Magelang (ANTARA) - Buah maja tergeletak pagi itu di dekat kaki utara Candi Pendem, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan barat daya Gunung Merapi, ketika para seniman petani menggelar lanjutan Festival Lima Gunung XIX/2020 di tengah pandemi COVID-19.

Tiga hari sebelum putaran ke-10 tahun ini festival tahunan secara mandiri oleh Komunitas Lima Gunung itu, Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Geologi (BPPTKG) di Yogyakarta memutuskan menaikkan status aktivitas Merapi dari level II (waspada) ke level III (siaga).

Satu lagi, level IV (awas), menandakan tingkat bahaya tertinggi atas erupsi gunung api dengan wilayah meliputi beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Keputusan BPPTKG itu tentu berdasarkan kajian data-data ilmiah yang dikumpulkan dari pengamatan atas aktivitas vulkanik Merapi.

Memori kolektif kepahitan situasi atas erupsi dahsyat Merapi pada 2010 disusul banjir lahar hujan bertubi-tubi hingga sekitar setahun kemudian, terasa masih melekat di masyarakat maupun berbagai pihak lainnya.

Di tengah hujan abu tebal dari erupsi Merapi, warga mengungsi menjauh dari bahaya gunung itu. Berbagai tempat menjadi lokasi pengungsian. Pertolongan untuk mengeluarkan kepahitan warga Merapi datang dari mana-mana hingga masa pemulihan.

Salah satu pelajaran dipetik atas peristiwa Merapi 2010 itu, Pemerintah Kabupaten Magelang mengembangkan model pengungsian dalam konsep "Desa Bersaudara". Sudah ditentukan warga setiap desa di kawasan Merapi mengungsi ke desa mana yang lebih aman dan relatif jauh dari gunung itu.

Dalam beberapa hari stasus siaga Merapi, warga yang dinilai rentan, seperti lansia, perempuan, dan anak-anak mendapat prioritas mengungsi. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana, termasuk pengetesan COVID-19, kepada mereka yang mengungsi karena di tengah pandemi.

Hampir 1.000 warga dari sejumlah dusun di Merapi dievakusi oleh petugas gabungan dan relawan penanganan bencana. Mereka menempati beberapa lokasi pengungsian "Desa Bersaudara", antara lain di Desa Deyangan dan Banyurojo (Kecamatan Mertoyudan), Desa Tamanagung (Kecamatan Muntilan), dan Desa Ngrajek (Kecamatan Mungkid).

Salah satu gedung sekolah di Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, juga telah dibuka untuk antisipasi tambahan pengungsi Merapi. Entahlah, keputusan itu apa masih terkait dengan pengungsian "Desa Bersaudara", namun tampaknya improvisasi kebijakan pemkab berdasarkan mitigasi bencana.

Berdasarkan data-data keilmuan, BPPTK memprakirakan erupsi Merapi tak sedahsyat peristiwa serupa satu dasawarsa lalu. Perkembangan aktivitas Merapi masih terus dipantau para ahli didukung dengan kemajuan perangkat teknologi.

Para warga juga tetap mencermati perkembangan situasi berdasarkan laporan BPPTK dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang sebagai kewaspadaan atas bahaya Merapi.

Mereka juga mencermati situasi alam gunungnya, sebagaimana dilakukan Sibang, seorang warga dusun terakhir di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, menunggu sajian olah gerak satwa, seperti arah terbang rombongan burung atau binatang lainnya, sebagai salah satu tanda alam Merapi akan erupsi.

"Durung ono (belum ada) Mas. (Rombongan burung terbang menjauhi dari Merapi belum tampak, red.). Tapi kami memang waspada ini," ucapnya.

Pakar vulkanologi Surono, dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta belum lama ini menyebut, mencermati aktivitas Merapi, termasuk untuk menentukan tingkat bahaya bagi masyarakat sekitar, sebagai suatu seni tersendiri yang dijalani para ahli gunung berapi.

"Saya pernah mengalami," kira-kira begitu ujarnya ketika mengemukakan kejadian Merapi 2010. Sejumlah kalangan waktu itu, menyebut Surono yang legendaris sebagai Mbah Rono, setelah Mbah Marijan yang spiritual dan fenomenal Merapi itu mangkat karena tersapu awan panas dalam erupsi dahsyat gunung tersebut.

Bencana erupsi Merapi memang terasa sebagai situasi pahit dihadapi masyarakatnya. Namun, mereka juga sekaligus hidup, memperoleh kehidupan, dan menjalani kehidupan dari berkah Merapi, seperti melalui kemahiran olah pertanian, kelincahan penambangan material vulkanik, menghidupi kekayaan seni tradisi budaya, serta memanfaatkan lokasi berdaya tarik turisme.

Hanya karena jembatan membentang di atas Sungai Senowo menghubungkan Desa Mangunsoko-Sumber yang diresmikan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu saja, kini infrastruktur itu menjadi titik menarik orang berdatangan untuk berswafoto dengan latar belakang Gunung Merapi dan teras-teras aliran air yang meluncur melalui cekdamnya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto berbicara pada putaran ke-10 Festival Lima Gunung XIX/2020 di Candi Pendemi, di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, belum lama ini. (ANTARA/Hari Atmoko)

Komunitas Lima Gunung dengan anggotanya pada umumnya kalangan seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), seperti mendapat momentum tepat, ketika kenaikan status aktivitas vulkanik Merapi itu, beberapa waktu sebelumnya telah merencanakan mengolah aura cagar budaya Candi Pendemi, sekitar 15 kilometer dari puncak Merapi, untuk lokasi lanjutan festival mereka.

Penulis kebudayaan, Bre Redana yang berkomunikasi dengan pimpinan tertinggi komunitas itu, budayawan Sutanto Mendut, mendapatkan "panggung terhormat" untuk prapeluncuran novelnya, "Dia Gayatri". Novel yang bercerita tentang arca Gayatri, peninggalan Kerajaan Mapajahit itu.

Jadilah festival putaran ke-10 dalam suasana siaga Merapi dan pagebluk COVID-19 itu berjudul "Suluk Batin Gayatri". Novel "Dia Gayatri" antara lain menggambarkan pendidikan dari ayahnya, Kertanegara, Raja Singosari itu, tentang Nusantara.

Prapeluncuran ditandai dengan performa seni, pembacaan guritan, suluk, dan ritus kontemporer seniman petani komunitas itu di Candi Pendemi yang pagi tersebut tampak berlatar belakang Gunung Merapi.

Dalam ritus kontemporer dipimpin ketua komunitas, Supadi Haryanto itu, mereka berdoa untuk terhindar dari bahaya, bencana, pagebluk, nestapa, dan menautkan harapan agar selalu beroleh kelancaran penghidupan sehari-hari. Oleh Bre, dikatakan ritual memiliki arti besar dalam tradisi kehidupan masyarakat.


Wawasan Nusantara

Gayatri, baik semasa menjadi salah satu istri Raden Wijaya maupun sudah bergelar ibu suri Kerajaan Majapahit, secara cerdas dan intensif berkelindan dengan keadaan, mengoperasionalkan gagasan kepada Gajah Mada tentang wawasan Nusantara yang kemudian mendapatkan ruang dan waktu menjadi jejak luhur bangsa, Sumpah Palapa.

Sumpah dahsyat itu kemudian menggelorakan semangat mewujudkan harapan luhur untuk pencapaian kejayaan Majapahit dan tonggak sejarah penting tentang persatuan Indonesia.

Upaya menyatukan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit tentu bukan perjuangan mudah. Ada pahit getir perjuangan ditumpahkan. Bahkan, dalam Perang Bubat yang menodai kehormatan Raja Hayam Wuruk, dalam "Dia Gayatri" dikisahkan membuat Gajah Mada dipecat sebagai patih.

Bre menyebut peristiwa lanjutan Festival Lima Gunung di Candi Pendemi yang bertepatan pada November 2020, di tengah pagebluk COVID-19, dan status siaga Merapi juga mendapat waktu tepat karena terjadi pada "Bulan Majapahit".

Kerajaan Majapahit yang berdiri di atas bekas hutan Tarik di wilayah Jawa Timur sekarang itu, ditandai dengan penobatan Raden Wijaya pada 1293 di bulan November. Nama Majapahit, banyak catatan menyebut berasal dari buah maja yang rasanya pahit. Tentu saja para prajurit atau pengikut Raden Wijaya saat itu berjerih susah dan pahit juga dalam membuka hutan Tarik.

"Ini bukan main-main. Ini bulan harapan. Acara ini persis Bulan November, saat pagebluk, ditandai latar belakang kita, Merapi. Pagebluk, Merapi siaga," ujarnya untuk menyebut suasana kebatinan komunitas penyelenggara festival itu yang telah pasca-kesunyataan.

Kesulitan dan tantangan hidup sering dikatakan sebagai lelakon pahit, cenderung dihindari. Kepahitan sebagaimana karena pagebluk global virus dan ancaman erupsi Gunung Merapi saat ini memang harapannya segera lepas. Supaya kehidupan serba enak melingkupi manusia.

Suasana serba pahit memang bukan untuk dihindari, namun sebaiknya justru mengalirkan kesadaran atas kesunyataan hidup, menautkan segala harapan baik, dan menjadi titik langkah mencapai enak ataupun raut habitus normal baru.

Oleh karenanya, jangan lupakan bahwa nama besar dan kejayaan Majapahit, tak lepas dari catatan leluhur tentang buah maja yang mereka rasakan pahit.

Entah kalau kelak generasi penerus bangsa ini dengan rengkuhan kemajuan teknologi lalu mengekstrak menjadi buah maja dengan rasa lain atau beragam. Mereka tentu akan punya catatan "update-nya", sebagai maja terkini mereka kelak.

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2020