Semarang (ANTARA) - Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut penghitungan suara dengan metode dua panel akan mengurangi akses pemilih atau masyarakat untuk mengikuti keseluruhan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS).

Menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Kamis, Titi Anggraini mengemukakan bahwa metode penghitungan suara di TPS menjadi dua panel sepintas akan memberikan beban kerja yang lebih ringan kepada petugas saat menghitung suara pada hari-H pemilu.

Anggota Dewan Pembina Perludem ini mengemukakan hal itu ketika merespons draf Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (RPKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum yang mengatur penghitungan suara metode dua panel.

Dalam Pasal 45 RPKPU menyebutkan penghitungan suara dapat dengan metode dua panel, yaitu panel A mencakup Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Anggota DPD, dan panel B mencakup Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Diatur dalam RPKPU bahwa komposisi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada setiap panel, yaitu panel A terdiri atas ketua KPPS dan dua anggota KPPS lainnya, sedangkan panel B terdiri atas empat anggota KPPS lain yang tidak bertugas pada panel A.

Namun, menurut Titi, skema itu akan berdampak pada berkurangnya akses masyarakat pada transparansi dan partisipasi untuk mengikuti keseluruhan penghitungan suara di TPS.

Baca juga: KPU tidak jadi terapkan model dua panel penghitungan suara Pemilu 2024

Saat penghitungan suara pemilu presiden/wakil presiden (pilpres) berlangsung, misalnya, penghitungan suara Pemilu Anggota DPR RI juga sedang dilaksanakan. Sebagai pemilih atau pemantau kalau datang sendirian, kata Titi, hanya bisa mengikuti salah satu.

"Padahal, kalau tidak menerapkan metode penghitungan suara dua panel, publik dan para pihak bisa mengikuti dan memantau keduanya," kata Titi yang juga pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI.

Titi berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi derajat akuntabilitas penghitungan suara jika dibandingkan dengan praktik penghitungan suara selama ini, yaitu terpisah dan berurutan satu demi satu.

Selain itu, mekanisme dua panel seperti itu juga memerlukan fasilitasi TPS yang cukup luas dan memadai. Padahal, praktik pemilu sebelumnya, ada sejumlah TPS yang lokasinya sangat sempit.

Kalau dibagi dua panel, menurut Titi, akan sangat mengurangi keleluasaan mobilitas petugas, saksi peserta pemilu, dan pengawas. Di samping itu, suara yang keluar saat penghitungan berlangsung akan berdekatan dan hal itu bisa mendistorsi konsentrasi proses antarpanel.

"Pengawasan pasti tidak akan optimal dalam penghitungan dua panel. Ini mengingat UU Pemilu mengatur bahwa petugas pengawas TPS yang merupakan perpanjangan tangan Bawaslu, jumlahnya hanya satu pada setiap TPS," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.

Baca juga: KPU: Penggunaan 2 panel buat waktu penghitungan suara lebih efisien

Ia lantas berkata, "Bagaimana satu orang petugas pengawas TPS bisa mengawasi penghitungan suara dua panel yang berlangsung bersamaan secara cermat dan profesional?"

Perhatian pemilih, kata dia, pasti akan tersedot pada penghitungan suara pilpres daripada penghitungan suara Pemilu Anggota DPR RI. Hal itu bisa saja memicu terjadinya kecurangan dan manipulasi saat prosesnya berlangsung akibat pengawasan yang tidak maksimal.

Oleh karena itu, harus dipertimbangkan pula bahwa kapasitas petugas yang bekerja pada dua panel haruslah dalam standar minimal yang sama baiknya. Artinya pelatihan atau bimbingan teknis harus dilakukan kepada semua petugas TPS, tidak bisa hanya pada satu atau dua orang saja.

Dengan demikian, kata Titi, beban kerja petugas akan merata, baik dari sisi pengetahuan maupun penguasaan keterampilan teknis penghitungan suara.

"Beban kerja berat para petugas di TPS yang perlu dikurangi itu adalah terkait penyalinan hasil penghitungan suara," tuturnya.

Untuk penyalinan hasil, menurut dia, perlu ada terobosan sehingga salinan hasil tidak perlu secara manual. Masalahnya, penyalinan manual sangat makan waktu dan melelahkan, membuat kerja petugas menjadi lebih lama dan panjang, terutama jika terjadi kesalahan pencatatan salinan.

Ia meminta KPU sebaiknya serius memikirkan digitalisasi penyalinan hasil pemilu di TPS daripada melanjutkan penghitungan suara dua panel. Penghitungan suara dua panel tidak akan mengurangi beban, malah akan berpotensi menimbulkan kegaduhan baru di TPS.

Baca juga: KPU rancang metode penghitungan suara dua panel pada Pemilu 2024
Baca juga: Aktivis: Kecepatan hitung suara penting cegah kecurangan
Baca juga: Ikhtiar KPU cegah tragedi kematian KPPS terulang di Pemilu 2024

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Didik Kusbiantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2023