islam sebagai rahmat untuk semua alam, namun juga peradaban nusantara dan dunia.
“Kita tahu bahwa usia sekolah dan kuliah merupakan masa yang paling rawan di tengah belum matangnya kondisi psikologi mereka, ditambah belum memadainya pemahaman keagamaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan akibat pemahaman agama yang salah tersebut, seringkali kelompok jaringan radikalisme tersebut mengusung ideologi kebencian terhadap agama dan pemerintah.
Menurut dia, jaringan tersebut menganggap sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintah sebagai taghut karena secara formal tidak mengikuti Al Quran.
“Mahasiswa mulai disusupi keyakinan bahwa menyanyikan lagu kebangsaan, hormat bendera adalah haram. Fenomena itu bertentangan dengan prinsip Islam, rahmatan lil alamin dan moderasi beragama,” katanya.
Yaqut meminta para mahasiswa Indonesia menjadi duta moderasi beragama yaitu tidak hanya menanamkan kecintaan terhadap agama, namun juga kepada bangsa dan negara.
Sebab, menurut dia, relasi antara agama dan negara adalah dua hal yang saling berkaitan sehingga tidak mungkin dibenturkan.
“Indonesia bukan negara sekuler ataupun negara agama. Agama memberikan moral spiritual dan mengajarkan etika berbangsa serta bernegara sehingga agama-negara bukan untuk dipisahkan, namun saling berkaitan,” ujarnya.
Yaqut mengingatkan bahwa generasi muda tidak hanya harus taat pada agama, namun juga mencintai serta setia terhadap negara sehingga tercipta generasi yang religius dan nasionalis.
Menurut dia, citra bangsa Indonesia di mata internasional sangat tergantung bagaimana generasi muda bersikap dan bertindak di negara lain.
“Jika kita bersikap dan berbudaya baik maka citra bangsa Indonesia akan baik juga. Oleh karena itu mari kita senantiasa memberikan kontribusi yang paling baik untuk bangsa kita sesuai kapasitas yang kita miliki masing-masing,” katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Laode Masrafi
COPYRIGHT © ANTARA 2023
0 comments:
Post a Comment