Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatkan banyak kasus tindak pidana korupsi terungkap pada saat tahun politik.
"Kasus korupsi itu terjadi terbanyak terungkap oleh KPK di saat tahun politik, 2015, 2017, dan 2018," ucap Firli saat Webinar Nasional Pilkada Beintegritas 2020 yang disiarkan melalui Youtube KPK, Selasa.
Bahkan pada 2018, lanjut Firli, KPK telah menangkap 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
"Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap saya harus katakan itu, kasus korupsi tertinggi yang tertangkap karena bisa saja banyak belum tertangkap. Setidaknya 30 kali tertangkap kepala daerah," ungkap Firli.
Baca juga: KPK bekali calon kepala daerah untuk wujudkan pilkada berintegritas
Baca juga: KPK bekali pilkada berintegritas di empat provinsi
Baca juga: Ketua KPK khawatir potensi korupsi dapat meningkat saat Pilkada 2020
Soal pelaksanaan pilkada, ia pun mengungkapkan masalah pendanaan pilkada, yakni adanya kesenjangan (gap) antara biaya pilkada dengan kemampuan harta pasangan calon kepala daerah. Artinya, total harta pasangan calon kepala daerah tidak mencukupi biaya pilkada.
"Dari hasil penelitian kita bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon bahkan dari LHKPN itu minus. Jadi, total hartanya cuma rata-rata Rp18 miliar bahkan ada tidak sampai Rp18 miliar. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada," kata Firli.
Berdasarkan survei KPK pada pelaksanaan pilkada 2015, 2017, dan 2018, total harta rata-rata satu pasangan calon adalah Rp18.039.709.967 bahkan ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15.172.000.
"Jadi, ini wawancara 'indepth interview' ada yang ngomong Rp5 miliar sampai Rp10 miliar tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus mau 'nyalon' saja sudah minus," tuturnya.
Selain itu, ia pun mengungkapkan dari hasil penelitian terdapat 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh pihak ketiga atau sponsor.
"Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.
"Kasus korupsi itu terjadi terbanyak terungkap oleh KPK di saat tahun politik, 2015, 2017, dan 2018," ucap Firli saat Webinar Nasional Pilkada Beintegritas 2020 yang disiarkan melalui Youtube KPK, Selasa.
Bahkan pada 2018, lanjut Firli, KPK telah menangkap 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
"Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap saya harus katakan itu, kasus korupsi tertinggi yang tertangkap karena bisa saja banyak belum tertangkap. Setidaknya 30 kali tertangkap kepala daerah," ungkap Firli.
Baca juga: KPK bekali calon kepala daerah untuk wujudkan pilkada berintegritas
Baca juga: KPK bekali pilkada berintegritas di empat provinsi
Baca juga: Ketua KPK khawatir potensi korupsi dapat meningkat saat Pilkada 2020
Soal pelaksanaan pilkada, ia pun mengungkapkan masalah pendanaan pilkada, yakni adanya kesenjangan (gap) antara biaya pilkada dengan kemampuan harta pasangan calon kepala daerah. Artinya, total harta pasangan calon kepala daerah tidak mencukupi biaya pilkada.
"Dari hasil penelitian kita bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon bahkan dari LHKPN itu minus. Jadi, total hartanya cuma rata-rata Rp18 miliar bahkan ada tidak sampai Rp18 miliar. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada," kata Firli.
Berdasarkan survei KPK pada pelaksanaan pilkada 2015, 2017, dan 2018, total harta rata-rata satu pasangan calon adalah Rp18.039.709.967 bahkan ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15.172.000.
"Jadi, ini wawancara 'indepth interview' ada yang ngomong Rp5 miliar sampai Rp10 miliar tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus mau 'nyalon' saja sudah minus," tuturnya.
Selain itu, ia pun mengungkapkan dari hasil penelitian terdapat 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh pihak ketiga atau sponsor.
"Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: M Arief Iskandar
COPYRIGHT © ANTARA 2020
0 comments:
Post a Comment