Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM) Syukron Jamal menyatakan, anjuran Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas terkait politisasi agama sangat tepat.
"Pernyataan Menag sangat tepat dan strategis sebagai imbauan moral seorang pejabat publik, kami sangat mengapresiasi hal tersebut," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan Syukron terkait anjuran memilih pemimpin, yakni dengan melihat rekam jejak, utamanya calon pemimpin dalam soal politisasi agama.
Menurut dia, Indonesia punya sejarah kelam politik elektoral, yang telah membuat polarisasi cukup kuat di masyarakat yakni pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu (Pilpres) 2019.
JMM menilai apa yang disampaikan oleh Menag patut disambut baik, dalam upaya mencegah polarisasi dan politik pecah belah utamanya dalam mengatasnamakan agama.
"Cukuplah Pilpres 2019 menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, bagaimana semangat persatuan dan persaudaraan antar sesama, antar umat dan anak bangsa teramat mahal untuk dipertaruhkan hanya demi kekuasaan," jelasnya.
Menurut Syukron, politisasi agama berpotensi bakal digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkontestasi di Pilpres 2024. Hal itu untuk meraih dukungan dan simpatik dengan membangun narasi sebagai pihak paling relijius, agamis, merasa paling benar sedangkan yang lain salah. Narasi itu bahkan kadang dibangun dari informasi sesat, hoaks, dan ujaran kebencian.
"Ironisnya upaya tersebut sudah mulai terlihat dari dinamika pertarungan opini di berbagai platform sosial media termasuk aplikasi percakapan WA group. Kita jangan menutup mata atau pura-pura tidak tahulah dengan fakta ini," katanya menegaskan.
Selanjutnya, kata Syukron upaya Menag perlu dilihat dalam konteks mitigasi mencegah konflik horizontal di masyarakat karena perbedaan pilihan serta upaya penyadaran masyarakat agar lebih aware menjaga suasana kondusif aman, damai dan tenteram pada Pemilu 2024 mendatang.
"Konteknya harus tegas bukan ingin memisahkan masalah agama dan politik tapi justru bagaimana menghadirkan politik yang beradab, politik rahmatan lil alamin yang sama-sama harus kita bangun atas nama persatuan dan kesatuan bangsa," jelasnya.
Sebelumnya Menteri Agama Yaqut Cholil kembali berkomentar tentang pemimpin masa depan. Menag meminta jangan memilih pemimpin bermulut manis dan ganteng saja. Hal tersebut disampaikan Menag saat membuka acara Majelis Nichiren Shoshu Budha di Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 30 September 2023.
"Harus lihat rekam jejaknya. Jangan karena bicaranya enak, mulutnya manis, mukanya ganteng itu dipilih. Jangan asal begitu," kata Menag.
Gus Yaqut mengingatkan semua pihak agar tidak menjadikan agama sebagai alat untuk berpolitik.
"Agama jangan digunakan sebagai alat untuk merebut kekuasaan, jangan jadikan agama sebagai alat berpolitik," pesan Menag.
Baca juga: Para tokoh agama deklarasikan Pemilu 2024 damai tanpa politisasi agama
Baca juga: Kemenag: hindari politisasi agama dalam kampanye Pemilu 2024
"Pernyataan Menag sangat tepat dan strategis sebagai imbauan moral seorang pejabat publik, kami sangat mengapresiasi hal tersebut," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan Syukron terkait anjuran memilih pemimpin, yakni dengan melihat rekam jejak, utamanya calon pemimpin dalam soal politisasi agama.
Menurut dia, Indonesia punya sejarah kelam politik elektoral, yang telah membuat polarisasi cukup kuat di masyarakat yakni pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu (Pilpres) 2019.
JMM menilai apa yang disampaikan oleh Menag patut disambut baik, dalam upaya mencegah polarisasi dan politik pecah belah utamanya dalam mengatasnamakan agama.
"Cukuplah Pilpres 2019 menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, bagaimana semangat persatuan dan persaudaraan antar sesama, antar umat dan anak bangsa teramat mahal untuk dipertaruhkan hanya demi kekuasaan," jelasnya.
Menurut Syukron, politisasi agama berpotensi bakal digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkontestasi di Pilpres 2024. Hal itu untuk meraih dukungan dan simpatik dengan membangun narasi sebagai pihak paling relijius, agamis, merasa paling benar sedangkan yang lain salah. Narasi itu bahkan kadang dibangun dari informasi sesat, hoaks, dan ujaran kebencian.
"Ironisnya upaya tersebut sudah mulai terlihat dari dinamika pertarungan opini di berbagai platform sosial media termasuk aplikasi percakapan WA group. Kita jangan menutup mata atau pura-pura tidak tahulah dengan fakta ini," katanya menegaskan.
Selanjutnya, kata Syukron upaya Menag perlu dilihat dalam konteks mitigasi mencegah konflik horizontal di masyarakat karena perbedaan pilihan serta upaya penyadaran masyarakat agar lebih aware menjaga suasana kondusif aman, damai dan tenteram pada Pemilu 2024 mendatang.
"Konteknya harus tegas bukan ingin memisahkan masalah agama dan politik tapi justru bagaimana menghadirkan politik yang beradab, politik rahmatan lil alamin yang sama-sama harus kita bangun atas nama persatuan dan kesatuan bangsa," jelasnya.
Sebelumnya Menteri Agama Yaqut Cholil kembali berkomentar tentang pemimpin masa depan. Menag meminta jangan memilih pemimpin bermulut manis dan ganteng saja. Hal tersebut disampaikan Menag saat membuka acara Majelis Nichiren Shoshu Budha di Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 30 September 2023.
"Harus lihat rekam jejaknya. Jangan karena bicaranya enak, mulutnya manis, mukanya ganteng itu dipilih. Jangan asal begitu," kata Menag.
Gus Yaqut mengingatkan semua pihak agar tidak menjadikan agama sebagai alat untuk berpolitik.
"Agama jangan digunakan sebagai alat untuk merebut kekuasaan, jangan jadikan agama sebagai alat berpolitik," pesan Menag.
Baca juga: Para tokoh agama deklarasikan Pemilu 2024 damai tanpa politisasi agama
Baca juga: Kemenag: hindari politisasi agama dalam kampanye Pemilu 2024
Pewarta: Fauzi
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2023
0 comments:
Post a Comment