Sejumlah faktor disinyalir menjadi pemicu perbuatan korupsi, namun keserakahan memegang peran kunci.
JAKARTA (ANTARA) - Ketika seseorang menerima amanah jabatan, ia memiliki dua pilihan. Bermain aji mumpung dengan melakukan korupsi untuk hidup mewah, lantas berakhir di penjara dan menua dengan hina. Atau, mengemban tugas dengan amanah, berjuang yang terbaik untuk bangsa dan negara, meninggalkan legacy sebagai amal jariyah, dan kelak tetap dikenang serta didoakan oleh banyak orang.

Pilihan kedua terdengar begitu indah, tapi sayang tidak banyak yang mengambilnya. Karena nyatanya, KPK kian sibuk menangkapi para koruptor. Memang ada yang memandang sinis gebrakan KPK sebagai aksi mencari sensasi dan bisa menghambat investasi.

Bila operasi tangkap tangan atau OTT dianggap gerakan mempermalukan orang, apakah benar para penyeleweng anggaran negara itu masih memiliki rasa malu? Sepertinya tidak, karena mereka malah melambaikan tangan dan menebar senyum di hadapan kamera media yang meliput jalannya pemeriksaan di KPK atau persidangan pengadilan.

Rupanya mencuri dalam jumlah besar itu bukan suatu perbuatan aib yang membuat pelakunya terpuruk dalam rasa malu. Berbeda dengan pencuri kampungan, yang mengambil barang tak seberapa tapi menjadi malu luar biasa karena dihukum warga.

Perilaku korup adalah biang dari penyimpangan jabatan karena dahsyatnya dampak yang ditimbulkan. Penyimpangan lain bisa berupa kolusi dan nepotisme, yang merupakan tiga serangkai (KKN) perusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Sejumlah negara di dunia telah bangkrut akibat praktik korupsi, sebutlah Sri Lanka, Ekuador, Yunani, Zimbabwe, dan Zambia, serta satu lagi negara yang tidak disangka-sangka yakni Argentina. Pada 2014, negara juara sepak bola itu memiliki utang 95 miliar dolar AS yang tak mampu dibayarnya.

Tidak ingin nasib serupa menimpa negara yang dipimpinnya, Presiden Joko Widodo tak bosan-bosannya mengingatkan aparatur pemerintahan agar tidak mencuri uang rakyat, memanipulasi anggaran, dan belanja produk impor berlebihan. Pada banyak kesempatan Presiden menunjukkan ekspresi kegeramaannya terhadap praktik korupsi yang tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.

Seperti kegemasan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X terhadap Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY Krido Suprayitno yang terlibat kasus mafia tanah kas desa (TKD), hingga Sultan tidak mau memberi bantuan hukum.

Urgensi dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah karena praktik korupsi di Indonesia yang membutuhkan penanganan khusus dalam pemberantasannya. Maka kehadiran KPK menjadi indikasi parahnya praktik korupsi di negeri ini.

 

Keserakahan

Kehadiran KPK telah berusia dua dekade lebih tapi tugas pemberantasan korupsi belum kunjung selesai dan malah makin ramai. Sejumlah faktor disinyalir menjadi pemicu perbuatan korupsi, namun keserakahan memegang peran kunci. Berikut beberapa di antara pemicu korupsi.

Keserakahan. Pelaku korupsi umumnya bukanlah orang miskin yang terpaksa melakukan perbuatan tidak terpuji itu demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Melainkan mereka yang sesungguhnya tidak memiliki masalah finansial namun karena faktor keserakahan yang mendorongnya melakukan tindak pidana itu.

Sesuai teori GONE yang dikemukakan Jack Bologne dalam buku Fraud, menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greedy), kesempatan (opportunity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposure). Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.

Gaya hidup. Korupsi bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang lebih tepat untuk pemenuhan biaya gaya hidup pelaku dan keluarganya. Hidup bermewah-mewah dan pamer-pamer di media sosial, padahal harta berasal dari uang yang tidak halal. Gemar bersolek bukan saja dominasi perempuan, pria pesolek juga turut memicu perilaku korup demi memuaskan hasrat mengoleksi cincin atau jam tangan mewah, kendaraan, juga perempuan (WIL).

Balas dendam. Ada pula korupsi dengan motivasi balas dendam untuk membayar biaya politik yang telah ia keluarkan sewaktu dulu memburu jabatan. Jabatan yang diperoleh dengan cara tidak benar cenderung melahirkan para koruptor baru.

Tidak punya Tuhan. Pejabat pemerintah adalah mereka yang telah disumpah sesuai agamanya di atas kitab suci untuk menunaikan tugas demi kebaikan bangsa dan negara. Bila dalam praktiknya mereka dengan mudah melanggar sumpah itu, mungkin karena merasa tidak ada Tuhan yang mengawasi perbuatannya dan tidak ingat akan datangnya hari pembalasan kelak. Faktor moral amat berpengaruh terhadap kontrol diri seseorang dalam menahan godaan korupsi.


Kejahatan luar biasa

Status sebagai kejahatan luar biasa memang pantas disematkan pada tindak pidana korupsi. Bagaimana tidak, korupsi menimbulkan daya rusak yang hebat terhadap kualitas hidup rakyat. Seandainya para pejabat dan kepala daerah tidak korupsi, mungkin 25,9 juta penduduk Indonesia tidak perlu menderita kemiskinan dan 6,1 juta balita tidak harus mengalami stunting.

Kejahatan korupsi juga telah menghambat dan menurunkan kualitas pembangunan. Berapa banyak proyek pembangunan yang mangkrak karena anggaran dikorup. Berapa banyak jalan, jembatan, hingga gedung sekolah mengalami kerusakan sebelum waktunya karena kualitas bangunannya buruk akibat dana proyek disunat.

Masih ingin bukti, betapa korupsi ini jahat luar biasa. Manusia bisa tega menyelewengkan dana bencana yang mana para korban sangat membutuhkannya. Dana sosial yang diperuntukkan bagi lansia, warga miskin, balita kurang gizi, dan kalangan kurang beruntung lainnya, juga tak luput dari sasaran penyimpangan.

Sebagai kejahatan luar biasa, pelaku tindak pidana korupsi telah sering diwacanakan untuk mendapat ganjaran hukuman mati. Namun lagi-lagi berhadapan dengan para pejuang HAM yang menentangnya. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa perspektif HAM tidak memilih berpihak kepada korban? Bukankah pelaku korupsi sudah melanggar HAM jutaan orang, masihkah pantas mereka memperoleh pembelaan atas nama HAM?


Legacy abadi

Hidup itu tentang pilihan, tinggal memilih hidup mulia atau hina. Menjadi pejabat yang mengabdi untuk kepentingan negeri atau mengikuti nafsu duniawi dengan jalan korupsi. Konsekuensi masing-masingnya tentu jelas.

Pejabat adalah orang-orang terpilih yang memiliki keahlian dan keunggulan kompetitif. Kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk berbuat lebih kepada masyarakat. Amanah jabatan semestinya menjadi ladang ibadah bagi mereka yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk membuat kebijakan dan melakukan kebajikan bagi sesama.

Di tangan orang baik, jabatan--yang memberinya kewenangan dan kekuasaan--membuahkan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Bahkan hingga sang pejabat telah pergi, kebaikan itu tetap dikenang dan keteladanannya menjadi panutan. Pejabat teladan seperti itu termasuk manusia langka, berikut beberapa di antaranya:

1. BJ Habibie. Dijuluki Bapak Teknologi Indonesia, selama 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Salah satu dari sedikit orang jenius yang dimiliki Indonesia. Karya fenomenalnya adalah pesawat N250 Gatot Kaca, yang dia ciptakan saat menjabat Kepala Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).

2. Baharuddin Lopa. Jaksa Agung jujur nan sederhana, tulus dalam pengabdian. Dalam masa jabatan yang singkat, Barlop--begitu ia akrab disapa--mampu membuat para koruptor ketar-ketir karena sifatnya yang tak kenal takut. Dia segera memerintahkan pulang Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu yang sedang dirawat di Jepang dan Singapura untuk diselidiki atas kasus korupsi. Ia juga turut menghadapi kasus yang melibatkan "orang-orang kuat", seperti Akbar Tandjung, Arifin Panigoro, dan Ginanjar Kartasasmita. Barlop juga berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.

Di balik sikap garangnya dalam menumpas korupsi, kehidupan Barlop amatlah sederhana. Pejabat negara yang mengumpulkan uang receh dalam celengan untuk bisa merenovasi rumahnya yang sederhana di kampung halaman, Makassar. Saat membutuhkan kendaraan, dia menolak hadiah mobil dari Jusuf Kalla, yang waktu itu masih pengusaha. Ketika JK menawari dengan harga murah pun Barlop menolak, ia mau membayar dengan harga wajar. Terjadilah aksi tawar-menawar, JK (penjual) menurunkan harga sementara Barlop (pembeli) menaikkan harga, sebuah peristiwa tawar-menawar yang aneh.

3. Hoegeng Imam Santoso. Atau biasa disebut Jenderal Hoegeng, polisi paling jujur di Indonesia. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kelakarnya menyebut, polisi jujur di Indonesia hanya ada tiga “Polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng”. Saat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1964-1966), Hoegeng pernah menolak permintaan Presiden Soekarno untuk mempermudah birokrasi impor sejumlah barang guna keperluan pembangunan Wisma Yaso. Dan Bung Karno pun mengalah, jika itu dianggap menyalahi prosedur.

Pada era Orde Baru, Jenderal Hoegeng diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) atau Kapolri, ia menolak berbagai fasilitas termasuk rumah dinas dan pengawalan. Dia tidak segan menindak siapa saja yang melanggar hukum sekalipun dekat atau dilindungi pejabat. Hoegeng juga pernah turun tangan membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan Robby Tjahjadi, pengusaha yang dikenal dekat dengan polisi, tentara, hingga petinggi Bea Cukai.

Atas potensi kerugian negara Rp716 juta, Robby diganjar hukuman 10 tahun penjara. Tidak lama kemudian, Hoegeng diberhentikan pada Oktober tahun 1971.

Di luar tiga nama itu masih ada sejumlah pahlawan tempo dulu yang meninggalkan warisan berharga bagi bangsa Indonesia dan menjadi teladan sepanjang masa. Seperti Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan semboyan: Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Kemudian pahlawan emansipasi wanita Kartini yang menuang aspirasi pemberontakannya dalam buku “Habis gelap terbitlah terang”, dan beberapa tokoh besar lainnya.

Legacy, warisan nilai-nilai kehidupan sebagai suri teladan bagi generasi yang ditinggalkan menjadi amal jariyah yang terus mengalirkan berkah bagi sang tokoh meski raganya tak lagi berada di antara kita. Begitu pun aliran doa-doa yang terpanjat untuknya, dan keberkahan yang diwariskan untuk keturunan dan keluarganya tak akan putus.

Hidup adalah tentang sebab dan akibat, maka ciptakanlah sebab yang baik untuk menuai akibat yang baik pula. Karena hidup di dunia hanya sekali, tinggalkanlah legacy!



 

Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023