Semarang (ANTARA) - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) hingga saat ini masih berlaku. Bahkan, undang-undang ini untuk kali kedua diterapkan pada pesta demokrasi di Tanah Air.
Undang-Undang Pemilu yang pernah menjadi payung hukum sejumlah peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU RI) pada Pemilu 2019, memuat kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu, misalnya. Pasal ini mengatur bahwa Mahkamah Agung memutus penyelesaian pengujian peraturan KPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
Keberadaan ketentuan tersebut tentunya dalam rangka menjaga keberlanjutan tahapan pemilu agar tidak terganggu serta dalam rangka meneguhkan prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 UU Pemilu.
Dengan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, mengandung harapan tidak ada implementasi teknis pemilu yang bermasalah dan juga bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Pasalnya, keadilan yang tertunda merupakan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.
Kekuasaan kehakiman memang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, kemerdekaan hakim untuk memutus sejatinya harus pula memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Pemilu.
Apalagi, terkait dengan pencalonan anggota legislatif. Menurut pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, ada kerangka waktu yang mengikat penyelenggara, peserta, dan pemilih, terutama berkaitan dengan status pencalonan pada pemilu anggota legislatif (pileg).
Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI ini mengingatkan kepada KPU RI agar jangan sampai menggunakan dalih putusan yang terbit terlambat untuk menghindari pelaksanaan putusan sebagaimana pernah terjadi dalam Putusan MK No.80/PUU-XX/2022 terkait dengan penataan daerah pemilihan.
KPU hanya parsial melaksanakan putusan MK dengan mengatur dapil dalam PKPU. Namun, tidak melakukan penataan sebagaimana yang diputuskan MK dalam pertimbangan hukumnya.
Titi selaku salah satu pemohon berharap MA bisa memutus pengujian PKPU 10/2023 tidak melampaui tenggat sekaligus bisa menegakkan konstitusionalitas Pemilu 2024 dengan sebaik-baiknya.
Pengujian atas Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bukan hanya penting bagi integritas Pemilu 2024, melainkan juga merupakan tonggak penting bagi pengawalan gerakan perempuan politik di Indonesia.
Mahkamah Agung harus pula menimbang kemajuan dan masa depan kehadiran perempuan politik yang telah diperjuangkan sebagai salah satu aspirasi reformasi dan bagian dari mendobrak diskriminasi politik yang dihadapi perempuan Indonesia.
Asa yang terkandung adalah MA berpihak pada pemilu inklusif melalui pencalonan yang ramah keterwakilan perempuan sebagaimana amanat Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Revisi PKPU
Jika merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum, masih ada ruang KPU RI merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Sesuai dengan jadwal, pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota mulai 24 April 2023 hingga 25 November 2023. Namun, hingga sekarang MA belum memutuskan Perkara Nomor 24 P/HUM/2023, padahal dalam UU Pemilu ada ketentuan terkait dengan durasi waktu penyelesaian pengujian PKPU.
Sebelumnya, pada hari Senin (5/6) lima pemohon (dua badan hukum privat dan tiga perseorangan), yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib mengajukan permohonan uji materi PKPU No. 10/2023 ke MA.
Pemohon mengujimaterikan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 245 UU No. 7/2017, dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita.
Meski sudah menyampaikan kepada publik untuk merevisi ketentuan pembulatan ke bawah tersebut, hingga saat ini KPU tidak pernah merealisasikannya.
Hal inilah tampaknya yang mendorong Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan pada hari Selasa (15 Agustus 2023) mengadukan Ketua dan anggota KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu terkait dengan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg Pemilu Anggota DPR RI dan pemilu DPRD pada tahun 2024.
Para pengadu terdiri atas Mikewati Vera Tangka (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia), Listyowati (Ketua Yayasan Kalyanamitra), Misthohizzaman (Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Wirdyaningsih (dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan anggota Bawaslu RI periode 2008—2012), serta Hadar Nafis Gumay (Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity).
Pengaduan dilatarbelakangi oleh perbuatan KPU yang pada tanggal 17 April 2023 telah menetapkan PKPU No. 10/2023. Dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a diatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.
Ketentuan a quo dalam praktiknya (merujuk pada data yang dirilis melalui laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Dprri_tahap_pengajuan), telah mengakibatkan 17 partai politik tidak memenuhi pencalonan perempuan di 290 daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR RI sebagaimana perintah Pasal 245 UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Fenomena serupa juga terjadi dalam pencalonan pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam skala yang lebih besar dan masif. Dalam rilisnya pada hari Selasa (15/8), disebutkan terdapat 860 dapil Pemilu DPRD provinsi dan 6.821 dapil DPRD kabupaten/kota yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen.
Padahal, pada tanggal 10 Mei 2023, para teradu, Ketua dan anggota KPU bersama Bawaslu dan DKPP melakukan konferensi pers menyampaikan pernyataan secara terbuka adanya kesepakatan untuk melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023. Selanjutnya, pada tanggal 17 Mei 2023, para teradu melakukan rapat konsultasi revisi PKPU No. 10/2023 bersama DPR dan Pemerintah.
Namun, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menilai KPU malah kembali melanggar prinsip mandiri karena mengikatkan diri pada hasil rapat dengar pendapat bersama DPR dan Pemerintah. Bahkan, terkesan mengabaikan aspirasi besar masyarakat untuk mengubah ketentuan Pasal 8 ayat (2) sebagaimana semangat Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 245 UU No. 7/2017.
Para teradu membatalkan revisi Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 tanpa penjelasan yang memadai kepada segenap masyarakat yang peduli terhadap pemenuhan hak politik perempuan paling sedikit 30 persen sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD.
Oleh karena itu, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengadukan Ketua dan anggota KPU (Hasyim Asy’ari, Idham Holik, August Mellaz, Yulianto Sudrajat, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, dan Mochammad Afifuddin) karena ada dugaan telah melakukan perbuatan sebagai berikut.
Pertama, ada dugaan KPU melakukan tindakan melanggar prinsip mandiri dalam menyusun regulasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023 terkait dengan norma pembulatan desimal ke bawah penghitungan keterwakilan perempuan juncto Lampiran V Keputusan 352/2023.
Menurut mereka, tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No. 7/2017, khususnya pengaturan daftar bakal caleg pada setiap daerah pemilihan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan (vide Pasal 243, 244, dan 245 UU No. 7/2017).
Kedua, ada dugaan KPU melakukan pembohongan kepada publik terkait dengan perubahan atau perbaikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023.
Dalam hal ini, para pengadu mengajukan petitum kepada DKPP agar menyatakan para teradu melakukan pelanggaran kode etik berat dan telah melanggar Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Selain itu, meminta agar DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada para teradu.
Melalui pengaduan ini, para pengadu berharap menjadi efek jera bagi penyelenggara pemilu untuk tidak bermain-main dengan konstitusi dan aturan main pemilu demokratis.
Selanjutnya seluruh jajaran penyelenggara pemilu mampu menjaga kemandirian institusi penyelenggara pemilu mampu dengan sungguh-sungguh membebaskan diri dari segala kepentingan partisan ataupun pengaruh pihak mana pun yang bisa mendegradasi independensi, kredibilitas, dan integritas penyelenggaraan pemilu.
Undang-Undang Pemilu yang pernah menjadi payung hukum sejumlah peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU RI) pada Pemilu 2019, memuat kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu, misalnya. Pasal ini mengatur bahwa Mahkamah Agung memutus penyelesaian pengujian peraturan KPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
Keberadaan ketentuan tersebut tentunya dalam rangka menjaga keberlanjutan tahapan pemilu agar tidak terganggu serta dalam rangka meneguhkan prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 UU Pemilu.
Dengan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, mengandung harapan tidak ada implementasi teknis pemilu yang bermasalah dan juga bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Pasalnya, keadilan yang tertunda merupakan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.
Kekuasaan kehakiman memang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, kemerdekaan hakim untuk memutus sejatinya harus pula memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Pemilu.
Apalagi, terkait dengan pencalonan anggota legislatif. Menurut pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, ada kerangka waktu yang mengikat penyelenggara, peserta, dan pemilih, terutama berkaitan dengan status pencalonan pada pemilu anggota legislatif (pileg).
Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI ini mengingatkan kepada KPU RI agar jangan sampai menggunakan dalih putusan yang terbit terlambat untuk menghindari pelaksanaan putusan sebagaimana pernah terjadi dalam Putusan MK No.80/PUU-XX/2022 terkait dengan penataan daerah pemilihan.
KPU hanya parsial melaksanakan putusan MK dengan mengatur dapil dalam PKPU. Namun, tidak melakukan penataan sebagaimana yang diputuskan MK dalam pertimbangan hukumnya.
Titi selaku salah satu pemohon berharap MA bisa memutus pengujian PKPU 10/2023 tidak melampaui tenggat sekaligus bisa menegakkan konstitusionalitas Pemilu 2024 dengan sebaik-baiknya.
Pengujian atas Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bukan hanya penting bagi integritas Pemilu 2024, melainkan juga merupakan tonggak penting bagi pengawalan gerakan perempuan politik di Indonesia.
Mahkamah Agung harus pula menimbang kemajuan dan masa depan kehadiran perempuan politik yang telah diperjuangkan sebagai salah satu aspirasi reformasi dan bagian dari mendobrak diskriminasi politik yang dihadapi perempuan Indonesia.
Asa yang terkandung adalah MA berpihak pada pemilu inklusif melalui pencalonan yang ramah keterwakilan perempuan sebagaimana amanat Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Revisi PKPU
Jika merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum, masih ada ruang KPU RI merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Sesuai dengan jadwal, pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota mulai 24 April 2023 hingga 25 November 2023. Namun, hingga sekarang MA belum memutuskan Perkara Nomor 24 P/HUM/2023, padahal dalam UU Pemilu ada ketentuan terkait dengan durasi waktu penyelesaian pengujian PKPU.
Sebelumnya, pada hari Senin (5/6) lima pemohon (dua badan hukum privat dan tiga perseorangan), yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib mengajukan permohonan uji materi PKPU No. 10/2023 ke MA.
Pemohon mengujimaterikan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 245 UU No. 7/2017, dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita.
Meski sudah menyampaikan kepada publik untuk merevisi ketentuan pembulatan ke bawah tersebut, hingga saat ini KPU tidak pernah merealisasikannya.
Hal inilah tampaknya yang mendorong Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan pada hari Selasa (15 Agustus 2023) mengadukan Ketua dan anggota KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu terkait dengan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg Pemilu Anggota DPR RI dan pemilu DPRD pada tahun 2024.
Para pengadu terdiri atas Mikewati Vera Tangka (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia), Listyowati (Ketua Yayasan Kalyanamitra), Misthohizzaman (Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Wirdyaningsih (dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan anggota Bawaslu RI periode 2008—2012), serta Hadar Nafis Gumay (Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity).
Pengaduan dilatarbelakangi oleh perbuatan KPU yang pada tanggal 17 April 2023 telah menetapkan PKPU No. 10/2023. Dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a diatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.
Ketentuan a quo dalam praktiknya (merujuk pada data yang dirilis melalui laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Dprri_tahap_pengajuan), telah mengakibatkan 17 partai politik tidak memenuhi pencalonan perempuan di 290 daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR RI sebagaimana perintah Pasal 245 UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Fenomena serupa juga terjadi dalam pencalonan pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam skala yang lebih besar dan masif. Dalam rilisnya pada hari Selasa (15/8), disebutkan terdapat 860 dapil Pemilu DPRD provinsi dan 6.821 dapil DPRD kabupaten/kota yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen.
Padahal, pada tanggal 10 Mei 2023, para teradu, Ketua dan anggota KPU bersama Bawaslu dan DKPP melakukan konferensi pers menyampaikan pernyataan secara terbuka adanya kesepakatan untuk melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023. Selanjutnya, pada tanggal 17 Mei 2023, para teradu melakukan rapat konsultasi revisi PKPU No. 10/2023 bersama DPR dan Pemerintah.
Namun, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menilai KPU malah kembali melanggar prinsip mandiri karena mengikatkan diri pada hasil rapat dengar pendapat bersama DPR dan Pemerintah. Bahkan, terkesan mengabaikan aspirasi besar masyarakat untuk mengubah ketentuan Pasal 8 ayat (2) sebagaimana semangat Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 245 UU No. 7/2017.
Para teradu membatalkan revisi Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 tanpa penjelasan yang memadai kepada segenap masyarakat yang peduli terhadap pemenuhan hak politik perempuan paling sedikit 30 persen sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD.
Oleh karena itu, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengadukan Ketua dan anggota KPU (Hasyim Asy’ari, Idham Holik, August Mellaz, Yulianto Sudrajat, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, dan Mochammad Afifuddin) karena ada dugaan telah melakukan perbuatan sebagai berikut.
Pertama, ada dugaan KPU melakukan tindakan melanggar prinsip mandiri dalam menyusun regulasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023 terkait dengan norma pembulatan desimal ke bawah penghitungan keterwakilan perempuan juncto Lampiran V Keputusan 352/2023.
Menurut mereka, tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No. 7/2017, khususnya pengaturan daftar bakal caleg pada setiap daerah pemilihan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan (vide Pasal 243, 244, dan 245 UU No. 7/2017).
Kedua, ada dugaan KPU melakukan pembohongan kepada publik terkait dengan perubahan atau perbaikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023.
Dalam hal ini, para pengadu mengajukan petitum kepada DKPP agar menyatakan para teradu melakukan pelanggaran kode etik berat dan telah melanggar Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Selain itu, meminta agar DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada para teradu.
Melalui pengaduan ini, para pengadu berharap menjadi efek jera bagi penyelenggara pemilu untuk tidak bermain-main dengan konstitusi dan aturan main pemilu demokratis.
Selanjutnya seluruh jajaran penyelenggara pemilu mampu menjaga kemandirian institusi penyelenggara pemilu mampu dengan sungguh-sungguh membebaskan diri dari segala kepentingan partisan ataupun pengaruh pihak mana pun yang bisa mendegradasi independensi, kredibilitas, dan integritas penyelenggaraan pemilu.
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2023
0 comments:
Post a Comment