Jakarta (ANTARA) - Batas akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2024 semakin dekat, dan gemuruhnya semakin terasa.

Para pemimpin politik kian rekat menguatkan koalisi yang bermuara kepada calon presiden dan wakil presiden yang hendak mereka majukan.

Koalisi Nasdem dan PKS, yang tadinya bersama Demokrat, melakukan gebrakan dengan menggandeng Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden guna mendampingi calon presiden mereka, Anies Baswedan.

Gebrakan ini mengubah peta politik dan koalisi itu sendiri, ketika Demokrat keluar dari koalisi tersebut karena merasa dikhianati.

Namun, gebrakan itu menggambarkan betapa kuatnya pragmatisme yang didasari kalkulasi elektoral yang memang lumrah dalam proses politik.

Kalkulasi paling dominan adalah bahwa Muhaimin dianggap sebagai representasi Nahdlatul Ulama dan Jawa Timur yang merupakan salah satu kantong suara sangat menentukan dalam memenangi pemilu.

Dia menjadi imbuhan besar untuk tingkat elektabilitas Anies dan sekaligus dapat mendongkrak potensi suara yang diraup koalisi yang kini ditambah PKB itu.

Keputusan koalisi itu sendiri hanya memperkuat keyakinan selama ini bahwa sejumlah daerah terlihat istimewa di bandingkan dengan daerah-daerah lainnya, tentunya dari kaca mata demografi suara.

Jawa Timur dan hampir Pulau Jawa, plus Sumatera Utara, acap menjadi penentu kemenangan pemilu, karena jumlah pemilihnya yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Coba saja lihat statistik ini. Dari 204,8 juta pemilih yang sudah dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum masuk DPT Pemilu 2024, sebanyak 60 persen terkonsentrasi di enam provinsi; yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten, dan DKI Jakarta.

Sebanyak 95,3 juta dari total 204,8 pemilih nasional itu berada di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Angka itu setara dengan 47 persen DPT nasional.

Koalisi pengusung Anies-Muhaimin pasti mempedulikan peta elektoral ini.

Hal sama tampaknya bakal dilakukan koalisi-koalisi pengusung Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo yang sejauh ini belum menyebutkan bakal calon wakil presiden.

Kedua koalisi ini mungkin bisa bercermin pada Pemilu 2019, mengingat dua parpol utama yang menyokong mereka, PDIP dan Gerindra, kembali saling berhadapan.

Pada pemilu 2019, Joko Widodo menang dengan meraih 55,50 persen dari total pemilih Indonesia yang menggunakan suaranya waktu itu, sedangkan Prabowo mendapatkan 44,50 persen.

Dari 55,50 persen suara yang diperoleh Jokowi, hampir separuh atau 21 persen disumbang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jokowi juga memenangi suara mayoritas suara di 22 provinsi.

Sementara dari 44,5 persen yang diperoleh Prabowo, porsi suara terbesar diperoleh dari Jawa Barat, yang menyumbangkan 10,42 persen dari total suara secara nasional yang diraih Prabowo pada pemilu tahun itu. Jokowi sendiri mendapatkan 7 persen suara nasional dari Jawa Barat.

Dari data itu, Jawa Barat adalah area yang mesti direbut Ganjar, tapi juga menjadi daerah yang tak boleh lepas dari Prabowo.

Prabowo juga dituntut merebut Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia bisa mempertimbangkan kalkulasi sama seperti yang ditempuh Nasdem-PKS dengan menggandeng tokoh yang merepresentasikan simbol dominan di dua wilayah itu, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam kaitan ini, orang-orang, seperti Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawansa, dan tokoh-tokoh NU lain, menjadi faktor penting yang bisa turut menggemukkan suara Prabowo di dua wilayah itu.

Yenny dan Khofifah, bahkan memiliki nilai plus sebagai tokoh perempuan yang sejak Megawati Soekarno Putri pada pemilu 2014 tak pernah lagi terwakilkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia.

Akan halnya Ganjar, dia bisa membidik Jawa Barat, yang merupakan pemilik suara terbanyak dalam setiap pemilu, setelah memiliki basis kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengacu kepada suara yang didapatkan Jokowi dalam pemilu 2014 dan 2019.


Kompromi dan pragmatisme

Salah satu simbol kuat yang merepresentasikan Jawa Barat adalah Ridwan Kamil, yang memperoleh 32,88 persen suara pada Pilkada Jawa Barat 2018.

Memang jauh di bawah Ahmad Heryawan dalam Pilkada langsung pertama di Jawa Barat pada 2008 yang memperoleh 40,50 persen suara, tapi angka itu sedikit lebih besar dibandingkan suara yang didapatkan Ahmad Heryawan pada Pilkada Jawa Barat 2013.

Jawa Barat juga belum benar-benar terepresentasikan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia.

Namun kalkulasi politik semacam itu bisa diabaikan, oleh hadirnya tokoh-tokoh yang tak merepresentasikan wilayah elektoral, tapi memiliki reputasi profesional yang bagus dan kuat.

Mereka bisa menjadi pendamping ideal untuk seorang calon presiden dan bisa turut memperbesar peluang memenangi pemilu.

Untuk itu, dua koalisi yang belum menentukan bakal calon wakil presiden bisa menggandeng tokoh-tokoh dengan kaliber itu, termasuk Erick Thohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Andika Perkasa, dan lainnya. Erick, saat ini, bahkan memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan umumnya para bakal calon wakil presiden.

Namun, jika akhirnya proses politik di Indonesia mesti ditentukan oleh bagaimana elite politik fokus kepada bagian yang lebih banyak dari total populasi, tetap tidak salah.

Lebih dari itu, Indonesia bukan satu-satunya yang melakukan hal seperti itu.

Narendra Modi di India, Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brazil, Benjamin Netanyahu di Israel, Recep Tayyip Erdogan di Turki, adalah contoh-contoh di mana pemilu era ini cenderung fokus membidik bagian terbanyak dari total populasi.

Di India, Narendra Modi dan Partai Bharatia Janata, fokus membidik suara mayoritas Hindu yang mencapai 79,8 persen dari total penduduk negeri itu.

Di Amerika Serikat pada 2016, Donald Trump terkonsentrasi membidik warga kulit putih yang menjadi mayoritas dengan mengambil porsi 60 persen dari total populasi Amerika Serikat. Pun demikian dengan Erdogan dan lainnya.

Akibatnya, populisme dalam politik merebak sampai kemudian memicu ekstremisme politik di mana-mana.

Begitulah realitas politik saat ini. Elite politik sepertinya diharuskan pragmatis dan menuruti naluri elektoral, walau kadang terlihat mengesampingkan loyalitas, program, dan pesan persatuan nasional.

Namun, saat yang sama, kompromi menjadi bahasa umum politik. Diksi kompromi, yang mensyaratkan keluwesan mengahadpi realitas, juga menjadi pegangan para pihak yang berkompetiisi pada Pemilu 2024, termasuk para pendukung calon, dengan tidak memaksakan calonnya harus menang. Diksi kompromi, menjadi pintu untuk kita memasuki pemilu dengan penuh riang dan menempat rasa bersaduadar sesama bangsa di atas kata "harus menang". 

Di Thailand baru-baru ini, partai penggugat kemapanan dipaksa berkoalisi dengan pihak-pihak kemapanan yang mereka gugat. Sebaliknya, pihak yang menolak kompromi, seperti Partai Move Forward, tak mendapatkan apa-apa, padahal partai ini menjadi pemenang Pemilu 2023.

Sebaliknya di Mesir pada 2012, Ikhwanul Muslimin melalui Mohamed Morsi dan Partai Kebebasan dan Keadilan, menolak kompromi, sehingga menciptakan krisis politik yang mengundang militer menggulingkan Morsi dan memaklumatkan Partai Kebebasan dan Keadilan sebagai organisasi terlarang.

Di Turki, dalam beberapa tahun terakhir, Erdogan dipaksa berkoalisi dengan partai-partai nasionalis-kanan yang memiliki platform politik relatif berseberangan dengan AKP yang nasionalis-religius.

Di Amerika Serikat pada 2020, Partai Demokrat mencampakkan tokoh populer Bernie Sanders dari pertarungan menjadi calon presiden dari partai ini, karena dianggap hanya merepresentasikan satu segmen dari struktur besar pemilih.

Joe Biden kemudian dimunculkan sebagai jalan tengah, agar, baik pemilih progresif maupun pemilih moderat, sama-sama bisa memilih tokoh Partai Demokrat sebagai pemimpin negara itu.

Fakta-fakta itu melukiskan realitas politik mengharuskan pelaku-pelaku politik untuk pragmatis. Namun, bukan berarti mereka berusaha menjalankan kebijakan yang diskriminatif ketika mereka memenangi pemilu untuk kemudian berkuasa.

Sebaliknya, mereka cenderung menampilkan wajah pemerintahan yang merangkul semua kalangan, termasuk Donald Trump yang acap dituding rasis dan memecah belah bangsa.

Ini terjadi karena politik tak lebih dari seni berkompromi untuk tujuan-tujuan bersama yang diterima oleh bagian paling banyak dalam masyarakat.

Dalam kata lain, politik adalah tentang mencari yang lebih baik di antara yang memiliki kelebihan dan kekurangan, bukan tentang hitam di atas putih, apalagi haram dan halal.

Politik, menurut ilmuwan politik terkemuka, Harold Lasswell, adalah tentang "siapa mendapatkan apa, dan kapan serta bagaimana mendapatkannya."

 

COPYRIGHT © ANTARA 2023